Chereads / GAIRAH PANAS SUAMI KEDUA / Chapter 5 - 5. Di pondok sepi tengah sawah

Chapter 5 - 5. Di pondok sepi tengah sawah

Setelah mengantarkan pacarnya pulang ke rumah orang tua setelah dia puas melampiaskan birahinya, waktunya dia bergegas kembali ke pondok dimana dia sudah membayangkan bisa melanjutkan melampiaskan kenikmatan dengan gadis secantik bidadari, dia sudah membayangkan bisa menikmati tubuh Mulus Murti.

Sayang seribu sayang, ketika dia masuk ke pondok sudah ada orang lain yang menidurkan Murti di balai pondok. Dia yang merasa sebagai orang paling berhak karena dialah orang yang pertama kali menemukan Murti disini.

"Hey, kamu ngapain. Dia itu milik aku tahu!" Dia mencengkram pundak pria yang membelakanginya, tinjunya melayang dengan cepat tapi secepat itu juga pria yang memakai kaos biru basah itu menangkis serangannya.

Pria itu menahan tinjunya dan memiting tangannya ke belakang punggung.

"Aku, Auh! Lepasin nggak!", Dia mengayunkan sebelah tangan lagi dan pria itu menangkis lagi dengan cepat, mendorong tubuhnya hingga tubuhnya rubuh di lantai tanah.

Pria yang sudah membayangkan bisa menikmati tubuh Murti makin murka, dia melihat ada arit di bawah pondok dan memanfaatkan situasi, ketika pria berpakaian biru itu lengah, dia mengambil arit dan mengayunkan arit itu ke lengan si pria.

Pria itu menangkis dengan lengannya, darah mengucur, lengannya luka lebar merasakan arit tumpul-- untungnya nggak begitu tajam-- yang menghantam lengannya.

"Sialan ya kamu!" Katanya marah, dia merebut arit itu dari tangan pihak pertama dan mengayunkan balik, tapi pria kurus yang gagal mendapatkan Murti lari terbirit-birit, membayangkan bentuk tubuh saja dia sudah kalah jauh jadi dia memilih kabur lagian dia masih punya pacar untuk melampiaskan birahinya.

"Ah, sial, benar-benar deh!" Desis pria berkaos biru, dia melihat lengannya yang luka lebar hingga daging putih terlihat tapi dia malah lebih mencemaskan murti yang tertidur di pondok dengan baju basah yang membuat kulitnya menerawang, pantesan pria tadi begitu ambisius, siapa yang tahan kalau melihat badan Murti yang menembus pakaiannya ini.

"Hey, bangun!" Dia mencoba membangunkan Murti. "Hey, bangun… mur!"

Suaranya yang pelan akhirnya berhasil membangunkan Murti.

Murti terkejut melihat wajah pria di hadapannya. "Loh, ngapain kamu disini!" Murti bangun lalu duduk, dia memasang wajah awas pada pria dihadapannya ini yang tak lain adalah mahasiswa dari kota yang dipanggil Daniel itu.

"Kamu ngapain tidur disini, ini pondok jauh dari desa, kalau ada yang macam-macam gimana?" Tanya Daniel dengan raut wajah cemas.

"Yang seharusnya aku takuti itu kamu. yang mau macam-macam sampai ke pondok jauh begini kan cuma kamu. Ngapain kamu kesini! Apa Karto yang mengirim kamu kesini untuk cari aku? Bilangin, aku nggak akan mau balikan sama dia!"

Murti memeluk kedua lututnya, dia menahan rasa dingin yang mengulitinya tapi kalau kedinginan akan kelihatan lemah didepan Daniel, dia nggak mau terlihat lemah depan Daniel.

"Aku lagi ada penelitian dan cari umbi gadung hutan, nggak ada hubungannya dengan Karto. Kamu sendiri ngapain sendirian. Hujannya juga belum reda, baju kamu basah semua nanti kalau kamu masuk angin gimana, aku liat kamu malah tidur di luar sambil ujan ujanan, kamu kenapa?"

Murti menoleh, oh benar juga, tadi dia tidur diluar tapi sekarang sudah di atas balai bambu, "kamu yang bawa aku kesini ya. Tuhkan, kamu yang mau macam-macam, jangan kurang ajar ya kamu, aku bakalan laporkan kamu ke polisi!" Tuding Murti sambil menunjuk Daniel.

Daniel menggeleng nggak setuju dengan ucapan Murti. "Aku nggak ada niat apa apa, lagian kamu itu masih jadi istrinya karto–"

"Enak aja, aku ini calon mantan bininya Karto. Jadi janda lebih baik daripada jadi iatrinya karto!" Desis Murti marah, dia langsung menjulurkan kaki, hendak turun dari balai bambu tapi tetesan darah membuat matanya terbelalak, dia langsung naik lagi ke balai sambil menatap wajah pucat Daniel.

