"Mavelgar, apakah kamu sudah bangun?"
Ketukan diringi suara pintu terbuka mengisi ruang luas yang sepi, satu satunya penghuni kamar ini masih meringkuk di kasur dengan selimut yang menutupi hingga matanya. Kebiasaan buruknya sejak kecil, tidak pernah mengunci pintu.
Ah, haruskah kita berkenalan terlebih dahulu?
Kalaven atau yang sering dipanggil Kave, bukan Kaven tapi memang Kave. Ini bukan typo, hanya saja Kave tidak menyukai ketika ia dipanggil Kaven. Ibunya sering memanggilnya Kaven dan ia membenci ibunya.
Oke, sudahi perkenalan ini.
Bedcover hitam polos yang menutup tubuhnya ditarik dengan lembut, tangan besar yang menggenggamnya dengan hangat sejak kecil kini berada di kepalanya, mengelusnya dengan pelan meskipun telapak tangannya sedikit kasar karena terlalu banyak menggenggam pena.
Kave menggeliat, merasa tidurnya terusik. Menggumam beberapa kata dengan tidak jelas, khas seseorang yang belum sepenuhnya terbangun dari tidur lelapnya.
"Bangunlah, pemalas. Gurumu terus saja menggangguku karena poin di buku hitammu."
Ia menggeliat, meregangkan tubuhnya sejenak dengan posisi masih terlentang di kasur. Matanya yang setengah terbuka menemukan siluet pria muda dengan setelan kantornya, pak tua yang menjabat sebagai ayahnya.
Satu satunya yang bisa membangunkannya dari tidur, Kave memiliki kebiasaan buruk yang lain. Ia sangat sensitif ketika baru saja bangun tidur, ck dasar pria muda pengangguran.
"Apakah kamu sudah bangun? Bergegaslah jika begitu,"tanya pak tua itu. Melangkahkan kaki keluar dari kamar setelah melihat Kave sudah duduk di atas kasur meski matanya masih setengah terbuka.
Menggaruk lehernya yang gatal dan sesekali menguap. Membangunkan dirinya untuk berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.
"Koran diwaktu pagi lagi, huh?"ucap Kave ketika melihat ayahnya sedang membaca koran di atas meja makan.
"Ya, berita semakin lama memuakkan,"ucap pak tua itu sambil melipat korannya.
Kave memanggilnya pak tua - secara diam diam - meskipun usia ayahnya belum tua. Orang tuanya menikah di usia muda dulu, saat ini usia ayahnya baru menginjak 37 tahun dan sekarang usia Kave sudah berjalan menuju 18 tahun. Terkadang Kave berpikir masa remaja ayahnya sangat menakutkan meski wajah pak tua itu sangat tampan seperti dirinya. Yah semua pria tampan itu berbahaya, kecuali dirinya. Haha.
"Hanya mengatakan memuakkan setiap hari namun tetap membacanya, pria yang selalu berbicara omong kosong."
Pak tua itu tertawa ringan, menyesap kopi yang sudah dingin lalu menaruhnya di atas piring kecil yang digunakan alas. "Apa yang sebenarnya para pekerja dirumah ini lakukan? Mengapa sarapan belum juga di siapkan meski aku sudah duduk disini sedari tadi?" tanya pria itu sambil menoleh ke arah pintu dapur kotor.
Tak lama dari itu pekerja rumahnya berbondong bondong menyiapkan makanan, hanya dua orang tapi menu sarapan itu hampir memenuhi meja panjang ini. Keduanya tidak pilih pilih makanan, hanya saja tidak menyukai makanan yang sudah dingin sehingga para pekerja harus menyiapkan makanan secara mendadak setiap harinya.
"Begitu banyak makanan, seolah-olah berisi banyak orang saja. Menyebalkan," gumam Kave namun tangannya tetap menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut.
Ayahnya tidak menyukai kebiasaan makan sambil berbicara, Kave terbiasa mengikuti kebiasaan pak tua itu sejak kecil. Tidak ada suara yang terdengar selain suara dentingan sendok dengan piring secara sayup-sayup. Tidak membutuhkan waktu lama bagi dua pria itu menghabiskan sepiring sarapan, Kave mengambil tasnya dan menyampirkannya di salah satu bahu.
"Tidak ingin papa antar?" tanya papanya.
Keduanya berjalan keluar secara beriringan namun berbeda arah, papanya menuju mobil sedangkan Kave menuju motor mahalnya.
