Sewaktu-waktu di musim yang menyengat aku akan kembali bermimpi—mungkin lebih tepatnya berhalusinasi tentang kenangan lama dan sama sekali tidak paham bagaimana perasaanku ketika hal itu menyerang juga tidak ingat dulu rasanya menjalani kehidupan di dalam kenangan itu. Apakah karena merasa menyesal dan merasa bersalah karena telah berdosa maka halusinasi ini terus-menerus duduk di sudut mataku, tidak berpindah posisi.
Betah memancarkan cahaya lembut membuatku mencari-cari perasaanku saat tiba waktunya berjumpa dengannya. Dengan laki-laki dalam kenangan itu. Atau lebih tepatnya dialah kenangan itu, hantu yang datang dari masa lalu. Anehnya, aku tidak takut dan terganggu, malah berharap dia terus di sana, di sudut mataku sedang duduk di tepi jendela, memandang entah apa yang dipandangnya. Damai bersama angin sepoi-sepoi—yang seharusnya tidak ada—meniup rambutnya di musim panas menyengat.
Tidak perlu orang lain memberitahuku bahwa aku mengalami keanehan pasca kehilangan, karena mulai setahun dari hari itulah dia muncul di tepi jendela kamarku dan aku mulai menjadi 'anak aneh'.
Mungkin bagi orang-orang kehilangan anggota keluarga yang sudah lebih dari uzur adalah hal biasa, tapi tidak untukku. Sampai usiaku dua belas tahun, lingkaran lingkungan rumahku adalah kakek dari kakek dan nenek dari nenek. Aku lahir terlalu terlambat untuk usia seorang ibu yang hampir menginjak umur 50 tahun. Sepupu-sepupuku sudah menikah, alhasil aku mempunyai keponakan dari pihak ayah yang saat itu seumur denganku, dan dari pihak ibu yang sudah akan berkeluarga.
Aku tidak punya kelebihan selain senang menulis cerita dan mengkhayal, mungkin itu sebabnya kakek dan nenek yang benar-benar tidak bisa bergerak banyak selain tertawa dan berbicara kurang jelas menyukai beberapa cerita yang kuciptakan sambil menggoyang-goyangkan kaki di kursi malas. Namun ketika dua orang tua renta itu sudah tiada, tidak sengaja aku mendengar sepupu-sepupuku bercerita di dapur sambil mengupas bawang merah bahwa dua orang tua itu sudah mengalami penyakit jiwa sebelum aku ada di dunia ini.
Tidak masalah, kataku pada langit-langit suatu malam, asal mereka senang dan aku punya teman mengobrol yang setia tanpa menyuruhku memegang tali karet bila ada yang bermain atau memaksa mengunci diriku sendiri di dalam kamar seolah aku ini pengganggu, tidak masalah. Aku senang berbicara dengan orang yang punya penyakit kejiwaan.
Mungkin itulah yang menyebabkan Momma dan Dad enggan berbicara menghabiskan waktu bersamaku, tidak ingin banyak mendengar cerita apa yang telah kubuat, atau hasil yang telah kuberikan selama dua belas tahun berakting ceria lalu berubah menjadi aktris judes yang membuat ibu-ibu menonton geram dengan adegannya. Padahal hanya akting. Dan aku bukan aktris.
Aku merasa sehat, sehat lebih dari 14 tahun lalu ketika lingkaran tetua yang biasanya menjadi titik pondasiku hilang satu persatu, kakek dari kakek dan nenek dari nenek. sampai Kembali lagi menjadi musim panas menghalusinasikan laki-laki yang memang sudah jelas tiada setahun setelah keluarga uzurku pergi. Tidak tahu apa penyebabnya, sampai sekarang (saat cerita ini kutulis usiaku sudah 26 tahun, sedikit info bagi yang penasaran dan malas untuk menghitung) aku masih mencari-cari sebuah dosa untuk membuktikan bahwa kemungkinan besar sosok itu adalah bentuk dari penyesalanku di masa lalu.
