Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 105 - ●Langkah Nami (2)

Chapter 105 - ●Langkah Nami (2)

"Apa? Melibatkan Wanawa?" desis Sin. "Kau sudah tak waras! Gangika dan Wanawa bukan sahabat baik. Bahkan dengan Giriya pun, kami tak berterus terang tentang kalian, Nistalit Gila!"

Nami menundukkan kepala.

Wajahnya tegang.

"Bagaimana jika rencana kami…berhasil?" Nami mengerahkan keberanian.

Suta menyodok pinggangnya.

"Bagaimana jika gagal???" bentak Sin. "Bukan saja rugi, kau mempermalukan Gangika di depan Wanawa!"

O, apakah seharusnya ia tak perlu bertukar pendapat dengan Hulubalang Sin? Lebih baik menyimpan sendiri rencananya dan biarkan sang hulubalang tahu beres semua urusan. Keributan kecil itu mendapatkan perhatian Kavra yang sedang berkeliling.

"Semua Nistalit sudah bekerja?" tanya sang panglima.

Hulubalang Sin memberikan hormat yang dalam, melaporkan keadaan terbaru pembangungan Bendungan Gangika.

"Perhatikan yang sakit, buat mereka segera sehat," ujar Kavra, sembari menatap pada dua Nistalit di depannya penuh selidik, "mereka tak ingin kembali ke Giriya, bukan?"

Nami dan Suta membungkukkan badan, memberi hormat yang dalam.

"Mengapa mereka tak bekerja?" tanya Kavra ingin tahu, melempar tanya pada Sin.

"Mereka sedang melapor, Panglima," sahut Sin, mengarahkan pandangan tajam ke arah Nami.

"Ada sesuatu, Sin? Katakan," Kavra menatap sang hulubalang yang terlihat tak nyaman.

Sin menahan napas, tak bicara.

"Sin?!"

"Ya, Panglima."

"Jangan sembunyikan sesuatu dariku!"

❄️💫❄️

Nadisu banna Gangika mengerutkan kening.

"Dia benar-benar nekat," Mihika mengumpat kecil.

"Apa maksudmu, Mihika?" Nadisu bertanya.

Di hadapan mereka, Kavra memberikan laporan singkat terkait keadaan Bendungan Gangika. Termasuk penjemputan –atau pelarian – para Nistalit. Disinggungnya pula usulan Nami yang terlihat mustahil dan membahayakan kedudukan Gangika.

Mihika menoleh ke arah Nadisu. Rambut ikalnya yang lebat diikat ke atas, menyisakan leher jenjang dan helai-helai anak rambut. Mahkota indah bertahta di kepala. Selendang kuning halus dan cemerlang tersampir di bahu kanan.

"Nistalit perempuan kita," sahut Mihika. "Gagasannya tentang melarikan rombongan melewati Wanawa benar-benar keterlaluan!"

"Hubungan kita tak bagus dengan Wanawa," ujar Nadisu, "semenjak Tala hal Vasuki mengumumkan perseteruan."

"Kuharap, kita tak membuat keadaan makin buruk dengan melibatkan Wanawa," Mihika menambahkan.

"Bagaimana, Kavra?" tanya Nadisu.

Kavra mengangguk, memberikan penghormatan dan sudut pandang.

"Kita tak pernah memusuhi Wanawa, Paduka," Kavra berusaha memberikan pendapat. "Tapi kalau ketahuan membawa Nistalit, kita akan menuai kemarahan Giriya dan Wanawa."

Nadisu tampak berpikir dan merenung.

"Bagaimana perkembangan bendungan?"

Kavra tersenyum sedikit lebar.

"Keahlian Nistalit dan mantra Gangika, mempercepat dan memperindah pembangungan Bendungan Gangika," ujar Kavra. "Namun memang, tak secepat yang kita harapkan, Paduka."

Nadisu mengangguk-angguk.

"Adakah kabar dari Vasuki, Kavra?" Nadisu menarik napas panjang. "Tentang Gelombang Hitam."

Kavra memberikan hormat yang dalam.

"Berita terakhir yang hamba dapatkan, Gelombang Hitam atau Mandhakarma, telah menelan benteng timur laut Aswa," sahut Kavra. "Banyak prajurit Aswa gugur. Benteng itu benar-benar runtuh. Hamba tak lagi mendengar kabar selanjutnya."

Tarikan napas panjang Nadisu dan Mihika menyatu dalam perasaan berat.

"Apakah Mandhakarma bergerak makin cepat, Kavra?"