"Anak remaja mana yang masih di antar oleh ayahnya, huh?"
Kave mengenakan sarung tangan dan menyibak rambutnya kebelakang. Pak tua itu mendekatinya sambil menepuk bahu dengan bangga, ntah apa yang dibanggakannya.
"Baiklah kalau begitu, jangan membuat masalah di sekolah. Poinmu di buku hitam sudah penuh, ingat itu." Peringat pak tua itu padanya.
Menyalakan motornya dan berkata, "baiklah, hati-hati diperjalananmu, pak tua."
"Mavelgar! Dasar anak nakal."
Kave tertawa kecil ketika membayangkan reaksi pak tua itu, ia menambah kecepatan motornya dan dengan lihai menyelip ketika terjebak di kemacetan.
Macet pagi selalu menyebalkan baginya, alasan inilah yang membuat Kave hampir selalu datang ketika matahari sudah berada di atas.
Deru motornya yang memasuki parkiran membuat kebisingan sedikit, tak sedikit dari murid melihat ke arah motornya yang melaju masuk ke parkiran guru. Parkiran guru memiliki hak istimewa yang terlindung dari hujan dan panas, ia tidak merasa iri namun tetap memarkirkan motornya disana. Perduli setan dengan siapa saja yang melarangnya.
"Kave, baru sampai?" tanya seorang gadis cantik sambil merangkul lengannya dengan erat.
Kave berdecak lalu menarik tangannya, dengan jijik ia mengusap lengan untuk membersihkan lengannya dari virus berbahaya. Meninggalakan gadis yang kini sedang menghentak-hentakkan kakinya di lantai koridor. Ia sedang tidak memiliki mood untuk menanggapinya, sungguh.
Kave, pria tampan ini menjadi populer sejak masa orientasi siswa. Satu satunya pewaris sebuah perusahaan dan memiliki kekuatan untuk membolak balikkan siapa saja yang tidak disukainya. Siapa yang tidak menginginkan untuk berdiri di samping pria yang memiliki latar belakang ini? Bahkan beberapa wanita akan dengan senang hati membuka celana mereka jika Kave mau.
"Yo, Kave. Tidak terlambat lagi hari ini?"
Kave menoleh lalu mereka bertos selayaknya seorang pria. Kave tidak memiliki teman dekat, namun pria itu selalu bersama gerombolan anak nakal di sekolah ini. Tidak bisa dikatakan teman dekat, namun tidak bisa dikatakan bahwa mereka tidak dekat.
"Wanita itu mencari kesempatan dengan menelfon pak tua, menyebalkan."
"Gue enggak bisa menyangkal, ayah lo kan seseorang yang luar biasa. Bahkan gue sendiri akan mendekatinya kalau aja enggak ingat lo itu teman gue, Kave."
Kave melirik ke arah seorang gadis, ah lebih pantas dipanggil wanita dibandingkan gadis. Wanita itu berbicara tanpa beban, Kave tidak menanggapinya dengan serius juga, "bokap gue gak cari istri, enggak minat sama lo juga."
"Oh ucapan yang tajam, hati gue tersakiti."
Kave menghendikkan bahunya acuh, ia duduk di bangkunya dengan kaki yang terangkat di meja. Tangannya dengan lihat menekan beberapa huruf di layar ponsel mahalnya.
"Woah, bukankah ini keluaran terbaru? Gue belum lihat kemarin, beli dimana lo?"
Kave melihat ke arah ponselnya, ia berbicara dengan wajah sombong, "gue anti repot mencari untuk barang sesepele ini."
"Baiklah, kaum elite yang berbeda kelas dengan kita."
Secara alami gerombolan anak nakal yang selalu bersama Kave akan dianggap sebagai penindas di sekolah ini. Sekolah mereka bukan sekolah dengan prestasi tinggi atau biaya bangunannya tinggi, tapi sekolah ini menjadi pelarian para anak anak nakal. Mereka menganggap bahwa sekolah ini tidak memiliki peraturan tertulis yang dapat mengekang leher mereka.
Tak sedikit dari orang tua murid yang tiba tiba ingin memindahkan anak mereka ketika mengetahui lingkungan yang tidak baik ini. Apalagi dengan keturunan tunggal keluarga Mavelgar sebagai pemicunya, Kave menjadi penguasa hanya dengan nama belakangnya saja.
Benar-benar pria yang harus dihindari.