Jelas bagiku dia tidak nyata, tidak akan ada lagi orang sepertinya, tidak akan pernah bisa semirip ini. Hadir kemudian menghilang semaunya sesudah musim berakhir. Lantai tempatku terjatuh dari ranjang tidur dingin, hari ini cuaca sepertinya sedang kacau balau, angin kencang dan hujan deras, jendela kamarku bergetar saat guntur tertawa marah dan laki-laki itu menghilang. Tidak ada di dalam kamarku. Tidak ada di manapun. Lalu matahari naik, seolah perasaan sejuk yang sesaat tadi datang hanyalah mimpi siang bolong.
So well, bagaimana bisa keadaan cuaca yang kacau tadi itu dikatakan mimpi bila hantu masa lalu ini tiba-tiba muncul seakan tidak bergerak ke manapun seperti bunglon yang sedang menyamar di jendela. Aku bernapas lega.
"Kamu masih di sana" gumamku mengantuk. Sadarlah aku, bahwa aku mencari-carinya hari ini… juga waktu itu. Sepotong ingatan berhasil kutangkap dan aku tertegun mengingatnya.
Cilegon bukan tempat kelahiranku, keluarga besar Momma dan Dad tinggal berdekatan di sana. Dan di sanalah aku tinggal dalam rumah sederhana di lingkungan kompleks yang sepi dari kendaraan. Aku tidak ingat tempat tinggal saat aku di lahirkan, mom selalu bilang, di Serang tepat di belakang gunung. Keluargaku tidak miskin namun ada sekali waktu kami pernah merasa lapar seharian, namun momma selalu mempunyai cara jitu agar aku tidak merengek minta makan.
Bertahun-tahun kemudian aku jadi tahu momma pernah punya banyak hutang di warung dekat rumah dan pemilik warung merasa enggan memberikan sebutir telur untuk mom. Lalu karena merasa sedih berlebihan, aku mulai bersikap dingin pada anak-anak kompleks, terkhusus yang kaya dan cantik karena sikap orang tua mereka pada momma. Keluarga momma dan dad memang baik, tetapi entah apa sebabnya orang tuaku lebih memilih untuk tidak menceritakan kesusahan mereka pada orang lain.
Mungkin aku agak mengerti mengapa orang tuaku bersikap baik-baik saja ketika keadaan terjepit sekalipun melihat dari perilaku warga kompleks yang benar-benar membuat muak. Dan aku benci anak-anak mereka.
Pernah suatu sore yang ramai aku duduk sambil mengamati dan menulis beberapa kalimat cerita mengenai seekor semut hitam besar dan anak kodok mati yang ditarik dengan capit besarnya—aku sedang bingung memikirkan apakah semut sebaiknya menggunakan kata bantu 'seorang' atau 'seekor'. Tapi semut yang sedang kuperhatikan sama sekali tidak memiliki ekor, mungkinkah perut besarnya itu bisa disebut ekor? —
Kemudian beberapa anak cantik, salah satunya anak si pemilik warung kaya raya memanggilku dari balik pagar mengajakku bermain lompat tali karena kekurangan pemain. Saat itu momma sedang di dapur dan dad belum pulang kerja. Aku enggan untuk mengangguk, tetapi jiwa kekanak-kanakanku girang bukan main karena ada orang lain yang mengajakku bermain di luar rumah.
Aku lupa, ketika momma keluar dari rumah menarik sebatang ranting tipis dari pohon dekat pagar dan mulai menyabit betisku dan anak-anak cantik itu menontonku di marahi, aku benar-benar lupa momma pernah berkata bahwa mereka tidak pernah butuh pemain sepertiku, mereka tidak memerlukanku ketika diperlukan. Aku ini anak luar, tidak cantik dan tidak punya uang jajan di kantong. Menahan malu, aku kembali ke dalam rumah tanpa mengambil buku di lantai teras, setengah membanting pintu kamar.
Merasa marah pada diri sendiri dan kesal pada momma yang tidak mau mendengar penjelasanku. Kemudian perasaanku membaik saat momma mengajakku menontonnya membuat kue.
Itulah terakhir kalinya aku pernah mengobrol dengan anak-anak yang cantik, well yeah kalau hanya berkata "oke" bisa dikategorikan mengobrol.
Sampai usiaku sematang ini, aku tidak pernah punya teman dekat. Dan kurasa mereka (teman-teman) juga tidak butuh berlama-lama mempertahankan hubungan teman semasa sekolah atau kuliah. Sekadar ingat sudah cukup. Mungkin. Kurasa begitu. Aku tidak tahu. Karena sejauh ini, teman yang kuanggap dekat mulai menjauh dan menjalani hari dengan teman-temannya yang tidak kukenal.
