Masa orientasi sudah selesai, namun masih ada beberapa acara lain, sekolahnya ini memang sering sekali mengadakan acara, ntah itu acara lomba antar sekolah atau apapun itu, tapi setiap tahun pasti ada acara.
Sekarang sudah masuk masa belajar, walaupun nanti akan ada acara yang menyusul.
Yuki berada di kelas 10 IPS 3, kelasnya terletak di lantai satu, kelas satu-satunya yang ada di lantai ini, karena memang tidak ada kelas lain di lantai 1.
Dan Yuki akhirnya bertemu dengan teman SD nya lagi, Rika.
"ehh, Yuki."
"iya." Yuki hanya mengangguk dan tersenyum formal.
"kamu di kelas ini juga? Sini duduk di sebelah aku."
Yuki hanya mengangguk dan duduk di bangku sebelah Rika, jujur saja ia tidak dekat dengan temannya ini, ia hanya mengenalnya sedikit, bahkan saat SD mereka tidak pernah bicara panjang.
Selain itu, anak ini juga yang pernah mengatainya saat ia ada masalah dengan Vinka dulu, Yuki tau itu, tapi ia mau menghindari masalah.
Hari pertama tidak ada kejadian menarik, hanya ia mendapat beberapa teman baru di kelasnya yang ia ingat dulu sempat mengatainya 'menjijikan', ada 2 orang yang mengatakan itu di depan wajahnya.
Yuki hanya menghela nafas. di kelas 10 ini adalah masa paling menyakitkan selama sejarah ia berada di SMA, orang-orang yang menyakitinya semua ada di kelas ini.
Yuki merasa gemetar saat ia berada di dekat mereka, seolah mereka melemparkan tatapan merendahkan yang sama dengan kehidupannya yang lalu.
Apa ini trauma?
Ia tidak pernah merasa memiliki trauma dulu, kenapa ia sekarang mengalaminya?
"Yuki kenapa?" orang ini, Fallen, orang yang mengatakan ia menjijikan pertama, sekarang ia menanyai keadaannya? Ironis.
Yuki menghela nafas dan menggeleng.
"aku ke kamar mandi."
Yuki segera menjauh dari sana menuju kamar mandi sendirian, nafasnya agak sesak dan rasa mual itu menjadi-jadi.
Yuki bersandar pada tembok dan mengatur nafasnya, beruntung di kamar kecil ini kosong karena satu-satunya kelas di sini hanya kelasnya, kamar mandi ini cukup sepi.
Setelah ia berhasil mengatur gemetar dan rasa mualnya, Yuki kembali ke kelas.
Ia berusaha tenang saat bersama dengan orang-orang ini sampai akhirnya guru wali kelas mereka masuk dan memberikan jadwal pada mereka, Yuki mencatatnya di ponselnya.
Ia tidak membawa buku apapun, hanya ponsel dan ipad jika butuh mencatat.
Wali kelas itu menjelaskan beberapa tata tertib dalam sekolah dan mengatakan bahwa mengikuti club adalah wajib, walaupun Yuki juga tidak akan melakukan club apapun nantinya, ia terlalu malas untuk itu, jadwalnya akan semakin padat mengingat ia sudah menandatangani kontrak dengan agensi, juga ada novel yang harus ia kerjakan, ada konser juga yang sudah di jadwalkan, lalu ia juga harus berlatih dan berkuda tentu saja.
Kenapa ia harus repot, untuk nilai juga sudah ada 1 club wajib sekolah ini, pramuka yang wajib di lakukan setiap rabu.
Sekolah baru akan pulang saat waktu sudah menunjukan jam setengah 4, jadi karena ini masih belum ada pelajaran apapun, tidak ada yang bisa mereka lakukan, mereka hanya bicara selama jam kosong.
Mereka sedang membicarakan club apa yang mau mereka datangi, dulu saat Yuki mengikuti ke club yang sama, tak berapa lama mereka akan pindah club, terus seperti itu sampai pada akhirnya Yuki tidak mengikuti club apapun.
"Yuki ikut apa?" tanya Rika.
Yuki sedang mengatur jadwal pelajaran di ipadnya menjawab dengan santai "nggak ada."
