Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 4 - Perempuan Cerewet

Chapter 4 - Perempuan Cerewet

Ibu terduduk bersimpuh di lantai rumah sakit yang putih. Meletakan diri ke lantai, melipat kedua kaki ke belakang sebagai tumpuan badan. Ibu terlihat sangat rapuh. Kak Tari ikut terduduk dan memeluk ibu. Melihat keadaan dua orang yang sangat aku sayangi seperti ini, jiwaku sangat meronta marah.

Aku harus mencari pelakunya. Mereka menggunakan topeng dan hanya satu orang yang wajahnya terlihat. Aku menutup mata, mencoba menajamkan pikiran agar bisa mengingat wajah lelaki itu.

"Bagaimana hidup kita? Kalian tahu ibu tidak tahu cari uang. Ibu tidak pernah bekerja. Bagaimana cara ibu membiayai kalian, jika ayah sudah pergi?" tutur ibu pelan, masih dalam tangis.

Aku langsung memeluk ibu. "Ada aku, bu! Aku sudah besar bukan anak kecil lagi. Aku bisa kerja kalau sudah pulang dari sekolah. Ibu jangan khawatir, ada aku! Ada aku, Bu! Jangan bicara seperti itu!" tuturku pelan sambil menangis. Tangan mengusap punggung ibu, menenangkan.

"Kalian tahu siapa yang melakukan ini?" tanya tante Fatma pelan.

Ibu dan kak Tari menggeleng. Aku menatap tante Fatma beberapa detik, lalu ikut menggeleng. Aku akan mencari tahu sendiri pembunuh ayah. Tidak boleh ada yang tahu mereka, selain aku. Hati berjanji akan menemukan mereka. Nyawa akan dibayar dengan nyawa.

Aku tidak akan membuat mereka masuk ke dalam penjara, tetapi akan membunuh mereka dengan tangan sendiri. Seperti yang dilakukan pada ayah, menikam tepat di tengah perut. Semua masih terekam jelas dalam ingatan.

"Ini jelas pembunuhan. Kita bisa lapor ke kantor polisi. Biar pihak kepolisian yang akan membantu kita," tutur tante Fatma lagi.

"Siapa yang akan menjadi saksi. Bahkan kami tidak melihat kejadiannya," tutur ibu sambil sesegukan.

"Yang pertama melihat Pak Fahmi tergeletak di lantai siapa?" tanya Pak Regi.

Ibu dan kak Tari melihatku. "Arfa!" jawab mereka bersamaan.

Tante Fatma menatapku. "Jangan sembunyikan, Arfa! Kamu melihat kejadian ini? Siapa pelakunya? Ceritakan ke tante"

Aku hanya menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan tante Fatma

"Jangan takut, Arfa! Kalau kamu cerita yang sebenarnya terjadi, kita bisa temukan pelakunya," ujar Pak Regi dengan pelan. Kini dia sudah berada di depanku.

"Aku memang mendengar ada yang menggedor-gedor pintu. Ayah lalu berdiri untuk membuka pintu. Aku belum tidur karena sedang nonton dengan ayah. Aku lalu mencari ayah, setelah beberapa menit belum juga kembali. Saat ke ruang tamu, ternyata ayah sudah tergeletak di lantai dengan pisau yang tertancap di perut dan darah yang keluar sangat banyak." Aku berkata tanpa ragu. Tidak ingin semua orang mengetahui kebohonganku. Tidak boleh ada yang menemukan pelakunya. Karena mereka harus mati ditanganku sendiri.

Saat itu, di depan rumah dan tetangga sekitar tidak ada yang memiliki cctv. Aku yakin pelakunya akan sulit di cari. Jika bibir mengatakan kebenaran dan menjadi saksi. Aku yakin, ibu akan melakukan apapun agar polisi bisa menemukan pelakunya.

Hingga sekarang aku masih menyimpan hasil lukisan wajah salah satu pelaku pembunuhan ayah. Tidak ingin ingatan lupa, setelah pulang dari rumah sakit saat itu, aku langsung melukis wajah pelaku tanpa sepengetahuan ibu dan Kak Tari.

"Arfa, tolong angkat piring yang ada di meja!" perintah tante Fatma yang menyadarkan aku. Saat ini aku sedang mencuci piring di warung makan tante Fatma.

Setelah ayah meninggal, aku membantu ibu mencari uang dengan bekerja di warung tante Fatma. Warung ini tidak besar, hanya ada lima meja. Sehingga tidak pernah kewalahan untuk melayani pengunjung. Meskipun sibuk bekerja, aku selalu mendapat juara satu di sekolah.

"Arfa! Kok kamu di sini!"

Ya ampun! Kenapa aku bertemu lagi dengan perempuan cerewet ini. Aku melangkah membawa piring kotor, tanpa menjawab ucapannya.

"Eh eh, kamu mau ke mana?" tutur Veka sambil menghalangiku.

Apa maksud perempuan ini? Apa dia buta? Sudah lihat, aku sedang mengangkat piring. Apa dia tidak bisa menebak, jika aku bekerja di sini? Dasar perempuan aneh. Malas meladeni, aku langsung melangkah.