"Untuk sementara masih bertahan di tempatnya," Kavra menjelaskan. "Sepanjang wilayah Gangika dan jarak yang dapat ditempuh mata-mata serta hulubalang kita, Mandhakarma belum terlihat bergerak kembali."

"Ya," Nadisu berujar, "wilayah Akasha yang terluas adalah kerajaan Jaladhi. Kuperkirakan, bila serangan itu tiba, tepian Jaladhi akan terkena terlebih dahulu. Walau demikian, wilayah Gangika terhubung dengan Jaladhi. Aku khawatirkan, dampak kerusakan Gangika akan sama parahnya dengan Jaladhi."

"Benar, Paduka. Hamba pun berpikir demikian."

Kerajaan yang dibangun dari aliran sungai, bebatuan dan segala makhluk hidup di dalamnya. Istana luas yang dipenuhi keajaiban alam. Bilik-bilik raja, ratu, pangeran, putri dan para bangsawan tersusun dari bebatuan dan aliran air. Ruang utama balairung kerajaan Gangika, batuan bersusun berdampingan tirai-tirai aliran air jernih yang menghubungkan dunia dalam dan luar Gangika. Ikan-ikan berenang lincah dengan kegembiraan yang murni.

Dari jendela air balairung kerajaan, Nadisu dapat melihat rakyatnya bergerak dalam kehidupan yang cepat dan penuh gairah. Apakah semua akan berakhir hancur disebabkan Gelombang Hitam?

"Kita butuh perlindungan tambahan bagi Gangika," Nadisu menatap ke arah tirai-tirai aliran air. Suara gemericik yang sering membantunya untuk berpikir cepat dan jernih.

Nadisu dan Kavra saling bertatapan dalam diam untuk beberapa saat.

"Apakah kau punya pikiran yang sama denganku?" Nadisu bertanya.

Kavra menarik napas panjang, memejamkan mata sesaat.

"Kadang, sebuah keputusan besar harus dipertaruhkan dengan pertimbangan yang sangat berbahaya," Kavra berujar.

"Usulan Nistalit perempuan itu bisa dikabulkan," perintah Nadisu.

Mihika ternganga, "Paduka??"

"Seorang raja akan melakukan apapun untuk melindungi rakyatnya, Mihika. Sekedar berseteru dengan Giriya juga Wanawa, akan ditempuh bila itu menguntungkan rakyatku," tegas Nadisu.

Mihika menatap suaminya tak percaya. Nadisu, terlihat sangat yakin dengan keputusannya.

"Atur semua rencana sebaik-baiknya," pesan Nadisu. "Jangan biarkan Wanawa tahu. Jika keadaan memburuk dan kita terpaksa memilih, kau harus tahu keputusan terbaik."

❄️💫❄️

Ara, pohon raksasa yang tumbuh di tepi-tepi sungai memiliki buah-buah kemerahan di batang pohon. Bergerombol, menyatu di salah satu pangkal sudut dahan. Bagi Gangika, pohon ara atau pohon tin memiliki manfaat luas. Daun-daun menjulang, membentuk payung yang memberikan keteduhan. Batangnya yang kokoh terlihat perkasa. Akar-akar yang menjulur, bila memeluk batu di daratan akan mengikat kuat menjadi tiang penopang.

Mata-mata Gangika, mengubah bentuk diri mereka menjadi lebah pohon ara yang bebas berkeliaran di hutan-hutan. Terkadang, Akasha Gangika menunggang angin dan tak terlihat bagi mata kebanyakan. Serbuk buah ara merah menjadi penanda kehadiran Akasha Gangika, termasuk mata-matanya. Walau, tak setiap pihak dapat menyadari kehadiran mata-mata lihai yang dapat menyelinap ke balik rimbun pepohonan.

Lebah pohon ara Gangika, terbang menelusuri gua-gua. Mencari Nistalit, membisikkan kata-kata ajakan agar mereka berkenan bergabung bersama untuk membangun bendungan. Dengan cara itulah dulu, pelarian pertama yang terdiri dari rombonan Nami berhasil.

Kali ini, lebah-lebah buah ara mencari lagi rombongan Nistalit yang berkenan diajak membangun bendungan, menyeberang Gangika, bertaruh kehidupan dan berani menghadapi kematian. Bisik-bisik tersebar dari mulut ke mulut. Kehidupan Gangika yang lebih menjanjikan, membuat banyak Nistalit berharap menjadi salah satu yang terpilih untuk memulai petualangan berbahaya.

Di Giriya, mereka mati terhina.

Di Gangika, mungkin menemui nasib sama.

Setidaknysa, satu kesempatan pernah diuji coba.

❄️💫❄️