Pagi itu adalah pagi yang terlalu pagi untukku, Mataku menolak membuka untuk mengikat tali sepatu, dan mulutku di paksa buka untuk menggigit sepotong kue yang dijejalkan asal oleh momma. Sekolahnya memang dekat tapi aku sudah sangat terlambat. Seharusnya saat malam tidak kupertahankan otakku untuk mengolah daya khayal anak SD yang menginginkan banyak teman, di sukai dan pintar matematika sehingga bisa meraih juara kelas.
Alhasil tugas matematika berantakan, puisi pahlawan hanya setengah bisa kuhapal, dan lagi-lagi sepertinya aku harus rela dicubit karena tidak bisa mengartikan satupun kalimat Bahasa Sunda. Namun hatiku agak menenang saat menyeberangi jalan raya dan patut berbangga diri karena tugas mengartikan cerita dari Bahasa Inggris selesai. Hanya itu pelajaran favoritku dan berkat guru kesayangan aku jadi agak pintar Bahasa Inggris, tetapi kalau gurunya sekejam guru matematika kemungkinan besar aku juga akan jadi bodoh dalam pelajaran itu karena sibuk memikirkan di bagian lengan dan paha mana guru itu akan mencubitku bukannya memperhatikan pelajaran. Dan lagi-lagi teman-teman yang cantik dan keren-lah yang selamat dari bencana lebam-lebam.
Di jalan setapak kecil pinggir jalan menuju gerbang sekolah, aku bertemu dengan teman yang sering kali cekcok bila bersamaku. Cekcok sepele tapi bisa membuat pertemanan bubar dalam kecepatan cahaya. Heni, dan keponakanku, Ferdi cowok berbadan bongsor, saat mengobrol aku harus banyak mengadah leher.
"Di kompleks ada orang baru pindah, Rin?" Tanya Ferdi, ketika Heni menunjukkan tugas matematika yang sudah siap diisi asal-asalan (menurut dia. Pemberitahuan kecil bahwa si pelit ini tidak akan membiarkan aku menyalin jawabannya) sambil berlari-lari kecil karena bel baru saja berhenti berdering.
"Kompleks mana?" Aku menjawabnya ogah-ogahan karena mataku sekarang sedang meneliti dan menghafal setiap jawaban matematika.
Sudah tentu nihil untuk tepat waktu melihat sejelas-jelasnya karena Heni Sudah memasukkan bukunya dalam tas. Beberapa angka tidak bisa kuingat dengan benar, oke, pasrah saja. Lebih baik dari pada kosong kataku dalam hati.
"Ya rumah lu"
rumahnya dan rumahku beda kompleks. Kompleks tempatnya tinggal terbilang agak elit. Itu karena ayah Ferdi, sepupuku dari pihak Dad kerja di kantor kementerian. Hanya segitu yang kutahu, intinya dia orang kaya. Dan menyebalkan. Kenapa sih, orang yang punya banyak duit di sekitarku tidak ada yang beres?
"Nggak tahu, emang kenapa? Cepat, Ibuk udah masuk kelas!"
Aku menyeret tangan Heni, sementara Ferdi mengekor dari belakang. Kulambaikan tanganku asal-asalan untuk menyapa seorang sepupu perempuan dari pihak Ayah yang sedang berdiri di depan pintu kantor kepala sekolah memakai baju yang jelas bukan baju sekolah, sepertinya mau mengambil ijazah. Dan hampir terpeleset plastik es ketika turun tangga. Astaga kenapa ruang kelas lima harus turun dua puluh tangga sih.
"Kata mama, anaknya sekolah di sini." Tak kusangka Ferdi masih membahas anak pindahan.
"Oh, oke!"
Aku sama sekali tidak tertarik dengan info anak pindahan kelas satu sementara aku sedang mengerem mendadak di belakang guru Matematika yang sedang mengobrol dengan guru bahasa Indonesia wali kelasku yang akan masuk kelas 6A—kelas anak pintar yang di walikan oleh Guru matematika.
