Cacimaki Fuji.
Kemarahan Rendra.
Kecelakaan Pandu.
Ditambah, bu Candra syok mendengar kondisi yang dialami Pandu. Dari semua anak yang dimiliki, Pandu adalah yang terbaik. Terpandai, tersopan, paling penurut. Perekat keretakan keluarga. Wajar, bu Candra tak tinggal diam. Silva merasa, ialah yang menjadi penyebab semua.
"Mama bekukan semua akun bankmu untuk investasi, Rendra!" teriak bu Candra, di rumah sakit.
"Ma! Banyak proyek sedang berjalan!" Rendra protes. "Pembayaran gaji karyawan harus tepat waktu. Pembelian bahan-bahan juga! Kita sedang menggarap pelabuhan dan jalan raya!"
"Kamu harus tahu konsekuensi. Mama sudah bilang, proyekmu dengan cewek gak bener itu bikin sial!"
"Cewek gak bener yang mana??"
"Kamu gak bisa misahin kepentingan pribadi sama perusahaan!"
Rendra naik pitam, "Aku gak seperti Mama!"
"Kurang ajar kamu! Kamu masih belum bisa menghasilkan apa-apa! Karena Mama, kamu bisa seperti ini! Sekarang semua harus dengan seiizin Mama!"
Rendra menatap bu Candra nanar, teraduk kemarahan dan kesedihan. Sebagai anak, merasa direndahkan. Sebagai lelaki, merasa diremehkan. Apa ini perasaan papa ketika dulu mengetahui ibunya hamil Silva dengan seorang lelaki pengusaha yang lain? Dianggap tak pernah ada; kalau pun ada dianggap hanya remahan belaka?
Kemarahan bu Candra pun tertumpah pada Silva.
"Kamu sudah ngabisin uang berapa, heh? Pindah-pindah sekolah! Sekolahmu bukan sekolah murah!" bentaknya.
Silva tak seperti Rendra. Harga dirinya telah musnah dilibas kemarahan Fuji. Di hadapan sang ibu, ia bagai seonggok benang basah yang tak bisa ditegakkan. Tak mungkin mengeluarkan sepatah kata, bahkan mengangkat dagu pun nyaris mustahil.
"Apa kamu mau putus sekolah SMA aja? Gak usah sekolah! Apalagi kuliah!"
Bu Candra mengancam memutus semua aliran dana ke Silva. Jujur, gadis itu mengakui bahwa sebagian besar isi ATM nya telah berkurang banyak. Walau, seseorang berjanji untuk mengisinya secara berkala sebagai bentuk pertanggung jawaban karena pernah meminjam uang padanya ketika sahabatnya berada dalam kondisi kritis.
Kemarahan bu Candra telah sampai puncak.
"Siapa cewek ini, yang menguras uang Rendra dan juga uangmu, Silva?! Benar-benar cewek murahan, tukang gerogoti materi orang! Kalau Mama ketemu sama dia, Mama gak akan segan gampar mukanya!"
Silva terbelalak. Tergugu.
🔅🔆🔅
Tak ada tempat kembali. Kegelapan hari benar-benar menguasai Silva. Kembali ke Javadiva dengan uang seadanya dan ancaman kematian dari para ular yang bisa berubah wujud sewaktu-waktu, atau kembali ke persembunyian Salaka? Homestay delapan hektar tempat berkumpulnya tim benar-benar telah resmi dibekukan. Silva tak punya banyak persediaan uang. Tempat persembunyian Salaka pun butuh uang sewa. Pemiliknya sebentar lagi akan kembali. Jika tak bisa memperpanjang sewa, ke mana Salaka dan Candina akan pindah tempat?
Satu-satunya tujuan untuk bisa meluapkan isi hati adalah rumah bu Tina.
Memeluk Najma kuat-kuat walau ia juga yang melaporkan gadis itu kepada bu Candra, tanpa sepengetahuan Najma. Semua perhatian tengah tertumpah pada Pandu, tak ada yang terlalu memperhatikan Silva hingga ia merasa lebih bebas bergerak.
"Kita akan cari jalan ke luar," Najma menepuk-nepuk punggungnya.
Mata Silva bengkak.
"Karena aku, mas Pandu sekarang koma," tangis Silva. "Dia abangku yang paling baik. Bahkan, ketika mas Rendra jahatin aku, mas Pandu selalu membela."
"Silva, kamu gak bisa lama-lama di sini," hati-hati Najma memberi tahu. "Pak Rendra kali ini benar-benar marah besar. Sebelumnya, ia sudah pernah marah pada kami, tapi kali ini sepertinya sudah membuatnya mengambil keputusan. Aku gak bisa salahkan pak Rendra."
Silva mengusap hidung.
"Aku…aku takut, Mbak," isak Silva. "Aku gak tahu harus ngapain lagi. Aku gak ingin Salaka, mas Pandu, dan semuanya celaka. Hidupku sendiri kayaknya udah hampa banget di Javadiva."
"Eh, jangan gitu…"
"Salaka sama Candina membuat hidupku berwarna. Sonna juga. "
"Kamu gak menganggapku ada?" Najma tersenyum.
"Bukan gitu…aku hanya ngerasa…"
"Ayo, kita susun rencana!" ajak Najma, mengeluarkan kertas dan pulpen. "Mulai dari kemungkinan terburuk."
