"Masuk!"
Susi sebagai wali dari Tuti, Karto, Murti, Daniel, dan seorang lagi perangkat desa, mereka masih nunggu orang tuanya Karto, dimana orang tuanya Karto yang artinya juga mertuanya Murti, juga… orang tua angkat Murti, yang selama ini membesarkan Murti, karena dia anak yatim piatu.
"Ini gimana ini ceritanya. Ko bisa loh Karto! Kamu kan istrimu kerja di luar kenapa kamu malah begini To? Kalau bapak emak mu sampai liat bisa mati berdiri mereka. Malu To, malu, dimana mau dibawa muka dan harga diri kampung ini! Kamu Susi! Gimana kamu jagain adikmu ini. Kamu udah buat malu jadi janda anak satu yang bapaknya nggak tau kemana, apa nggak cukup kamu itu, kamu bawa adekmu juga jadi kayak kamu, apa ngga gila warga sini liat kelakuan. Keluargamu itu!"
Perangkat desa emosi, dia blak-blakan ngomongin isi hatinya, memang keluarga Susi-Tuti itu sudah jelek banget citranya tapi Karto, bapaknya itu perangkat desa sebelah, malu! Malu… sementara Murti, kini pulang dengan gaya kota, tampil cantik, modis, sopan dan kelihatan banyak duit. Perangkat desa aja geleng geleng kepala.
"Apa bisa kamu To, kamu lepasin Murti demi Tuti. Itu kamu nggak salah To. Saya orangnya udah malas basa basi To. Lah Murti lepas dari kamu bisa dapat bujang To. Kamu lepas dari Murti, lepas berlian cari batu kali. Bodoh To!" Kata perangkat desa yang masih ada pertalian darah dengan Karto makanya dia kecewa banget.
"Pak. Apa ngomongnya nggak terlalu blak-blakan, bapak kan pejabat desa, nanti kesannya gimana." Daniel coba menengahi.
Berangkat desa itu menggeleng. "nggak usah ditutupi lagi Niel, kamu udah liat sendiri dengan matamu itu. Kamu juga temannya Tuti kan! Tapi kamu salah kalau belain Tuti Niel, ini udah keterlaluan, harusnya mereka ini diusir dari kampung, suruh nyuci kampung biar kampung ini nggak kena sial, dari awal tuh aku emang nggak suka sama Tuti tapi kamu alasan kasihan malah kasih dia kerjaan di asrama mahasiswa Kamu tahu kan kalau Citra keluarga Tuti itu udah kayak gitu dari dulu, eh kamu nggak tahu ya Karena kamu bukan warga sini, tapi itulah alasan saya kenapa saya nggak menerima Tuti kerja di situ tapi kamu maksa."
Daniel diam, ucapannya malah nambah kemarahan si perangkat desa.
"Lagian dia ini siapa sih pak. Dari tadi aku lihat ikut campur aja!" Murti menunjuk Daniel dengan tatapan setajam silet.
"Ini namanya Daniel, mahasiswa dari Jakarta, dia lagi KKN disini."
"Oh, tapi apa iya pak, mahasiswa KKN ikut ikutan masalah kampung kita. Biar aja kita urus sendiri." Kata Murti masih sinis, dia mendelik melihat wajah Daniel.
"Nggak bisa Mur, masalahnya itu, bapaknya Daniel ini petinggi negara. Jendral!" Kata perangkat desa berbisik tapi semua orang bisa dengar.
"Oalah!" Semua yang disana terkejut mendengar jabatan bapaknya Daniel.
"Pantesan jiwa militernya keliatan." Gumam Karto takut.
"Bapak saya bukan jenderal pak." Sanggah Daniel sopan.
"Ya apalah itu, sama saja. Orang penting, orang hebat, orang sibuk!" Kata perangkat desa lalu melirik jam imitasi di tangan. "Lama amat ini si Darto!" Desisnya kesal, Darto itu bapaknya Karto, mertuanya Murti.