Aku selalu kebagian kelas B semenjak kelas empat, so anak A dan B biasanya tidak ramah dan tidak pernah mau mengalah dalam suatu kompetesi terutama senang saling mengejek (setelah dewasa aku jadi mengerti anak-anak seperti itu dulu agar lebih di perhatikan dan mendapat kesenangan walaupun dengan cara memanggil nama pendek orang tua. Dan tetap, walaupun sudah dewasa aku tidak bisa menerima perlakuan badung begitu).
Aku salah satu dari murid kelas B yang punya lebih banyak musuh dari teman-teman lain. penyebabnya adalah, aku tidak pandai menahan emosi. Aku mengabaikan godaan untuk menghina balik seorang cowok kelas A bertampang marmot yang suka meledekku dari jendela yang memang sedang menyebutku "Unta Jupiter" tanpa suara. Tidak di depan guru pastinya.
Sebutan ini menjadi terkenal karena aku satu-satunya anak SD di sekolah itu (setahuku) yang memiliki hidung mancung, yang terlalu mancung dan agak besar. Tapi aku sayang dengan hidungku dan tidak bisa membiarkan siapapun mengejek bentuk hasil jerih payah Mom dan Dad.
Wali kelas mengerling kepadaku sambil tersenyum, aku balas nyengir di belakang guru matematika dan terburu-buru masuk sampai terpeleset untuk kedua kalinya. Inilah akibatnya bila datang terlambat saat pergantian bangku setiap minggu. Kelas sepakat pemilihan bangku diadakan dengan cara mengambil nomor dalam kotak dan yang tersisa secara sengaja adalah bangku di tepi jendela sebelah pintu barisan paling depan dan sering menjadi sasaran guru matematika memanggil nomor meja murid "nomor satu dari sebelah kiri ibu, maju!"
Neraka bagi kelas.
Aku mengerling cepat ke arah meja belakang, kosong. Tapi aku kalah cepat dari Heni. Dia sudah duduk di sana, membiarkan aku adu mulut dengan Ferdi yang sama sekali tidak mau mengalah.
"Duduknya sekarang kan gantian cewek cowok!" katanya menarik kursi dan tidak sengaja mendorongku sampai menabrak meja teman lain. Aku ingin menangis, sudah pasti di semester ini nilai matematikaku akan lebih anjlok dari siapapun. Tapi aku tetap saja tidak menarik mundur keberanian untuk bersuara keras, tentunya nanti sudah pasti kalah.
"Dasar genit! Bilang aja lu suka sama Heni" kalimat yang pasti akan membuat panik dan pembelaan dan keributan untuk anak SD. Aku tidak peduli yang kukatakan bohong atau bukan asalkan si Bongsor ini langsung angkat bokong dan aku selamat dari meja nomor satu. Seluruh kelas sedang menonton kami saling melotot sambil mendobrak-dobrak meja.
Selama menit-menit penuh kekesalan itu Ferdi tetap tidak menarik prajuritnya, dan aku dengan langkah terpaksa dan menghentak karena guru matematika sudah masuk ke kelas berjalan ke meja yang ternyata sudah ada penghuninya. Seorang cowok yang tidak kukenal. Padahal saat masuk kelas tadi jelas dia belum ada di sana. Yah, paling tidak aku bukan orang yang duduk di tepi jendela.
Betapa terkejutnya aku ketika guru matematika mewakili wali kelasku mengatakan bahwa yang duduk di sebelahku adalah anak baru di sekolah dan baru pindah ke kompleks tempatku tinggal. Dan jelas, mengingat rumah mana yang kosong di kompleks itu, dia adalah tetangga dua rumah dari rumahku.
"bukan anak kelas satu?" bisikku keras ke arah ujung belakang empat bangku jauhnya ketika guru matematika sibuk mencari-cari spidol yang ajaibnya selalu menghilang setiap pelajaran akan dimulai.
Ferdi membalas pelototanku. Masih kesal dengan ejekan genit. "Siapa bilang! Makanya denger omongan orang! Dasar unta!"
Kutahan lidahku untuk tidak menyerbu, berusaha fokus ke papan tulis dan buku. Mengabaikan teman baru di sampingku yang sama sekali tidak menyapa dan mengucap sepatah katapun sampai akhir pelajaran.
Dan aku menyesal, mengapa dulu aku tidak pernah menyapanya.
<><>