"Besok hari pernikahanmu, Ghaisan. Papa harap, kamu bisa melaksanakan akad nikah dengan baik dan benar. Ingat, Nak! Pernikahan itu bukanlah sebuah permainan. Jadi, lakukanlah dengan hati yang ikhlas dan niat yang baik," ucap Pak Harun pada putranya yaitu Ghaisan.
Ghaisan yang sedang duduk di sofa langsung bangkit berdiri dan berjalan mendekati jendela yang masih terbuka lebar. Dunia terasa sempit baginya. Jika saja Syakila tidak pergi meninggalkannya, mungkin dunia pun tak akan terasa sesempit ini.
"Jika pernikahan itu bukanlah sebuah permainan, lalu untuk apa Papa menghadirkan seorang wanita yang tidak Ghaisan cintai untuk dinikahi?" sindir Ghaisan seraya menatap berat pada bintang di angkasa raya.
Pak Harun menarik napasnya dalam. Sepertinya ia harus terus membujuk putranya agar mau membuka hati untuk Kinayya. Bagaimanapun, bukan Kinayya yang menawarkan diri untuk menjadi istri putranya. Akan tetapi, ia sendiri yang meminta tolong pada Kiyai Salahuddin untuk mencarikan wanita yang bersedia menikah dengan putranya.
"Dengarkan Papa, Nak." Pak Harun melangkahkan kakinya mendekati putranya. "Pernikahan sejatinya dilakukan atas dasar cinta saling cinta. Sepasang suami istri yang menikah karena saling mencintai, akan dikatakan sukses membina rumah tangga jika dalam keadaan sakinah mawadah warahmah. Tapi ... sepasang suami istri yang menikah karena perjodohan dan tanpa adanya rasa cinta, jika mereka mampu membina rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah, itu jauh lebih sukses dan luar biasa. Karena ... mereka menumbuhkan cinta setelah pernikahan. Mereka menghadirkan cinta setelah menjadi pasangan halal dan berjanji di hadapan Tuhan." Lelaki paruh baya itu bicara pelan dan lembut pada putranya. Berharap sang putra mampu merekam dan memasukkan ke dalam hati.
Ghaisan terdiam dan mencerna setiap kata yang keluar dari lisan Papanya. Tentu saja ia merasa jika tidak akan mampu membina rumah tangga yang hangat dan sebagaimana mestinya. Sebab, ia dan Kinayya tidak saling kenal. Lagi pula, cintanya masih melekat untuk Syakila yang telah pergi jauh meninggalkannya.
"Entahlah, Pap. Ghaisan sendiri sungguh tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi ... ada satu keyakinan yang Ghaisan miliki. Yaitu, tentang cinta yang bisa datang kapan saja. Tentang, cinta yang akan datang dengan cara apa saja," ucap Ghaisan seraya menoleh pada Papanya.
Pak Harun mengangguk. "Benar, Nak. Pokoknya jangan terputus dari Rahmat Allah. Apa yang kamu yakinkan, itu pasti akan terjadi. Makanya, selalu miliki keyakinan yang positif dan baik-baik."
"Iya, Pap," jawab Ghaisan.
"Serahkan semuanya pada Allah. Setelah menikah, jangan pernah mengingat-ingat Syakila lagi. Karena dia bukan siapa-siapa untukmu. Pikirkan saja apa yang ada di hadapanmu, pikirkan saja apa yang sudah halal untukmu. Karena itu lebih berkah dan berpahala," pesan Pak Harun penuh penegasan.
Ghaisan terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Ia justru kini menatap langit sembari mengingat sosok wanita yang ia cinta. Syakila adalah wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta, sungguh sulit baginya menerima kenyataan bahwa ternyata orang yang ia cintai dan sebentar lagi akan ia nikahi, dengan tega meninggalkannya ke tempat yang begitu sulit untuk digapai.
Sementara itu di tempat lain, seorang wanita cantik yang tak lain adalah Kinayya tampak sedang termenung di dalam kamar. Esok adalah hari pernikahannya dengan Ghaisan. Kedua orang tuanya amat sangat bahagia atas pernikahan yang akan terjadi. Padahal, ia jauh lebih tersiksa dari seekor hewan peliharaan.
