Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 263 - ●Keraguan Milind

Chapter 263 - ●Keraguan Milind

"Aku tak bisa mempercayainya," Milind berkata, di bilik Gosha. Mereka hanya bertiga, bertukar pikiran.

"Kenapa?" tanya Kavra.

"Dalam serangan Mandhakarma yang lalu, ia tak mengenalimu, Kavra," tegas Milind. "Ia juga tak mengenaliku."

"Kehilangan ingatan, bukan berarti pembohong," Gosha menyimpulkan.

"Aku tak berkata ia berbohong," Milind meluruskan. "Tapi mempercayainya begitu saja, sungguh berbahaya."

"Kalau Kavra Hitam muncul, kita harus siaga," gumam Kavra.

"Terutama kau, Milind," Gosha menatap Milind seksama. "Kau harus bisa memutuskan."

"Aku tak akan memilih salah satu di antara kalian!" tegas Milind.

"Kalau kau harus membunuh Kavra Hitam, lakukan," Kavra menegaskan.

"Apa maksudmu? Aku akan cari cara lain! Membunuh Kavra Hitam berarti membunuhmu," ujar Milind.

Kavra menarik napas, merasa tersentuh mendengarnya. Tala dan Nadisu berikut sekutu mereka akan berkenan membunuh Milind dengan segera, tapi Milind bahkan tak ingin melukai panglima Gangika!

"Nami bisa membunuh Gosha Hitam," Gosha berkata. "Ia mungkin bisa membantu membunuh Kavra Hitam, tanpa harus membunuh Kavra yang sesungguhnya."

"Aku khawatir kemampuan bertarungnya akan menurun," Milind menarik napas panjang.

"Dalam peristiwa Andarawina, Nami bisa menyembuhkan diri sendiri, luka dari Mandhakarma," Kavra berujar, menatap Milind.

"Saat itu ia masih memiliki serbuk raja Vanantara," Milind mendesah pelan, "serbuk Dewangga."

"Kalau begitu, mintalah lagi!" ujar Gosha.

Milind dan Kavra saling bertatapan, tak ingin Gosha tahu lebih banyak bahwa urusan serbuk hijau belum tuntas mereka ketahui.

"Kenapa?" tanya Gosha. "Ada yang kalian sembunyikan dariku?"

Demi melihat Milind terdiam sembari meraba hulu pedangnya, Gosha tahu sahabatnya tengah resah dan berpikir.

"Milind," Gosha berkata. "Sebagai penasihatmu, aku mulai merasa, Dupa dan Nami harus dilibatkan dalam rencana-rencana kita. Mereka tentu tak dapat mengambil keputusan, sebab keputusan tertinggi ada di tanganmu. Tapi pemikiran dan pengalaman mereka tak dapat diabaikan."

Milind menatap Gosha penuh selidik.

"Pendapatmu mewakili Akasha, pemikiranku mewakili Pasyu, mereka berdua mewakili Nistalit," ujar Gosha. "Kita akan lebih lengkap."

❄️💫❄️

Semua harus bergerak cepat. Kavra dan Yusa tak punya banyak waktu di Girimba. Semakin lama menghilang dari Gangika, keberadaan Kavra akan dicurigai. Walau Nami belum sembuh seutuhnya, ia dan Dupa bergabung bersama para panglima di bilik khusus Gosha.

"Dupa," Gosha berkata, "silakan."

Dupa terbelalak, merasa sangat sungkan. Ia hanya prajurit rendah dari kalangan Nistalit. Berada di antara panglima besar seperti ini membuat nyalinya menciut. Nami memandang ke arahnya, tersenyum menguatkan.

"Katakan apa pandanganmu terkait perang kita melawan Mandhakarma," dorong Gosha, menenangkan Dupa.

Dupa menarik napas panjang, berpikir keras, sebelum mengucapkan satu kata, "Mahatarundara."

Gosha mengangguk, "Pasyu menyebutnya al lir dan Akasha menyebutnya poorva auriga."

"Kita harus membawa lebih banyak bongkahannya ke mari," Dupa berkata yakin.

