Aku tidak berlama-lama di toilet. Saat keluar, aku kembali bertemu perempuan tadi, baru saja keluar dari toilet. Sepertinya dia marah, langsung melangkah cepat saat melihatku. Jam di pergelangan tangan sudah menunjuk pukul delapan lewat lima puluh lima menit. Aku berjalan dengan terburu menuju ruangan tadi, namun tidak mendahuluinya.
Memang benar, harusnya belum terlambat. Sesuai jadwal, ujian akan dimulai pukul sembilan. Terus, bagaimana dengan siswa yang datang lebih dulu dari pada kami? Otak berpikir keras untuk menemukan jawaban. Mungkin jadwal ujian diakun mereka berbeda dengan kami. Atau ada siswa yang mendapat jadwal seperti kami, namun sengaja datang lebih cepat dari waktu yang tertulis.
Aku tersenyum sinis, saat mengingat kembali percakapan diantara dua guru tadi. Inilah tujuanku masuk di sekolah ini, ingin menyelesaikan kasus yang tidak pernah terungkap. Kalian harus bertanggung jawab atas perbuatan yang mungkin sudah di lupa, atau sengaja melupakan. Oh, tidak! Kalian tidak akan pernah lupa kejadian itu! Aku datang untuk membuat kalian mengingat kembali. Jangan harap hidup akan tenang sesudah ini!
Aku melangkah cepat. Namun, tidak berniat mendahului siswi itu. Menjaga jarak dan tetap berada di belakangnya. Aku berusaha agar kami bisa masuk kelas bersamaan. Aku tidak ingin, ditanya banyak tetang alasan telat masuk. Malas saja meladeni pertanyaan guru-guru di sekolah ini.
"Cepat duduk, aku sudah lama menunggu kalian!" tutur seorang guru yang saat ini sedang duduk di kursi dalam ruangan.
Aku langsung melangkah ke tempat duduk. Membuka tas dan mengeluarkan pensil yang akan digunakan untuk mengisi jawaban. Di atas meja sudah tersedia lembaran pertanyaan dan jawaban, juga dua lembar kertas yang masih kosong.
"Okey silahkan kerjakan! Waktunya satu jam dari sekarang!"
"Satu jam? Serius, Pak? Pertanyaan ini sangat banyak, masa kami hanya diberi waktu hanya satu jam untuk mengerjakan!" tutur perempuan disampingku dengan mata yang terbelalak.
Aku melihatnya sejenak, lalu kembali membaca pertanyaan. Dia ini bodoh atau pura-pura bodoh? Mereka itu sengaja buat aturan aneh seperti ini, agar kita tidak bisa lulus ujian. Ternyata, percuma mendengar ucapan guru-guru tadi, otaknya tidak juga mengerti.
"Kalau kamu tidak setuju dengan waktu yang dikasih, silahkan keluar! Tinggalkan kertas pertanyaan dan jawaban di atas meja!" bentak guru pengawas sambil melipat tangan dan menatap tajam.
"Iya, Pak! Maaf!"
Aku melihatnya sejenak. Terlihat kasihan, tetapi aku tidak peduli. Itu salah dia, berbicara seperti itu. Sepertinya suara guru pengawas menciutkan nyalinya. Dia sudah menunduk mengerjakan soal.
Tetapi, perempuan ini tidak sepenuhnya salah. Bagaimana mungkin pertanyaan sebanyak seratus lima puluh nomor, hanya diberi waktu satu jam untuk mengerjakan? Apalagi semua soal adalah perhitungan matematika. Aturan gila yang mereka buat ini sudah bisa aku baca. Pasti termasuk kecurangan yang dilakukan sekolah. Bukan berburuk sangka, hanya saja mereka terlalu nampak memperlihatkan bobroknya aturan.
Jika di luar sana banyak orang yang mengagumi SMA Prabangga, aku hanya tertawa dalam hati mendengar itu. Sejak lama, aku sudah tahu sekolah ini hanya indah dari luar. Bangunan megah dan banyaknya siswa yang katanya berprestasi, itu hanya penampakan.
Aku sudah menyelesaikan dua puluh nomor dalam waktu lima menit. Sengaja mencoret-coret kertas yang dipakai untuk menghitung, agar tidak menimbulkan tanya dibenak pengawas. Pikiran terus saja fokus. Aku tidak ingin lalai, bahkan untuk satu nomor. Aku harus menjawab dengan benar semua pertanyaan ini. Kalau tidak, mereka akan mudah membuat pengumuman jika aku tidak lulus, dengan alasan-alasan aneh.
Hanya detik jam yang terdengar di dalam ruangan.
"Waktu kalian sisa tiga puluh menit!"
"Iya, Pak!" jawab perempuan di sampingku. Kenapa harus menjawab. Aku rasa itu tidak penting, sebab pernyataan guru perngawas hanya pemberitahuan. Lebih penting untuk tetap fokus mengerjakan soal.