"ihh, kan wajib" ucap Fallen.
"hmm, iya si, tapi aku nggak tertarik masuk club apapun." Yuki memutar pen tab di tangannya beralih menatap mereka dengan wajah malas.
"terus? Nilainya?"
"pramuka juga kan club." Ucap Yuki santai.
Ia sedang mendownload beberapa ebook di ipadnya, terutama untuk sejarah peminatan, ia ingat sejarah peminatan tidak memiliki buku, yang mereka lakukan hanya membuat kelompok, mencari materi dan membuat resume yang harus di tulis tangan atau di ketik dan di print tempel di buku dan di kumpulkan untuk di paraf gurunya.
Sebagian besar buku ini adalah tesis atau semacamnya dari beberapa universitas, juga ia mengambil beberapa ebook yang berbahasa inggris.
Bahasanya memang terkadang tidak bisa di mengerti olehnya, namun bukan berarti ia tidak mampu.
"kamu ngapain?"
Yuki tidak mengalihkan tatapannya "downlad beberapa ebook." Walaupun ia tidak mengatakan ebook apa yang ia download.
"ohh..."
Pulang sekolah, Yuki pulang bersama Yuri seperti biasa.
Pelajaran di mulai seminggu kemudian, mereka belum mendapatkan buku, jadi mereka hanya membawa buku tulis sejumlah yang sama dengan pelajaran, Yuki membawanya, namun ia hanya lebih memilih menggunakan ipadnya.
Sampai ia kena teguran dari gurunya.
"kenapa kamu main ipad?"
"saya nyatet pak, biar rapi enak bacanya makin rajin belajarnya."
"kamu nggak punya buku tulis emang?"
"ada, buku tulis buat tugas pak, catetan di ipad."
"yahh, terserah kamu lah." Pelajaran berlanjut dan setiap guru akan menegurnya dengan hal yang sama, padahal tidak ada peraturan tidak boleh mencatat dengan ipad.
Ia tetap menjawab dengan kata yang sama, lagi pula di dalam ipadnya ia sudah menyiapkan ebook dari masing-masing pelajaran, jadi ini memudahkannya.
Satu minggu ini pebelajaran tidak terlalu kondusif karena mereka baru awal tahun ajaran baru dan mereka baru penyesuaian lingkungan baru kecuali beberapa guru yang memang ingin pelajaran di mulai walaupun baru perkenalan materi.
Minggu ke dua sekolah mereka sibuk dengan acara demo club, jadi mereka banyak jam kosong walaupun tidak semua.
"Yuki masuk paduan suara yuk." Ajak teman-temannya yang lain, paduan suara dia adakan setiap hari jumat.
Yuki setuju dan ikut mereka masuk club paduan suara, ia bisa melihat banyak sekali anak osis yang ikut paduan suara, tapi itu tidak penting, selain itu ada artis sinetron dan circlenya, juga ada seorang gadis yang Yuki ingat sangat bagus dalam bernyanyi dan memiliki penampilan nyentrik.
"yang baru masuk boleh tulis namanya dulu."
Mereka saat ini ada di aula lantai ground, ruangan ini tidak besar, namun juga tidak kecil, mungkin karena tidak ada apapun di ruangan ini di depan ada meja panjang dan panggung kecil dengan mimbar.
Di atas meja itu sudah ada keyboard dan ada guru pembina paduan suara yang Yuki ingat sebagai guru bahasa indonesia, juga sudah ada mentor paduan suara di sana yang sedang mengobrol.
Mentor itu memperhatikannya Yuki hanya diam tidak mengatakan apapun, karena Yuki merasa orang ini mengenalinya namun masih tidak yakin.
"nama mu siapa?" tanyanya.
Beberapa anak lain langsung terdiam dan memperhatikan pembicaraan itu.
"Yuki."
Terlihat jelas orang itu terkejut.
"astaga! Ternyata benar! Kamu!" mentor itu terdengan sangat bersemangat.
Tidak seperti yang lain menatap bingung, Yuki hanya tersenyum dengan mata tidak berdaya, ia seperti melihat deja vu, guru keseniannya SMP juga pernah terkejut dengan cara yang hampir sama.