"Bila cinta hanya mampu kugenggam, biarkan dunia yang memilikinya. Tapi, bila dunia tak mampu memiliknya, biarlah Allah yang memeliharanya. Cintaku ... entah siapa yang Allah takdirkan untuk menjadi cintaku," rintih Kinayya di dalam hati.
Bila saja bukan kedua gurunya yang memerintahkan dirinya untuk menjadi wanita pengganti di pernikahan Ghaisan, sudah pasti ia menolak dengan berbagai alasan. Berhubung yang memerintahkan dirinya adalah kedua gurunya, untuk berpikir ulang pun ia sungguh tidak mampu. Rasa mahabbah (cinta) pada sang guru tentu lebih besar dari cintanya pada Akmal. Maka tak heran jika ia berani mengambil keputusan yang bahkan telah melukai hatinya sendiri.
"Tok tok tok!"
Terdengar beberapa ketukan di jendela kamar Kinayya. Muslimah cantik itu sontak saja menolehkan wajahnya dan menatap kaget pada jendela yang diketuk beberapa kali. Entah siapa yang mengetuk jendela kamarnya itu. Namun, sepertinya Kinayya harus melihatnya.
"Siapa yang mengetuk jendela kamarku?" gumam Kinayya seraya melangkahkan kakinya mendekati jendela.
"Tok tok tok!" Kembali, ketukan dilakukan oleh orang di luar kamar.
Kinayya tak dapat lagi menahan tangannya. Ia pun menggerakkan tangannya lalu membuka hordeng untuk melihat siapa di balik jendela. Jujur saja ia sangat tegang dan takut. Bagaimana jika yang mengetuk jendela kamarnya itu perampok atau orang jahat? Namun, betapa terkejutnya Kinayya saat manik matanya menangkap sosok lelaki yang sudah tak asing lagi baginya.
Ya! Dia adalah Akmal. Lelaki tampan itu mendatangi kekasihnya secara diam-diam. Tanpa Kinayya duga sebelumnya, ternyata Akmal masih bersedia menemuinya. Padahal, ia mengira jika Akmal sudah marah dan tidak ingin lagi bicara apa pun dengannya.
"Ya Allah, Aa Akmal," ucap Kinayya dengan tatapan kagetnya.
Akmal melambaikan tangannya di luar. Lelaki tampan itu seperti memberi kode pada kekasihnya agar membuka jendela. Sementara itu, Kinayya tampak bengong dan tidak menyangka jika kekasihnya berani menemuinya di malam hari.
"Cepat buka jendelanya, Kinay," ucap Akmal penuh harap. Ia menatap sendu pada sosok gadis cantik yang sudah lama menetap di hatinya.
Kinayya membuka jendela dengan perlahan. Entah salah atau benar yang ia lakukan saat ini. Yang jelas, ia merasa jika sangat perlu bicara dengan Akmal. Bagaimanapun, ia dan Akmal masih menjalin hubungan. Sementara dirinya esok akan menikah dengan lelaki lain.
"Kinayya, Aa ingin bicara denganmu," ucap Akmal dengan tatapan melasnya.
Kinayya menatap sendu pada sosok lelaki yang selalu membuat hatinya rindu. Sungguh berat meninggalkan Akmal yang sangat ia cintai. Namun, takdir memilih jalan yang harus memisahkan dirinya dengan Akmal.
"Maafkan Kinay, Aa. Aa sudah tahu 'kan apa yang akan terjadi besok?" Kinayya bicara sembari menahan tangisnya.
Akmal mengangguk dan mengusap wajahnya kasar. Betapa sakitnya ia jika harus melihat kekasihnya menikah dengan lelaki lain. Malam ini, ia ingin membahas itu semua. Ia ingin mencari solusi untuk menghadapi kepahitan yang terjadi. Kalau bisa, Kinayya tidak boleh menikah dengan Ghaisan.
"Ayo kita bicara di luar, Kinay. Banyak yang ingin Aa katakan padamu," ucap Akmal seraya menatap penuh permohonan.
Kinayya membuang napasnya berat. "Ini sudah malam, Aa. Kinay pasti tidak diperbolehkan untuk keluar."
"Tidak masalah. Kita bicara di sana," tunjuk Akmal pada sebuah saung di samping rumah Kinayya.
BERSAMBUNG...