"Pak. Bisa nggak masalah ini diselesaikan saja. Aku bakalan minta maaf bahkan cium kaki Murti biar dia mau maafin aku." Suara merengek Karto membuat Murti merinding, apalagi pas menyadari lirikan genit kartu yang sejak tadi terus memperhatikannya.
Sinis Murti melirik Karto sedetik. "Kamu pikir aku mau hah? Ogah, najis, nggak level, udah bekas orang, aku tuh masih virgin, nggak ada maaf buat Lo, mending Lo nikah deh sama si Tuti dan ceraikan gue! Cerai!"
Buk!
Teriak Murti sambil memukul meja. Semua di ruangan melonjak terkejut. Sementara Tuti dan Susi menahan senyuman, wah, jadi juga nih punya besan pejabat kampung, secara keluarga Karto itu semua rata-rata PNS, beda sama keluarga Tuti yang sdnaja nggak lulus.
Karto turun dari kursi, berjongkok dan berlutut di depan kaki mulus Murti yang memakai jeans hitam sebetis. "Mur, terserah kamu mau minta apa aja. Kamu mau mukul, bunuh aku juga nggak apa apa. Tapi aku nggak akan ceraikan kamu Mur, aku cinta sama kamu. Aku cinta sama kamu Mur."
Daniel yang setia menonton merinding kali ini, kok bisa orang bilang cinta sama wanita lain setelah beberapa menit lalu indehoy sama cewek lain, duh level playboy orang desa ternyata sangat luar biasa.
Karto mau mencium kaki Murti tapi Murti keburu menarik kakinya. "Jangan sentuh gue. Jangan pegang gue! Gue kudu cuci tujuh kali. Gue nggak mau dengar apapun ya, gue disini cuma mau menghormati Mak sama bapak, urusan sama Lo udah kelar, pokoknya kita bakal CERAI!"
"Siapa yang cerai?" Suara cempreng dari arah pintu membuat semua orang menoleh.
Darto dan istrinya masuk. "Karto! Kamu ngapain di lantai nak!"
"Mak!" Murti berdiri, mengharapkan ibu dan ayah angkatnya itu akan menyambut kepulangannya.
"Ya ampun Karto, kenapa kamu lusuh begini nak. Kata emak apa, tinggal dirumah emak aja, ngapain beli rumah jauh-jauh, bangun! Ngapain di lantai!" Suryati memeluk Karto.
"Mak masih mending dia di lantai sekarang ini, tadi aku nemuin dia di kasur sama wanita lain!" Ketus Murti menunjuk muka menunduk Tuti.
"Weh, Murti! Kamu disini!" Suryati, ibunya Karto baru sadar kalau Murti disini.
"Kapan kamu balik Mur, oalah, kenapa nggak ngomong-ngomong!" Darto ikut terkejut.
"Nantilah kalian kangen-kangen nya. Sekarang urus dulu Karto dan Tuti!" Kata perangkat desa menengahi.
"Ini tuh kenapa, ada apa, kenapa sampai ribut begini?" Darto menarik kursi duduk bergabung.
"Ini loh mas! Anakmu. Dia ketangkap basah lagi ini itu sama Tuti, Ade tetangganya!"
"Hah!" Darto dan Suryati terkejut.
"Ah nggak mungkin. Kamu tuh Toto kalau bercanda boleh tapi yang masuk akal. Mana mungkin seleranya Karto model yang begitu. Hehehe.." ledek Darto.
"Modelan begitu yang bagaimana Mas. Kenyataannya mereka lagi hahihi huhu!"
"Hihi huhu apa sih? Bercanda?" Tanya Suryati bingung.
"Mesum Mak! Karto ini selingkuh di belakang ku. Mak kirim aku kerja keluar negeri kata Mak supaya Karto fokus sekolah tapi apa Mak, dia sibuk selingkuh dengan lon.te ini!" Murti melemparkan kulit pisang yang barusan dia kunyah isinya ke arah Tuti.