Mentor itu menyadarinya dan mengendalikan dirinya "well, saya terkejut dan tidak menyangka bahwa saya bisa bertemu pianis legendaris yang masih sangat muda."
"pianis legend?"
"iya, dia memenangkan banyak lomba termasuk tingkat internasional."
Karena itu sudah sore dan ac di dalam ruangan, Yuki merasa dingin dan mengetatkan jaket tipisnya.
"internasional?!" beberapa orang di sana bersorak untuknya dan bertepuk tangan, beberapa masih mencerna.
"udah pianis, dancer, suaranya bagus lagi, gila si."
"haha." Yuki hanya tersenyum canggung, ia tidak tau harus tertawa atau menangis.
"waahh, kenapa kamu nggak bilang?" tanya guru wanita itu "coba dong, ibu mau liat."
"..." Yuki terdiam sejenak dan tak lama ia beranjak dengan ragu, ia berdiri di depan keyboard di depannya dan menghela nafas.
Ia memainkan lagu terkenal, instrumen yang indah dan dikenal banyak orang, DJ Okawari – Flower Dance.
Yuki memainkannya dengan baik dan sama dengan saat ia berada di atas panggung, alunan piano membuatnya mengingat kehidupannya yang lalu.
Betapa tidak berharganya ia di kehidupannya yang lalu, anak yang tidak bisa melakukan apapun dengan baik, hanya figuran yang jika ia berada di sebuah komik ia hanya akan di gambar tanpa muka, bahkan hanya abu-abu.
Namun sejak kemarin ia mengingat, banyak yang bicara dengannya, mencoba bercanda dengannya, orang-orang yang dulu mengejeknya dan menatapnya rendah sekarang ingin dekat dengannya, ia menjadi di kenal banyak orang.
'benar, inilah dunia, saat kau bukan siapa-siapa, kau tidak akan menjadi apa-apa. Bakat? Aku mempelajarinya, mengasah diri ku, berjuang untuk bisa bermain piano dengan baik karena aku ingin, ini bukan bakat, aku berjuang untuk ini! Sial.'
Yuki menenangkan dirinya ini sudah baris terakhir, melody berubah menjadi halus kembali.
Saat nada terakhir di mainkan dan musik berhenti banyak tepuk tangan yang ia dapatkan, Yuki menghela nafas.
"ahh... bagus banget, kamu bisa main piano dengan baik dan ibu bisa lho merasakan emosi waktu kamu main tadi."
"nah itu, dia selalu punya emosi di dalam musiknya, kadang malah lagunya seharusnya tentang cinta dia bisa rubah jadi sesuatu yang lain."
'hentikan itu.' Mual itu datang lagi, ntah kenapa ia merasa ingin marah, namun ia tau bahwa ia tidak bisa marah di sini.
Yuki tidak bisa mendengar apapun lagi, jantungnya berdetak kuat, kaki dan tangannya terasa sangat dingin.
"maaf, saya mau pulang." Yuki menenangkan dirinya, berusaha agar suaranya stabil dan tidak bergetar.
"pulang? Tapi kan belum selesai."
Yuki tidak mendengarnya, ia ingin pulang, membersihkan diri, makan dan bergelung di dalam selimut, kebetulan sejak pagi langit selalu mendung.
"maaf bu." Yuki menundukan kepala dan tubuhnya agar ia bisa langsung pergi dari sana, setidaknya tidak di anggap sangat tidak sopan.
Yuki keluar dari sana dan tidak sengaja berpapasan dengan seorang yang sepertinya juga anggota paduan suara. Yuki menunduk dan tidak melihatnya tapi pria itu menangkap tangannya, membuat Yuki terkejut dan menoleh ke arahnya.
Pemuda itu juga terkejut, awalnya ia hanya berfikir menanyakan apa gadis ini baik-baik saja karena ia terlihat gemetar dan terburu-buru, tapi saat ia melihat wajah dengan air mata menggenang di mata bulatnya ia sangat terkejut, mata itu sangat hitam, seperti kegelapan yang tak berujung.
Mereka terdiam di sana sampai air mata itu jatuh melewati pipinya yang memerah.