Ahhh, akhirnya, sisa lima nomor lagi. Semua soal ini pilihan ganda. Jadi aku hanya melihat dan berpikir beberapa detik, sudah bisa menentukan jawaban dengan cepat.
Selesai! Aku bisa mengerjakan semua soal ini dengan waktu empat puluh menit. Aku melirik perempuan yang ada di sampingku. Dia masih terus menunduk, sesekali berhenti menulis. Mungkin untuk memikirkan jawaban. Aku belum mengetahui kemampuan perempuan ini dalam mengerjakan soal matematika.
Aku harus membuat perempuan ini bisa lulus. Tetapi, bagaimana caranya? Dari tadi pengawas tetap memperhatikan kami, sesekali dia duduk dengan mata yang masih mengarah ke kami. Tangan perempuan di sampingku terus menari-nari di atas kertas yang digunakan untuk mencari jawaban. Sekarang sisa dua puluh menit lagi. Dari wajah yang aku perhatikan, dia nampak bingung dan pusing.
Handphone guru pengawas berdering. Dia lalu mengangkat dan membelakangi kami. Terlintas ide di kepala, aku pun beraksi. Lewat jam yang ada di tangan, aku mengecek cctv yang ada di ruangan. Jam tanganku sudah dimodifikasi untuk bisa mengecek dan mematikan cctv yang ada di sekitarku. Sengaja aku buat seperti ini, karena hanya jam tangan yang bisa aku bawa ke mana-mana dan tidak membuat curiga banyak orang. Bukan hanya mengetahui keberadaan cctv, masih banyak lagi kegunaan dari jam tangan yang aku buat sendiri ini.
Tiga puluh detik, waktu yang aku butuhkan. Ternyata ruangan ini tidak ada cctv, sekolah macam apa ini. Mungkin ini bagian dari unsur kesengajaan. Entahlah, aku juga tidak mengetahui alasan mereka.
Aku sengaja mengangkat kertas jawabanku. Untung saja perempuan ini langsung melihatku. Dia lalu tersenyum dan mulai menulis. Aku tidak tahu, soal nomor berapa yang belum dia isi. Sepertinya dia menyadari, jika aku menggunakan kesempataan ini untuk memberinya jawaban. Tanpa di suruh, dengan lincah dia mempercepat mengisi lembar jawaban. Akhirnya, dia pun selesai sebelum guru pengawas berbalik.
"Cukup! Waktu kalian sudah habis. Bawa ke sini lembar jawaban dan soal kalian!" Guru pengawas kembali melihat kami setelah panggilan diakhiri. Satu jam telah terlewatkan.
Aku berdiri membawa kertas jawaban, soal, dan dua kertas yang berisi coretan angka. Bersamaan, perempuan di sampingku juga berdiri sambil memegang kertas. Pengawas lalu keluar, meninggalkan kami. Tidak lama sesudah itu, seorang cleaning service masuk untuk membersihkan ruangan.
Aku langsung mengambil tas dan keluar dari kelas. Kembali menutup telinga dengan headset dan memakai topi yang tadi aku sempat lepas saat ujian.
"Hei, tunggu!" teriak seseorang dari belakangku. Aku tetap berjalan tanpa berbalik. Aku tahu, dia perempuan itu. Siapa lagi kalau bukan dia?
"Tunggu aku!" Suara itu sudah semakin dekat.
"Tunggu, kita belum kenalan! Perkenalkan, namaku Veka Anggina. Biasa di panggi Veka atau Anggi. Untuk kamu, terserah mau panggil apa saja." Perempuan itu berkata dari belakangku. Aku tetap berjalan, tanpa menghiraukan.
"Sabar duluuu. Kenapa buru-buru? Kamu belum bilang siapa nama kamu." Dia menjegat tanganku. Membuat langkah terhenti.
Mengarahkan mata tepat di papa nama yang ada di baju seragamku. Dia mengikuti arah mataku. Memori merekam jika dia bernama Veka.
"Arfa Aigist. Oh, jadi nama kamu Arfa." Veka berucap sambil melihat papa namaku.
Aku kembali melangkah, tanpa menyahut perkataan Veka. Ternyata dia tidak berhenti sampai di situ, masih mengikutiku. Bagaimana caranya agar aku terhindar dari perempuan ini? Aku sangat risih dengan keberadaannya di sampingku.
"Oh iya, makasih untuk tadi. Kalau nggak menyontek, aku tidak tahu cara ngisi jawaban. Soal tadi sangat sulit dan rumit. Iya 'kan? Tapi kok, kamu bisa mengerjakan dengan sangat cepat?"
Ahhh, dia terlalu cerewet. Aku langsung mempercepat langkah. Dia meneriakan namaku berulang kali. Berpura-pura tidak mendengar, kaki tidak berhenti berjalan. Setelah tiba di luar pagar, aku lalu berlari kencang seperti tadi, saat menuju ke sekolah.