Beberapa kenangan yang seharusnya tidak ada sekilas melintas dalam benaknya.
"Boom!" Pintu villa terbuka lagi, dan Rian salah mengira itu Tiara yang kembali lagi, dia mengangkat kepalanya dengan ekspresi sebal, hanya untuk berhadapan dengan tatapan kosong Kiara.
"Mengapa anda memegang itu?" Kiara menatap Rian, lebih tepatnya botol yang dipegang olehnya, yang Kiara anggap sama berharganya dengan nyawanya.
Kiara tampak seakan takut kehilangan bayinya yang berharga, terlepas dari kelelahan fisiknya, dia melangkah maju dan mengambil botol itu kembali dari tangan Rian.
"Ini adalah barangku yang paling berharga dan satu-satunya di dunia. Jangan sembarangan menyentuhnya!" Kiara hampir tidak pernah berbicara selancang itu kepada Rian. Pertama kalinya Rian mendengar nada yang begitu serius dari Kiara yang sekarang memegang botol berisi wewangian bubuk itu dengan erat di tangannya.
Tapi semakin Kiara mengutamakan barang itu, semakin marah Rian.
Seketika kenangan-kenangan membanjiri pikirannya
—Gavin, mari kita buat aroma spesial milik kita berdua!
-Selalu ada saja idemu..
-Jadi bagaimana? Tertarik?
—Tentu saja. Mari kita buat bersama. Wewangian ini akan memiliki aroma yang paling unik di dunia.
—Enaknya dinamakan apa ya? Gavin, apa kamu ada ide bagus?
—Bagaimana kalau "janji cinta", karena wewangian ini melambangkan janji kita untuk tidak pernah berpisah.
Ingatan itu berakhir dengan tiba-tiba, Rian berjalan ke depan Kiara selangkah demi selangkah dengan emosi yang meluap-luap, "Berikan padaku!"
Semua kebohongan seharusnya tidak ada, termasuk cinta yang dibangun di atas kebohongan, lebih baik semuanya menghilang! Daripada hidup dalam fantasi, lebih baik menghadapi kenyataan dengan jelas.
"Aku bilang berikan padaku!" Geraman dingin Kiara yang membuat Kiara gemetar, tetapi dia masih memegang botol kecil itu dengan erat dan menggelengkan kepalanya dengan kuat.
"Tidak, ini adalah hartaku yang paling berharga. Aku mohon, tolong jangan merampasnya dariku!" Kiara memohon sambil menangis. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa Rian bersikeras merampas wewangian itu.
"Kamu milikku, berarti semua yang kamu miliki adalah milikku, jadi cepat berikan padaku!" Meski Kiara sudah berusaha sebisanya untuk mempertahankan botol wewangian itu tapi jika dibandingkan dengan tenaga Rian, usahanya tidak ada apa-apanya.
"Tidak!" Pada saat botol itu direnggut, Kiara meraung dan memeluk tangan Rian, matanya penuh harapan. Kiara berlutut di lantai, "Aku mohon! Jangan hancurkan, itu. Boto itu sangat berharga bagiku."
Ini adalah jejak terakhir dari cintanya dan Gavin.
Hanya ada botol ini, yang selalu mengingatkannya, bahwa saat-saat bersama Gavin bukanlah mimpi, orang itu, hari-hari bahagia itu, dan kenangan indah itu, semuanya nyata.
Dalam beberapa tahun pertama ketika Gavin pergi, setiap malam, Kiara akan terbangun dari mimpinya.
Dalam keadaan linglung, dia terkadang bertanya pada dirinya sendiri, apakah Gavin benar-benar ada?
Apakah semua kenangannya bersama Gavin selama ini hanyalah mimpi?
Kiara hanya menundukkan kepalanya ke lantai dan memohon padanya, tetapi penampilan Kiara yang jelas-jelas belum bisa merelakan kepergian kekasih lamanya itu membuat Rian semakin kesal.
Keterikatan emosional yang rumit di hati akhirnya berubah menjadi hembusan dingin.
"Memang kamu lupa, semakin berharga bagimu, aku semakin ingin menghancurkannya!" Rian dengan kuat menggenggam lengan Kiara, mengangkatnya dari lantai, dan kemudian membiarkan dia melihat botol kecil kesayangannya itu jatuh ke lantai.
Tabrakan botol kaca dengan lantai yang keras membuatnya pecah menjadi berkeping-keping, dan wewangian di dalamnya terciprat ke tanah bersama dengan serpihan-serpihan kaca botol.