Merasa diabaikan, Veka akhirnya memilih untuk duduk dan tidak berkata lagi. Mungkin dia malu, sebab menjadi tatapan orang-orang yang ada di warung.

"Arfa, nanti bawa minuman ini ke meja nomor dua!" tutur tante Fatma.

Aku hanya mengangguk dan mengikuti perintah. Ternyata aku harus melewati meja yang di duduki Veka. Perempuan ini tidak malu? Di sini hanya Veka yang makan sendiri, apalagi dia perempuan. Seharusnya dia bungkus saja dan makan di rumah.

"Arfa!" Veka menyeka tanganku. Menatap lekat lalu berucap, "kamu kerja di sini?"

Aku hanya mengangguk lalu melangkah ke dapur.

"Teman Arfa ya?" tanya tante Fatma sambil menaruh pesanan Veka di atas meja.

"Iya, tante." jawab Veka sambil tersenyum.

"Ya sudah. Arfa jangan kerja dulu. Duduk makan juga. Dari tadi kamu belum makan 'kan? Nanti tante ambilkan makanan yang sama."

Tanpa menunggu persetujuanku. Tante Fatma, menarik kursi untuk aku duduk. Situasi yang sangat menjengkelkan. Aku kini berhadapan lagi dengan perempuan cerewet ini.

"Jadi kamu kerja di sini? Sudah berapa lama?" tanya Veka.

Aku menatapnya, hanya sejenak lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Sangat tidak suka ada orang yang bertanya-tanya tentang kehidupanku.

"Ihhh, kenapa tidak di jawab, Arfa! Kamu ini kenapa tidak pernah bicara? Jadi, sudah berapa lama kamu bekerja di sini?"

Aku kembali menatapnya. Oh Tuhan! Jika setiap hari aku harus berhadapan dengan perempuan seperti ini, aku bisa gila. Tante Fatma datang dengan membawa nasi ayam dan segelas jeruk angat.

"Kamu bisu ya?" tanya Veka lagi setelah tante Fatma meninggalkan kami. "Kenapa dari sekolah tadi kamu tidak berbicara denganku. Tapi tidak mungkin kalau kamu bisu. Dari buku yang pernah aku baca. Orang bisa bisu karena memiliki gangguan di pendengaran."

Bisakah orang ini diam sejenak. Kalau bukan karena perintah Tante Fatma, aku lebih memilih untuk makan di belakang. Suaranya sangat menganggu. Sok akrab, padahal baru saja bertemu tadi.

"Iya, benar. Kamu sepertinya bisu. Tapi, kamu terlihat mendengar perkataanku. Atau mungkin dulu kamu pernah kecelakaan. Salah satu penyebab bisu yang lain adalah pernah mengalami kecelakaan. Jadi, bisu itu kalau dalam ilmu pelajaran namanya tunawicara. Seseorang yang mengalami kesulitan berbicara, karena kurang berfungsinya alat-alat untuk berbicara seperti rongga mulut, lidah, dan juga pita suara. Tetapi bisa jadi juga karena mengalami keterlambatan perkembangan bahasa."

Aku berhenti makan dan langsung menatap Veka dengan tajam. Apa mulutnya dari tadi tidak capek untuk berkomat-kamit. Aku yang mendengar saja merasa capek.

"Aku ingin menjelaskan. Siapa tahu kamu kurang informasi tentang dunia tunawicara. Setelah aku selesai menjelaskan, aku berdoa semoga kamu segera bisa bicara," tutur Veka dengan senyum yang lebar.

"Tetapi yang paling sering menjadi penyebab orang bisa bisu itu karena gangguan pendengaran yang tidak terdeteksi sejak kecil. Karena kurang mendapatkan stimulasi bahasa dari sejak lahir. Seseorang yang tuli akan sulit untuk mendapatkan kosakata. Jadi ya gitu deh. Diantara semua, kamu bisu karena apa?" Veka masih terus berkata.

Aku menatap tajam. Veka hanya tersenyum tanpa bersalah. Dia menjadi satu-satunya orang yang tidak takut dengan tatapanku.

"Ternyata sesusah ini, membuat kamu bicara." Terlihat raut putus asa di wajah Veka.

Akhirnya aku bisa makan dengan tenang sekarang. Veka sudah diam dan tidak bicara lagi. Semoga bibir itu terkunci selamanya.

"Tetapi sepertinya tidak mungkin juga kalau-"

"Bisa diam, nggak?" tuturku sebelum kembali memasukan sesuap nasi. Rasanya bibir ini sangat gatal untuk menyuruhnya berhenti berucap.

"Yeyyy … Akhirnya Arfa bicara juga," ujar Veka gembira. Raut wajah sangat bahagia, seakan mendapatkan hadiah yang paling disenangi. Suaranya yang cempreng mengundang perhatian semua orang yang ada di warung.

Sungguh aku sangat malu. Bertemu dengan perempuan ini adalah takdir tersial. Aku masih menatap wajahnya yang sangat bahagia, dengan penuh kebencian.