Semasa masih bujangan, Deni dan Mas Rohman sama-sama merantau di Jakarta mencoba mencari penghasilan yang lebih di tengah gemerlapnya Ibu Kota. Mereka di Sana di tampung oleh Pak Bani, beliau adalah tetangga mereka di desa yang kini menjadi pemborong proyek bangunan di Jakarta. Mereka berdua di suruh Pak Bani menempati kos-kosan yang cukup untuk tidur 2 orang.
"Sak kamar berdua gak papa to le?" tanya Pak Bani ke Mas Rohman dan Deni.
"Iya Pak, Saya dengan Deni sangat berterima kasih sudah di tampung." Jawab Mas Rohman sambil menata pakaiannya di lemari kamar.
"Ya,sudah tak tinggal ya, bila ada apa – apa cepet kabari aku." Pamit Pak Bani meninggalkan kamar kos mereka.
"iya, Pak!!" Jawab Mas Rohman dan Deni bersamaan.
Keesokan harinya dengan bermodalkan ijazah SMA Mas Rohman mencoba melamar di kantor-kantor, dipabrik-pabrik dan rumah makan yang sedang membutuhkan karyawan. Singgah ke kantor satu dan lainnya berharap di terima kerja menjadi karyawan seperti yang di inginkannya. Selama menunggu panggilan kerja, Mas Rohman dan Deni bekerja di bangunan di proyek yang di mandori oleh Pak Bani. Upah menjadi kuli bangunan pada waktu itu adalah Rp 25.000 perhari sedangkan untuk tukang Rp 45.000 perhari, hanya cukup untuk makan dan membeli rokok 1 bungkus ibaratnya.
Sekian lama Mas Rohman menunggu, ia tak kunjung mendapat panggilan kerja. Nasib kurang beruntung menimpa Mas Rohman, semua lamarannya di tolak oleh kantor-kantor yang di singgahinya. Sedangkan Deni yang dari awal tidak membawa ijazah dan hanya menduplikat dan memanipulasi Ijazah milik Mas Rohman, Dia di terima di salah satu kantor yang pernah di singgahi Mas Rohman.
"Man!! Alhamdulillah...,Man...,terima kasih!" Teriak Deni dari kejauhan mendekat ke Mas Rohman.
"Ada apa Den? Teriak – teriak kok kayaknya seneng banget dirimu?" jawab Mas Rohman.
"Ini lo Man, kemarin kan aku minjem ijazahmu sebelumya tak fotocopy, letak yang tertulis namamu tak tempel namaku, biar nampak ya iku ijazahku fotomu yo tak tempel fotoku,Terus tak buat nglamar dikantor yang kemaren kamu juga nglamar disitu lo Man. Aku di trimo Man." Ucap Deni dengan sumringah memamerkan ke Mas Rohman.
"Woalah!! Alhamdulillah,Pancen bangsat kamu Den, apik bener nasibmu?! Aku yang punya ijazah asline wae ndak ke trimo, kamu yang fotocopy an ketrimo. Jancok tenan kamu."Umpat Mas Rohman merasa kesal.
"Wuahahahahaaa...!! Rejeki anak sholeh Man." Tawa Deni sambil mengejek Mas Rohman.
"yo wes, mugo berkah" Do'a Mas Rohman.
"Aamiiinn.." Sahut Deni.
Mungkin ini bukan jalan rizki ku gumam dalam hati mas Rohman.
Selepas dari percakapan itu Mas Rohman meratapi nasibnya dengan rasa putus asa dan hati jengkel, ia-pun membakar semua fotocopy ijazahnya dan lanjut bekerja di proyeknya Pak Bani. Hari-hari berlalu dengan rutinitas mereka masing-masing. Mas Rohman dengan rutinitasnya di proyek sedangkan Deni bekerja layaknya karyawan kantor pada umumnya. Hidup dengan kesederhanaan, menyisihkan uang hasil bekerja di bangunan, Mas Rohman lakukan untuk membantu ekonomi keluarganya di kampung. Lain halnya dengan Deni yang suka berfoya-foya menghamburkan uang gajinya untuk kesenangan pribadi.
Suatu ketika, Deni terserang penyakit Demam dan di rawat oleh Mas Rohman. Selama Deni sakit Mas Rohman selalu berada di sampingnya, berharap teman masa kecilnya lekas sembuh dari sakitnya. Tujuh hari lamanya Deni di rawat Mas Rohman di dalam kos-kosan, kondisi Deni semakin melemah, badannya menggigil karena demam, bibirnya membiru karena penyakitnya.
"Man tolong aku Man, aku wes gak betah, tolong celokno Pak Bani." ucap Deni sambil menggigil karena demam.
"Pak Bani wes dua minggu pulang kampung belum balek Den." Jawab Mas Rohman.
"Waduhhh terus piye nasibku Man? Sido mati neng kene aku iki Man, Aku yo wes gak duwe duit lo," Keluh Deni ke Mas Rohman.
"Hus!! Omongane di jogo, wes pokoknya manut aku, nak kamu mati di sini aku yang repot Den, wes sini tak gendong ayo cari obat." Jawab Mas Rohman sambil menggendong Deni keluar kamar.
"Yowes Man aku manut kamu." Jawab Deni dengan suara lirih dan pasrah.
Sambil menggendong temannya Mas Rohman berjalan menuju jalan raya, rencana Mas Rohman adalah ke Rumah Sakit menaiki kendaraan umum karena jarak dari kos-kosan mereka ke Rumah Sakit cukup jauh. Akan tetapi karena jalanan Ibu Kota terlalu padat kendaraan, ditengah-tengah perjalanan mereka terjebak kemacetan. Alhasil Mas Rohman memilih turun dan berjalan kaki sambil menggendong Deni menuju Rumah Sakit.
Sesampainya di Rumah Sakit untungnya Deni cepat di tangani oleh pihak Rumah Sakit. Hasil diagnosis Dokter yang merawat Deni mengatakan bahwa penyakit yang di alami Deni adalah Malaria atau Demam Berdarah. Seminggu lamanya Deni di rawat inap dan telah di nyatakan sembuh. Biaya Rumah Sakit sendiri di tanggung Mas Rohman, upah dari hasil bekerja menjadi kuli bangunan yang ia kumpulkan di gunakannya untuk mengobati teman sedari kecilnya itu.
Seminggu telah berlalu semenjak Deni keluar dari Rumah Sakit, tiba-tiba Deni menemui mas Rohman sambil berlinang air mata, dia kena PHK dari tempat kerjanya disebabkan tidak masuk kerja dalam waktu yang lama dengan tidak ada laporan. Deni bermaksud untuk berpamitan ke Mas Rohman. Ia mengatakan bahwa akan menyusul keluarganya yang berada di Sumatra, akan tetapi karena Deni belum punya uang maka Deni ikut bekerja bersama Mas Rohman. Setelah terkumpul uang saku untuk perjalanan dan di bantu uang gajinya Mas Rohman, Deni berangkat ke Sumatra kembali berkumpul dengan keluarganya. Semenjak itulah Mas Rohman tak lagi mendengar kabar tentang Deni.
3 tahun lamanya Mas Rohman menjadi kuli bangunan di Jakarta, karena sudah kangen dengan orang tua dan saudara-saudaranya, ia pun memutuskan untuk pulang dan menetap di kampung halaman hingga kini ia bertemu lagi dengan Mbak Widiya.