Silva mengangguk lemah.
Najma membuat tabel.
"Katakan, aku, kamu, Salaka dan Candina kalah lalu mati," Najma menuliskan.
Silva bergidik.
"Ini terjadi karena apa?" tanya Najma.
"Misi Salaka gagal," jawab Silva. "Dubiksa menang. Perak yang dikumpulkan Salaka di Dahayu berhasil disita pasukan hitam. Dunia dalam kekacauan karena orang-orang semakin menggila. Sonna pernah bercerita padaku, bagaimana serbuk perak bekerja dan bagaimana jika serbuk ini telah musnah dari muka bumi."
Najma menatap Silva," kamu mau dunia berakhir kayak gitu?"
Silva menarik napas, menggeleng.
"Sekarang, andaikan sebagian dari kita menang, sebagian kalah," ujar Najma.
"Maksud, Mbak?"
"Mungkin aku dan Ragil yang mati, kamu dan teman-temanmu selamat untuk menjaga Salaka."
"Mbak, aku gak mau kayak gitu!" tolak Silva.
"Ayolah, Sil! Kita sedang buat tabel dengan segala kemungkinannya," ajak Najma. "Realistislah. Mbak juga belum pernah ngalamin yang kayak gini. Kenapa menjaga Salaka penting?"
Silva menarik napas berat, "Karena dia kunci dari semua ini."
"Betul."
"Kalau dia mati…semua rahasia tentang perak juga ikut menguap," bisik Silva, takut dan bingung bercampur.
"Ya, akupun mikir gitu," sahut Najma. "Salaka harus selamat, Candina dan kamu juga. Candina pengawal Salaka dari masa lalu sementara kamu sepertinya kaan mengawal Salaka di masa sekarang."
Silva meneguk ludah.
"Mbak Najma juga penting," suara Silva bergetar. "Mbak harus hidup biar bisa memandu kita semua!"
"Aku akan tularkan sama kamu semua yang kudapatkan setelah membaca manuskrip kuno yang berkaitan dengan area penggalian delapan hektar," jelas Najma. "Aku khawatir ancaman Dubiksa benar. Apa yang menimpa Pandu, bisa menimpa kita semua."
Telepon Najma berdering.
🔅🔆🔅
"Naj, udah denger?"
"Apaan?"
"Bara!"
"Kenapa dia?"
"Di rumahnya dia mengamuk dan melukai papanya. Juga adiknya!"
Najma menahan napas, memandang Silva yang berada di hadapannya.
"Bara kan memang punya masalah keluarga," Najma mengingatkan. "Dia beberapa kali cerita kalau hubungannya gak terlalu harmonis terutama dengan papanya."
"Ya. Tapi melukai adiknya? Dia sayang banget sama adiknya."
Najma mencoret kertasnya. Silva memperhatikan.
Pandu dan Bara, tetiba melukai orang lain dan dilanda kemarahan hebat.
"Kamu mau tahu, apa yang diteriakkan Bara?" kata Ragil. "Adiknya ngirimin aku voice note."
Najma menahan napas.
Ragil memutus percakapan sementara, terlihat sedang mengetik dan mengirimkan voice note.
Bagian awal suaranya terdengar ia marah karena tak punya uang. Berharap bahwa dari beberapa proyek dapat penghasilan lumayan, tapi ternyata justru banyak kerugian. Bahkan, proyek yang terakhir terancam gagal. Najma merasa sedih mendengarnya. Mereka yang bekerja untuk mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan, memang seringkali terbentur dana.
Silva tetiba mengerutkan kening.
"Mas Ragil, mbak Najma," ujarnya ketika mereka tersambung dengan Ragil. "Coba kita ulang sekali lagi, suara kemarahan Bara."
Najma mengikuti permintaan tersebut. Tak ada yang aneh.
"Ulangi lagi," pinta Silva.
Najma mengerutkan kening.
"Perbesar suaranya sampai maksimal!"
Najma bingung, namun menurut.
Satu gawai Najma memutar voice note, satunya lagi bercakap dengan Ragil.
"Ragil?" bisik Najma bergetar. "Kamu dengar, Mas?"
"Ya."
Suara kemarahan Bara terdengar meledak, kasar, dipenuhi kata-kata makian dan suara berat. Juga tarikan napas tak beraturan dan suara terkekeh yang halus. Suara sangat halus dan lembut yang nyaris samar, namun terdengar bukan seperti suara Bara. Dua suara saling bertumpang tindih, berkejaran. Yang satu terdengar memberikan instruksi kepada yang lain.
"Mawar ada di mana?" tanya Najma khawatir.
"Di rumahnya," Ragil berseru sedikit panik. "Bara telah diringkus karena melukai ayahnya. Aku harus ke rumah Mawar!"
Najma dan Silva berpandangan panik.
Menit demi menit berjalan. Ragil pasti memacu sepeda motornya menuju tempat Mawar, pikir Najma. Gadis itu bisa berada di kos-kosannya, atau menginap di rumah teman, atau entah di mana. Mereka menunggu bagai berabad untuk mendengar kabar tentang Mawar
Suara pintu digedor tamu dengan kasar terdengar.
🔅🔆🔅