Hembusan angin menembus jendela yang terbuka. Kiara ingin melepaskan diri dari belenggu Rian, tetapi dia tidak bisa bergerak. Dia hanya bisa melihat wewangian bubuk itu sedikit demi sedikit terhembus oleh angin dihembuskan sedikit hingga sedikit hingga akhirnya bubuk itu lenyap.
"Aaaah!" Kiara mengeluarkan teriakan sedih, seakan meneriakkan semua kesedihan dalam hatinya, "Rian, apa yang kamu inginkan sebenarnya? Jika kamu sangat membenciku, kamu bisa saja membunuhku. Tidak perlu menyiksaku seperti ini!"
Dia akhirnya kehilangan kesabarannya, berhubung dia telah berada di ambang kehancuran.
Perasaan sedih dan putus asa yang dalam membuatnya pusing untuk sementara waktu, dan ketika dia akan terjatuh, tangan yang kuat menahan pinggangnya, menarik tubuhnya ke depan.
Rian memaksanya untuk melihat dirinya, "Apa gunanya terus-terusan memikirkan orang yang sudah tiada seperti ini?"
Nada sombong dan menghina Rian membuat telinganya berdengung, Citra begitu emosi hingga dia terengah-engah.
"Ini tak ada hubungannya denganmu!
Kiara menggigit bibir bawahnya, giginya gemetar karena kebencian yang mendalam. Darah yang dari bibirnya dengan cepat mengalir, setetes demi setetes di lantai putih, yang sekarang ternoda bercak darah."
"Kamu sendiri sadar dia sudah mati, bukan?" dengan wajah yang tegas Rian berusaha menyadarkan wanita keras kepala ini yang telah hidup dalam fantasinya terlalu lama, dan menolak untuk melepaskan diri.
Kiara tiba-tiba meraih lengan Rian dan dengan mengerahkan seluruh kekuatannya Kiara menggigitnya, dan segera rasa darah memenuhi mulutnya.
Setelah beberapa saat dia perlahan melepaskannya.
Mulut Kiara penuh darah, tapi dia masih menatapnya, tidak mau bernapas lega.
Keduanya saling bertatapan untuk waktu yang lama, dan Rian akhirnya pergi.
Cahaya bulan menerpa Kiara, dan dia berdiri di sana untuk waktu yang lama, sebelum dia berlari ke tempat botol pecah itu seolah-olah dia baru tersadar dari mimpinya.
Wewangiannya telah terbang jauh tertiup angin, meninggalkan sedikit aroma segar di udara.
Tidak ada lagi, semuanya telah hilang.
Kiara duduk di lantai yang dingin. Sejak awal, rengekan itu berangsur-angsur berubah menjadi tangisan melolong. Air matanya berhamburan seolah melampiaskan semua rasa sakit dan kesedihannya.
Di luar villa, di dalam mobil.
Rian meletakkan tangannya di setir, mendengar tangisan dari villa, membuatnya makin frustasi.
Setelah waktu yang cukup lama, tangisan di vila menjadi lebih tenang, dan akhirnya tidak bisa terdengar lagi. Rian menyalakan mobil, menginjak pedal gas, dan menghilang ke dalam kegelapan.
Di lantai, Kiara tampak seperti hantu yang kesepian, menatap kosong ke botol yang pecah, seperti boneka tanpa emosi, dan dengan lembut mengambil botol itu.
Dia baik-baik saja, dia bisa mulai dari awal!
Vila itu sangat sunyi, dan hanya ada suara serangga di sekitar.
Dia telah berada di posisi yang sama selama satu jam, ketika tatapannya kembali fokus pada botol pecah di lantai.
Jari-jarinya yang sedikit gemetar mengambil pecahan kaca di lantai. Angin malam ini sangat tanpa ampun, dan satu-satunya lapisan residu pada serpihan kaca juga akhirnya tertiup angin.
Sekarang hanya aroma samar dari wewangian itu yang tersisa, yang membuat Kiara membasahi matanya lagi, aromanya memicu ingatannya mengenai suatu gunung.
Proses pembuatan wewangian itu memang sangat sulit, apalagi jika menginginkan wewangian yang bisa mewakili rasa cinta di antara mereka.
Setelah upaya yang gagal berulang kali, Kiara, yang selalu penuh harapan, akhirnya berhasil mengembangkan wewangian itu hingga setengah selesai.