"Sama siapa, Siapa? Tuti, Tuti siapa?" Tanya Darto heran.
"Saya pak. Nama saya Tuti." Kata Tuti malu malu tapi mau.
Darto dan Suryati kompak menoleh pada Tuti. "Astaga naga, Tuti ini, kamu yang sekolahnya nggak selesai karena nggak punya biaya, yang bapaknya punya bini lima? Yang semua anaknya janda?"
"Saya masih gadis pak!" Jawab Tuti malu malu anjing.
"Gadis tapi bukan perawan!" Sungut Murti kesal.
"To! Yang bener aja To. Kamu buang berlian buat dapat tanah liat ini gimana!" Darto berbisik sambil mencolek putranya.
"Mak, pak, Karto khilaf, Karto salah, Karto minta maaf. Karto nggak bakalan ngulangin ini semua. Maafin Karto Mak."
Karto bersimpuh di kaki orang tuanya sambil menangis, air mata buaya. "Karto cuma cinta sama Murti Mak. Karto khilaf, Karto menyesal!" Masih merengek, tangisan Karto makin dalam, luar biasa aktingnya.
Murti dan Daniel cuma menatap Karto dengan tatapan nggak percaya, masa buaya bisa nangis?
"Yang, kata ayang cinta banget sama Tuti, kata ayang mau cerai sama Murti tapi sekarang ayang bilang begitu, ayang gimana sih, kalau sekarang udah begini, Tuti minta dinikahin pokoknya!"
"Bentar bentar!" Murti mengangkat tangan minta instruksi. "Oooekk…" dia mual mual mau muntah, dia langsung lari ke teras disusul Daniel. Kayaknya Daniel juga gerah mendengar permusyawaratan dan perwakilan yang nggak masuk akal ini.
"Tut, jangan Ngada Ngada deh. Kapan aku mau nikahi kamu. Kalau bukan karena kamu terus-menerus godain aku, nggak bakalan aku berpaling dari Murti. Aku nggak bakalan nikahin kamu dan ceraikan Murti. Aku cinta sama Murti!"
Tuti menangis mendengar ucapan Karto, memang buaya. Dalam hati Tuti mengucap sumpah serapah kalau dia pasti bisa dapetin Karto suatu hari nanti.
"Udah deh. Anak tukang kuli tani nggak usah kebanyakan mimpi. Tuh, Murti yang cantik, banyak duit aja masih bisa Karto sia siakan apalagi modelan tempe kayak kamu!"
Kata-kata Suryati menusuk hati Tuti dan Susi.
"Toto (perangkat desa) urus ini semua ya. Jangan sampe berita jadi gede. Buat aja si Tuti yang salah. terus buat Tuti sama siapa ini, kakaknya, nih, saya udah bawain uang tutup mulut! Lumayan buat beli harga diri kalian yang murah itu. Nih!"
Suryati mengeluarkan gepokan uang seratus ribuan. "Bentar, kayaknya kebanyakan!" Dia mengambil sebagian lalu membagi lagi dengan saudaranya,Toto.
"Nah ini upah cape kamu sebagai saudaraku! Sekarang aman kan?" Tanya Suryati dengan tatapan tajam.
Toto cuma bisa geleng-geleng kepala tapi nggak mungkin nolak rezeki.
"Nanti urusan Murti, biar aku yang beresin!" Suryati memang si pemegang tahta tertinggi, kalau dia Uda bertindak, yang lain cuma bisa manut. "Karto bangun, busungkan dada, kamu tuh anak semata wayang, jangan sampai jatuh harga diri itu! Sekarang Mak mau nemuin Murti, kemana dia tadi. Sekalian Mak mau nanya skincare apa yang dia pake bisa bening kayak embun gitu mukanya…"