Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 3 - Pembunuhan di Depan Mata

Chapter 3 - Pembunuhan di Depan Mata

Aku sudah tiba di rumah. Pikiran kembali teringat moment saat di sekolah, aku tersentum sinis. Mereka hanya menilai dari penampilan saja. Kalau tahu aku miskin, mungkin yang akan mereka hina itu aku, bukan Veka. Aku pasti tidak bisa diterima di sekolah itu. Dasar sekolah laknat!

Aku melihat semua sisi ruang tamu. Di rumah minimalis ini, hanya ada aku sendiri. Sebenarnya dalam hidup, aku masih memiliki seorang ibu dan kakak. Hanya saja kami tidak bisa tinggal bersama. Ibu bekerja sebagai asisten rumah, sedangkan ayah sudah lama meninggal.

Aku tidak ingin berlama-lama di rumah, sebab harus ke warung untuk bekerja. Saat berjalan, tiba-tiba pikiran melayang pada kejadian saat nyawa ayah terenggut.

Beberapa orang menggedor-gedor pintu dengan keras. Ayah yang sedang menonton pertandingan bola denganku, langsung berlari kecil untuk membuka. Aku mengikuti ayah dari belakang, tetapi hanya sampai di balik tembok.

Di luar sudah gelap, ada pula suara gemuruh hujan yang berjatuhan di atas atap. Ibu dan Kak Tari sudah terlelap. Rencananya aku dan ayah akan tidur setelah pertandingan bola selesai.

"Buka pintunya!" teriak suara dari luar.

"Buka!" Ketukan pintu semakin besar. Aku rasa itu bukan ketukan, lebih tepatnya mereka memukul-mukul pintu.

"Ya ampun, siapa yang datang bertamu malam-malam begini?" tutur Ayah yang masih berlari kecil sambil mengikat sarung di pinggang.

Kini ayah sudah tiba di pintu, tangan melepas kunci dan memutar gerendel. Sepertinya ayah tidak mengetahui jika aku mengikuti dan bersembunyi di balik tembok.

Setelah ayah membuka, terlihat di depan pintu ada empat orang memakai topeng. Aku yakin ayah kaget melihat orang-orang yang ada di hadapannya. Sama sepertiku, yang juga tak kalah kaget. Tangan menutup mulut agar tidak berteriak.

Melihat orang-orang yang berpakaian seperti itu, aku tidak berani mendekat. Mereka seperti penjahat yang pernah aku lihat di televisi. Pakaian monster yang wajahnya tertutup.

"Aaa...!" Tiba-tiba aku mendengar teriakan ayah. Sepertinya ayah menahan sesuatu di perutnya. Aku juga tidak tahu itu apa.

Salah satu diantara mereka membuka topeng. Aku melihat wajahnya. Tidak lama, topeng itu lalu dipakai kembali. Aku membelalakan mata, ketika melihat darah yang mengalir di lantai. Perlahan-lahan ayah jatuh tersungkur. Aku menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak berteriak. Aku ingin berlari menghampiri, tetapi takut tidak bisa melawan mereka.

Tangan ayah terangkat ke atas, seakan meminta tolong. Mereka hanya tertawa melihat kerapuhan ayah. Setelah beberapa detik berusaha bertahan, kini tidak ada lagi pergerakan. Aku menggigit tangan, agar tidak berteriak.

"Dia sudah meninggal!" tutur pria yang sebelumnya membuka topeng.

Salah satu dari mereka lalu menendang-nendang kaki ayah. Mungkin, ingin memastikan keadaan. Aku menggeleng dengan air mata yang sudah berderai, tidak menyangka akan menyaksikan kejadian ini dengan mata kepala sendiri.

"Iya! Ayo kita pergi, sebelum ada yang lihat." Setelah ucapan itu, mereka langsung meninggalkan rumah.

Aku berlari mendekat. Darah sangat banyak keluar dari perut ayah. Tangan mengguncang tubuh ayah, namun yang aku harapkan tidak terjadi. Aku melepas baju, lalu menjadikan penahan agar darah tidak keluar lagi. Aku berlari ke kamar, ingin membangunkan ibu. Mungkin saja ibu dan Kak Tari tidak mendengar teriakan ayah, sebab hujan yang jatuh di atas atap terdengar sangat ribut.

"Ibu! Ibu!" Suaraku bergetar, tangan menarik-narik baju ibu, membangunkan.

"Kenapa, Nak? Kamu belum tidur?" ucap ibu sambil bangun dan mengucek mata.

"Ibu, ayah ada di depan!" tuturku dengan gemetar berusaha menahan tangis.

"Oh ayahmu belum tidur! Sini tidur dengan ibu. Ini sudah malam, besok lagi baru main!" ujar ibu menarik tanganku.

Aku menggeleng. Tidak tahu akan berucap apa lagi. Aku pun menarik tangan ibu agar ikut denganku. Untung saja ibu mengikuti, meskipun masih dengan raut wajah penuh tanya.