Nami tertegun memandangnya.

Kavra menatap Dupa tajam, "Kau juga memburu poorva auriga seperti Nami?"

Dupa dan Nami mengangguk.

"Bagian itu ingin kuketahui," Kavra berkata. "Pasukan khusus Gangika banyak yang tewas. Yang kembali bertangan hampa. Bagaimana kau dan Nami bisa selamat? Maksudku, kalian selamat sembari membawa pulang poorva auriga."

"Hamba tak membawanya," Dupa berkata jujur. "Hanya Nami."

Seluruh mata tertuju pada Nami.

Gadis itu membungkuk, memberi hormat yang dalam.

"Seperti yang hamba telah ceritakan kepada Raja Vanantara dan Pandhita Garanggati," Nami menggigit bibir dalamnya sesaat, "Panglima Milind juga ada di sana beserta Putri Yami. Langkah hamba tertahan lebih lambat dari pasukan lain karena harus mengawal prajurit Vasuki yang terluka."

Bagian itu terdengar tidak menyenangkan, hingga Nami terdiam.

"Namun, ternyata hal itu memberi kesempatan hamba untuk berpikir jernih sejenak ketika seluruh pasukan dari berbagai wangsa mengejar bongkahan besar mahatarundara…maksud hamba, poorva auriga," Nami merasa salah bicara. "Hamba memiliki pengalaman membangun Gerbang Batu dan Bendungan Gangika."

Kavra menahan napas, mengingat para budak Nistalit dan Sin. Saat awal ia mengenal Soma, Suta dan Dupa; dan tentu saja : Nami.

"Setiap kali memecah batu dengan kapak, batu itu tak langsung terbelah. Pecahannya akan terlontar ke beberapa bagian," Nami menjelaskan. "Hamba berpikir hal yang sama terkait maha…poorva auriga. Ketika melihat pasukan khusus dan rombongan buruh Nistalit menuju pusat poorva auriga, hamba menjauhi. Banyak yang tewas di tempat kejadian karena hantaman keras, terutama Nistalit."

Nami menunduk dalam, merasakan dadanya sesak mengingat tak banyak yang bisa dilakukan untuk melindungi kaumnya sendiri.

"Itulah sebabnya hamba bisa membawa satu bongkahan kecil pulang," Nami menutup kisah, "hamba justru bergerak ke arah berlawanan dan berhasil mengambil satu pecahannya. Karena tak ingin prajurit Vasuki mendapat masalah, hamba membantunya mendapat satu irisan poorva auriga."

"Aku mengerti sekarang, kenapa Kavra sangat peduli pada pasukan Nistalit," gumam Gosha tanpa bermaksud apapun, merasa geli ketika Milind menatapnya tak suka.

Dupa menundukkan kepala, tampak termenung dengan dahi berkerut-kerut.

"Giliranmu, Dupa," Kavra berkata.

Milind menyilangkan tangan di depan dada, menatap dalam ke arah Kavra.

"Milind, aku tahu kau keberatan," ujar Kavra. "Jika kau banyak tahu, kau pasti khawatir poorva auriga akan menjadi senjata kami dan mengancam Wanawa. Raja kita tidak bersahabat tapi aku tak ingin Akasha hancur. Aku akan mencoba sekuat tenaga bahwa jika kami mendapatkan poorva auriga, senjata ini hanya digunakan untuk melawan Mandhakarma, bukan melawan sekutu sendiri. Apalagi sesama Akasha."

Gosha terpekur.

"Aku akan menyiapkan surat perjanjian, Kavra," Gosha berkata.

"Silakan."

"Ini akan menjadi mandat para panglima tinggi agar ke depannya seluruh pasukan bisa bergerak di bawah satu perintah," jelas Gosha.

"Aku mengerti."

Dupa dan Nami menatap kagum ke arah Gosha.

"Jangan memandangku seperti itu, Dupa, Nami," Gosha berkelit, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Kalian belum pernah melihat Milind marah."

