Akmal melangkahkan kakinya ke area samping rumah. Lelaki tampan itu terlihat lemas dan tak bersemangat. Nyai Inayah dan Kiyai Salahuddin pun sangat heran dengan sikap Akmal yang berubah. Putra bungsu mereka itu berubah menjadi dingin dan pendiam. Jarang tersenyum dan jarang bicara. Bahkan, lelaki tampan itu selalu mengurung diri di dalam kamar.
Besok adalah hari pernikahan sang kekasih pujaan hati. Akmal sangat frustasi dengan kenyataan yang tak dapat dihalangi. Ini semua sudah takdir dan kehendak Allah subhanahu wa ta'ala. Lelaki tampan itu tentunya tahu apa saja fenomena dan ketetapan Allah yang selalu terjadi di dunia yang fana ini.
"Kinayy, sanggupkah engkau hidup tanpaku?" gumam Akmal seraya menatap langit yang kelabu.
Semenjak hari itu, Akmal memang belum lagi bertemu dengan kekasih hatinya. Ia yang selalu mengurung diri, tentu saja tak pernah lagi melihat Kinayya di sekitaran pondok pesantren Al-Barokah milik kedua orang tuanya itu. Rasa rindu pun menyelinap di ulu hati. Rasanya ingin sekali ia saat ini membawa kabur kekasih hatinya itu. Namun, apalah daya. Ia sungguh tak kuasa. Ia bukanlah lelaki yang nekat melakukan perbuatan fatal itu. Ya, walaupun sebenarnya ia sudah nekat berpacaran dengan Kinayya, tetapi ia tak ingin melakukan perbuatan yang lebih nekat dan fatal lagi.
"Langit, kenapa kau berwarna kelabu? Apakah kau tahu isi hatiku?" Akmal menatap langit dan bergumam kecil.
Rintik hujan turun saat itu juga. Langit kelabu menandakan akan turunnya air yang membasahi bumi. Apa yang langit itu turunkan dan perlihatkan pada Akmal, lelaki tampan itu merasa jika dirinya sama seperti langit. Hatinya redup dan kelabu, namun entah sampai kapan ia dapat menahan air yang berasal dari matanya itu. Akankah seperti langit yang tanpa meminta izin menurunkan rintik hujan yang membasahi bumi?
Sementara itu di sudut lain, Kinayya yang hari ini akan pulang ke rumahnya, tampak sedang termenung di atas balkon asramanya. Rintik hujan menemaninya saat ini. Saat teman-teman yang lain sedang menikmati tidur lelap di kala datangnya hujan dan waktu senggang, Kinayya malah membiarkan angin yang ditemani hujan itu menerpa wajah dan tubuhnya. Dingin rasanya kali ini. Namun, hal itu tak ia hiraukan. Dinginnya air hujan tidak sedingin hubungannya dengan Akmal kali ini.
"Ya Allah! Aku tahu apa yang menurutku baik, belum tentu baik menurut-Mu, Ya Allah. Aku juga tahu, apa yang menurutku tidak baik, belum tentu itu tidak baik menurut-Mu. Lantas, apakah semua yang terjadi padaku adalah pilihan yang baik? Ya Allah, mohon dengar doa hamba-Mu yang dhoif ini." Kinayya menengadahkan kepalanya dan menatap rintik hujan itu.
Air hujan yang terbawa angin itu benar-benar menerpa wajah cantik Kinayya. Memberikan rasa teduh dan dingin hingga menyapa qalbunya. Kata gurunya, waktu mustajab doa itu di saat turun hujan. Maka saat ini adalah kesempatan untuk Kinayya memanjatkan doa pada Allah Rabbul Izzati.
"Ya Allah, lapangkanlah hati hamba-Mu ini. Luaskan keikhlasan hamba-Mu ini atas takdir yang telah Engkau beri pada hamba. Lepaskan apa yang harus hamba lepaskan dalam hati. Jika ini adalah takdir dan jalan terbaik bagi hamba, maka hamba ikhlas dan ridho menerimanya, Ya Allah. Tunjukkanlah jalan kebenaran yang harus hamba tempuh. Namun, hamba sangat yakin jika Engkau pasti memberikan yang terbaik untuk hamba," ucap Kinayya bermunajat di bawah guyuran air hujan.