"Astaghfirullah, ayahmu kenapa, Nak? Siapa yang melakukan ini?" Suara ibu sangat besar. Histeris dalam tangis. Aku sudah duduk di samping ibu yang sedang mengguncang tubuh ayah.

"Ayah, bangun! Bangun!" Ibu terus memukul pelan wajah ayah yang sudah tidak berdaya. Tangan ibu lalu memegang tangan ayah. Beberapa detik, ibu langsung memeluk ayah.

"Ayah tidak boleh pergi. Anak-anak kita masih kecil! Jangan biarkan ibu sendiri yang merawat mereka.

Aku menangis mendengar teriakan histeris ibu. Aku juga berusaha membangunkan ayah. Jangan biarkan ibu merawat kami sendiri, ayah! Aku dan Kak Tari masih butuh ayah.

Kak Tari sudah berada di sampingku. Mungkin dia terbangun karena mendengar teriakan pilu suara ibu.

"Ayah kenapa?" tanya Kak Tari dengan suara pelan dan wajah kaget, mata menatap ayah.

"Bantu ibu, Nak. Kita harus membawa ayah ke rumah sakit." Ibu berkata ke Kak Tari.

Ibu lalu berlari keluar rumah, di luar sedang hujan deras. Aku yakin ibu pasti basah. Sedangkan di sampingku, Kak Tari sedang menangis histeris membangunkan ayah. Meninggalkan kak Tari dan ayah, aku memilih mengikuti ibu. Hari sudah gelap, tidak mungkin aku membiarkan jalan sendiri, takut terjadi sesuatu dengannya.

Terlihat di mataku, ibu menggedor-gedor rumah tetangga sambil menangis. Tidak lama, pemilik rumah membuka pintu. Wajah sangat kaget melihat kondisi ibu dan aku yang basah kuyup.

"Tolong Mas Fahmi! Tolong Mas Fahmi!" tutur ibu dalam tangis. Tangan memohon pada pak Regi. Dia tetangga kami yang paling dekat. Dan menjadi tempat ibu meminta tolong jika membutuhkan sesuatu.

"Pak Fahmi kenapa, Bu?" tutur pak Regi. Sambil melangkah terburu menuju rumah. Aku dan ibu tidak bisa menyejajarkan langkah dengannya. Kami hanya bisa mengikuti dari belakang. Sama sepertiku, tangis ibu tidak bisa berhenti.

"Astaghfirullah, Pak Fahmi! Siapa yang melakukan ini?" ucap Pak Regi sambil menepuk-nepuk pelan pipi ayah. Aku melihatnya dari depan pintu. Langkah kaki tidak ingin masuk.

"Kunci mobil di taruh di mana, Bu? Kita harus segera bawa Pak Fahmi ke rumah sakit!" ucap Pak Regi dengan panik.

Tanpa menjawab, ibu langsung berlari menuju kamar. Mungkin mencari yang diminta oleh Pak Regi. Beberapa menit menunggu, ibu belum juga kembali. Pak Regi langsung berdiri dan berlari keluar dari rumah, dia menuju rumahnya. Kurang dari sepuluh menit dia sudah datang dengan mengendara mobil. Pak Regi tidak sendiri, dia datang bersama Tante Fatma yang merupakan istrinya. Turun dari mobil, Pak Regi bantu mengangkat ayah.

Pak Regi dan ayah memiliki pekerjaan yang sama, sebagai supir angkot. Ayah adalah pribadi yang sangat baik, bagaimana mungkin ada yang menyakitinya. Dia sangat lembut dan selalu menjaga perasaan orang lain dalam berkata. Ada rasa tidak percaya melihat kejadian ini.

Tangis kami menjadi suara yang menemani perjalanan saat menuju ke rumah sakit. Kepala ayah berada di pangkuan ibu. Sedangkan kaki, berada di paha kecilku. Aku mengusap kaki ayah, dingin dan terlihat putih pucat. Dari lampu mobil yang tidak terlalu terang, aku bisa melihat jelas kulit ayah yang kini sudah sangat pucat. Mungkin karena terlalu banyak darah yang keluar.

Mobil mulai melambat, kami sudah tiba di rumah sakit. Pak Regi dan tante Fatma masuk, dan keluar dengan membawa bed hospital bersama beberapa perawat. Ayah langsung di bawa ke ruang UGD. Aku memegang tangan ibu, tidak ingin membiarkan jalan sendiri.

Aku tidak melihat dokter melakukan tindakan apapun. Dia hanya memegang denyut nadi ayah di leher dan tangan. Lalu menatap kami sambil menggeleng. Suara histeris tangis ibu menggema memenuhi ruangan.

"Mohon maaf, Bu," ujar dokter pelan sambil kepala kembali menggeleng.

Ibu melepas tanganku. "Ini tidak mungkin! Mas Fahmi harus bangun, jangan tinggalkan aku! Aku tidak bisa merawat anak-anak tanpa mas!" teriak ibu sambil mengguncang-guncang tubuh ayah.

Semua kejadian ini, seperti mimpi. Air mata tidak mampu aku tahan, terus berderai berlomba untuk keluar. Siapa mereka? Siapa orang-orang yang sudah membunuh ayah?