Milind memandang Gosha sebal, merasa tak enak hati melihat Kavra mengalihkan pandangan. Mereka menanti kisah Dupa.

"Panglima Milind telah mendengar cerita hamba di Giriwana, namun masih ada yang hamba sembunyikan," ungkap Dupa jujur.

Kening Milind mengernyit.

Dupa memandang gelisah ke samping, ke arah Nami. Butuh waktu bagi Dupa untuk bisa menenangkan diri.

"Hamba sempat menolong prajurit khusus, seperti pengalaman Nami," jelas Dupa pelan, "dan ia pun menolong hamba. Kami selamat karena saling membantu, namun tak bisa membawa pulang poorva auriga."

"Kau mengenalinya?" Kavra bertanya ingin tahu.

"Hamba…," Dupa tersendat, tak langsung menjawab, "…hamba melihat beberapa pertalian dengan perayaan Andarawina."

Seluruhnya terkesiap, memusatkan pandangan utuh ke arah Dupa.

"Kami bertopeng, tak saling mengenali," Dupa melanjutkan, menjawab pertanyaan Kavra. "Tapi satu sosok yang menolong hamba ketika akan dibunuh oleh pasukan lain, sangat hamba kenali dari barang yang ia gunakan."

"Barang?" Milind dan Nami tanpa sadar berujar bersamaan, membuat mereka saling melirik sesaat dan membuat Kavra jengah.

Dupa mengangkat tangannya tanpa sadar, memberi isyarat gerakan melingkar.

"Ia mengenakan gelang yang sama dengan Nami," lirih suara Dupa.

Bagai petir menyambar hingga tubuh Nami tegak, mulutnya ternganga.

"Hamba lalu dapat memahami, mengapa Nami sangat ingin melindungi Putri Arumya banna Giriya di perayaan Andrawina," Dupa tersenyum samar. "Karena Putri Arumya, di balik pakaian mewah dan perhiasan indah, mengenakan gelang yang sama dengan Nami –malam itu."

Sebutir air menetes begitu cepat dari ujung mata Nami, cepat dihapusnya dengan punggung tangan.

"Sepertinya, sosok ini menitipkan pesan penting pada Putri Arumya," Dupa menyimpulkan, "untuk disampaikan pada Nami. Entah pesan itu sampai atau tidak."

Nami meraba gelang jali-jali di pergelangan tangan.

"Siapa sosok ini?" selidik Milind.

Dupa mengangguk samar namun yakin, sembari memberi hormat pada Kavra, "Sosok yang mengirimkan gelombang Nistalit pertama kali menuju Gangika. Namanya Jalma."

"Jalma," Milind dan Kavra mengulang namanya, sembari saling menatap.

Nami membeku di tempatnya, hanya menunduk sembari mendekap tangannya sendiri dengan gelang melekat di depan dada.

"Jalma adalah abang Nami," Dupa menatap Nami dengan prihatin. "Ia…ia juga menyampaikan pesan pada Nami. Maafkan, Nami, aku tak pernah punya kesempatan menyampaikan padamu. Saat ini, kurasa kesempatan yang baik.

Suara Nami bergetar, antara sedih dan tak yakin, "Apa pesannya?"

Dupa menatap Nami dalam. Mata sendu gadis di depannya membuat hatinya remuk redam.

"Jalma telah terikat sumpah setia dengan Vasuki dan Giriya," suara Dupa tercekat. "Suatu saat kalian berhadapan, Jalma berpesan : jangan ragu untuk menghabisinya."

Nami menutup wajah dengan kedua belah tangan.

Dupa tersenyum kemudian, "Jalma bangga ketika kuceritakan sekilas tentangmu. Ia berkata kau telah berada di pihak yang tepat."

Jemari Nami menelusuri rambutnya sendiri, meremasnya.

Dupa menatapnya risau.

Milind tertegun menyimak. Kavra dan Gosha tak mampu berkata-kata.

"Bagaimana mungkin Jalma menghamba pada Raja Tala hal Vasuki?!" gumam Nami sedih dan geram.

❄️💫❄️