Memang sulit menerima orang lain yang dipaksa harus masuk ke dalam relung hati. Namun, tak ada pilihan lain. Kinayya tetap harus menerima apa yang telah Allah tetapkan padanya. Soal cinta, sesungguhnya Allah lah yang lebih mencintai hamba-hamba-Nya.
***
Sore ini Kinayya benar-benar akan berangkat pulang ke rumahnya. Tentu saja ia harus mempersiapkan segalanya di rumah. Mendengar kabar dari Nyai Inayah, bahwa setelah menikah akan langsung dibawa ke kediaman Ghaisan. Pastinya ia harus mengemas pakaian dan segala kebutuhannya sehari-hari.
Besok pagi, ia akan langsung berangkat ke gedung yang sudah disewa untuk menjadi tempat akad sekaligus pesta pernikahan. Hari ini ia telah merayakan sebuah syukuran dan perpisahan dengan teman-teman seperjuangannya di pondok pesantren itu. Namun, sangat disayangkan sampai detik ini ia tidak melihat keberadaan sang kekasih yaitu Akmal.
"Kinayya pamit pulang ya, Umi, Abah," ucap Kinayya pada kedua gurunya. Sejak tadi, air matanya tak henti mengalir membasahi wajahnya.
"Iya, Nak. Siapkan lahir dan batinmu ya. Umi selalu mendoakan yang terbaik untukmu," balas Nyai Inayah seraya mengusap lembut puncak kepala Kinayya.
Kinayya mengangguk. Ia pun mengusap air matanya pelan. Ingin rasanya ia bertemu dengan Akmal detik ini juga. Setidaknya ia bisa mengucapkan maaf pada lelaki yang sudah beberapa tahun singgah di hatinya itu. Lagi pula, hubungannya masih terikat dengan kuat. Ia pun harus memberikan sebuah keputusan yang nyata pada hubungannya itu. Tidak mungkin ia terus melanjutkan hubungannya dengan Akmal sementara dirinya akan menikah esok hari.
"Kinayya, jangan pernah anggap Allah itu tidur. Di setiap langkah dan tujuan, Allah selalu memperhatikan kita. Yakinlah bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik untukmu," ucap Kiyai Salahuddin.
"Baik, Abah. In syaa Allah Kinayya akan terus mengingat pesan dari Abah dan Umi," balas Kinayya dengan sopan dan ramah.
Setelah dirasa cukup, Kinayya pun mencium tangan kedua gurunya. Ia sudah harus pulang agar tidak kemalaman. Jarak dari pondok pesantren ke rumahnya menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih.
"Kinayy pamit, Aa. Maafkan segala kekhilafan Kinayy. Semoga Aa ridho atas semua ini," ucap Kinayya dalam hati.
Rasa sesak dan sedih menyelimuti hati. Kinayya tersenyum samar dan nanar saat sahabat dan teman-teman yang lain melambaikan tangan padanya. Ia kini sudah melangkahkan kakinya keluar dari gerbang pesantren. Sebuah mobil telah menunggu dirinya di depan gerbang. Ia sangat berharap Akmal akan mencegatnya dan mengajaknya bicara. Namun, sepertinya itu hanya hayalan semata. Nyatanya, hingga kakinya masuk ke dalam mobil, Akmal benar-benar tidak menampakkan dirinya.
"Selamat tinggal," gumam Kinayya seraya menyapu air matanya dengan pelan dan rasa sesak di dada.
Roda mobil telah berputar. Membawa Kinayya meninggalkan pondok pesantren yang telah menciptakan beribu kenangan indah baginya. Kenangan indah itu, mungkin hanya akan menjadi cerita yang selalu ia ingat dan pendam dalam dada.
Sementara itu di tempat lain, Akmal terkurung dalam rasa kecewa dan sakit hati. Ada penolakan di dalam dadanya soal pernikahan yang akan kekasihnya lakukan dengan Ghaisan. Ia pun tahu jika sore ini Kinayya akan berangkat pulang ke rumahnya. Bukan tak ingin bertemu dengan wanita cantik pujaan hatinya itu. Akan tetapi, ia takut tak sanggup menahan hati.
BERSAMBUNG...