"Eh, kamu kenapa? Apa diserang harimau?" Murti bertanya dengan suara gemetar, tapi kalau diserang harimau, badannya Daniel masih utuh, dia meneliti wajah pucat Daniel dan menyadari kalau tangan kiri Daniel terkulai lemas dengan darah mengalir deras dari luka bekas sabetan benda tajam.

"Aku nggak apa apa. Aku mau pulang, kamu mau ikut pulang nggak?" Tanya Daniel, dia beranjak dari posisi duduk di tepi balai, tapi pas berdiri tubuhnya oleng, Murti langsung menopang tubuh Daniel.

"Kamu luka parah, ya ampun, darahnya banyak banget. Kamu duduk dulu, aku cari cara dulu!" Murti turun dari balai dan menyuruh Daniel yang berbaring sementara dia terlihat panik mencari cara untuk menghentikan darah Daniel.

"Murti kamu pakai sendal aku. Lihat kaki kamu berdarah karena lecet."

Murti memang berniat mau mencari tanaman obat tapi dia tersenyum mendengar ucapan Daniel barusan. "Yang terluka itu kamu tapi masih sempat aja memperhatikan luka kecil di kakiku. Aku pinjam sandalmu, aku cari tanaman obat dulu ya."

"Tapi hati-hati soalnya masih hujan."

Murti mengangguk pelan. "Kamu nggak tahu kalau aku dibesarkan dari hutan desa ini. Jadi nggak usah mencemaskan aku, kamu tahan dulu ya."

Daniel mengangguk, dia mencoba berbaring tenang sambil menunggu Murti, nggak sadar dia sudah tertidur.

Murti kembali dan melihat Daniel tertidur, dengan cepat dia memeriksa dahi Daniel, dan apa yang dicemaskan benar. Daniel demam.

"Untunglah bapak di ujung pondok sana punya ini," Murti kembali membawa selembar selimut dan sekantong tanaman obat dan sebutir obat demam.

Dia menumbuk tanaman obat itu lalu mencari sesuatu untuk membalut luka Daniel, bodohnya dia lupa kalau dia butuh perban untuk membalut luka Daniel, nggak ada cara lain akhirnya Murti merobek bagian ujung pakaiannya dan menjadikan robekan itu sebagai perban.

"Uh…" Murti melihat wajah Daniel meringis ketika dia membalut luka Daniel dengan tanaman obat, melihat Daniel yang kesakitan, Murti lebih hatibati lagi, dia membalut sambil meniup luka Daniel. Terakhir dia membalut dengan robekan pakaiannya, lalu mengatur posisi tidur Daniel supaya lebih nyaman.

Suara air mendidih dari ceret air di dapur membuat Murti bergegas ke dapur, dia membuat minuman dengan air matang itu lalu kembali ke Daniel. "Tunggu air nya hangat dulu baru kamu minum obatnya ya."

Murti menaruh satu pil demam dan secangkir air panas tak jauh dari sisi Daniel berbaring, lalu dia duduk bersandar pada dinding di samping balai. Dia menunggu Daniel sadar tapi ternyata dia sangat lelah dan rasa dingin membuat Murti mengantuk, diluar hujan masih terus deras mengguyur tanpa henti.

Nggak tahu berapa lama, ketika Daniel membuka pintu dia mengintip ke lubang angin kalau diluar sudah gelap gulita, tidak ada penerangan di pondok ini hanya bias cahaya dari arah dapur sisa pembakaran Murti masak air tadi. Daniel ingat kalau dia bawa korek dan lilin di sakunya, ketika dia mau merogoh saku dia baru sadar kalau lukanya sudah dibalut dan orang yang melakukan itu pastilah Murti.

Cess!!

Korek Daniel menyala dan yang pertama dia lihat adalah wajah tenang Murti yang tertidur, nggak mau ganggu tidur Murti tapi Daniel nggak tega membiarkan Murti tidur duduk sambil memeluk diri.

"Dia pasti kedinginan, padahal selimut ini bisa dipakai bersama." Kata Daniel menyadari kalau dia dibalut selimut tebal.

Daniel turun dari balai dengan sangat hati-hati lalu menaruh Murti di balai, dia menggantikan Murti duduk tapi dia nggak kuat kedinginan ditambah bajunya basah dan tubuhnya masih demam. Ketika Daniel meraba-raba dia menemukan segelas air, dia menyalakan korek lagi dan melihat ada pil di dekat gelas air, dia tersenyum lalu meminum pil itu, selang beberapa saat dia sangat mengantuk, mungkin karena efek pil. Dia menyusup di bawah selimut menyusul Murti di balai.

Rasa dingin menusuk tulang, rasanya selimut nggak bisa mengurangi suhu dingin malam ini. Nggak sadar Murti dan daniel saling berpelukan dan tertidur pulas.