Gadis itu menepis tangannya dan berlari pergi dari sana.
Ia bisa merasakan tepisan kasar itu membekas di tangannya, ia menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam aula tempat di mana club paduan suara ada.
"ohh, Pram, gimana? Kamu udah minta suratnya?"
"ya, udah bu." Ia masih terlihat linglung.
"kenapa? Kamu ketemu Yuki ya?"
"..."
"nggak tau kenapa dia bilang mau pulang, mungkin sakit, dia buru-buru juga."
".... ohh." Pram mengepalkan tangannya yang masih merasakan betapa dinginnya tangan gadis itu, seolah tangan itu membeku.
Pemuda bernama Pramudika itu satu angkatan dengan Yuki namun ia berada di kelas IPA.
Sedangkan Yuki pulang sendiri, ia menaiki ojek online yang saat itu sedang marak, karena ia meminta kakaknya pulang duluan tadi, jadi ia hanya bisa memesan ojek online.
Siapa yang sangka hujan benar-benar turun, ojek itu berteduh sementara "mbak, neduh dulu apa mau pake jas hujan?"
Tubuh Yuki belum terlalu basah, ia tidak khawatir dengan tasnya karena ia tau akan turun hujan jadi ia sudah melindunginya, selain itu di dalam tasnya sudah ada pelapis anti air.
Yuki hanya terdiam dan masih menunduk.
"mbak?"
Pria itu menoleh dan melihat wajah pucat gadis SMA ini, ia mengira gadis yang di bawanya adalah hantu, pria itu hampir melompat saat gadis itu mendongakan kepalanya untuk menatapnya dan bicara dengan nada yang sangat halus.
"jalan aja, nggak apa-apa kok." Suaranya parau, matanya tergenang.
Pria ojek online itu terdiam sejenak "ohh, yakin mbak?"
Yuki hanya mengangguk dan kembali menundukan kepalanya.
Ia tidak masalah dengan itu, karena ia sudah menggunakan jas hujan, tapi ia khawatir dengan penumpangnya yang tampak tidak baik ini, jadi ia hanya bisa meneruskan perjalanan di bawah hujan lebat.
"uhh... nggak apa-apa mbak, nyender ke bahu saya aja kalo mbaknya mau." Tidak ada jawaban dari gadis di belakangnya, namun tak lama ia merasakan berat pada bahu kanannya, setelahnya ia hanya mengantar gadis ini kerumahnya dengan selamat.
Sesampainya di rumah yang di tuju, gadis itu turun dan melepas helmnya langsung walaupun hujan masih sangat deras, ia mengambil uang dari sakunya dan memberikannya bersama dengan helmnya.
"terimakasih."
"oh iya mbak." Pria itu tidak bisa membedakan air mata dan air hujan, gadis itu tersenyum lembut hingga ke matanya dan segera pergi dari sana masuk ke dalam rumah.
Pria itu bisa melihat uang yang di berikan gadis itu pecahan 50.000, ini sangat besar, ia nyaris akan mengengembalikannya jika ia tidak melihat penilaian di ponselnya adalah bintang 5 dengan ucapan terimakasih, pria itu hanya bisa menghela nafas dan segera pergi.
Setelah hari itu, Yuki kembali normal seperti tidak ada yang terjadi padanya.
Ia berpapasan dengan Pram beberapa kali, namun Yuki tidak bisa mengingat wajahnya, jadi ia tidak perduli, berbeda dengan Pram yang tentu saja mengingatnya, saat mereka berpapasan ia hanya bisa menatapnya tanpa mengatakan apapun, karena gadis ini bakan tampak tidak mengingatnya.
Acara demo Club di mulai, seperti yang sudah di sepakati, ia bermain piano, mereka mengadakan acara di tengah lapangan, selain itu, ia juga menampilkan dancenya.
Yuki tidak membawakan tarian yang seksi tentu saja, karena itu tidak memberi kesan baik pada mereka yang menonton, bagaimanapun juga ia berada di sekolah islam.
Selesai dengan penampilannya, Yuki kembali ke ruang persiapan khusus perempuan, ia mengganti kembali bajunya.
"Yuki bagus banget tadi, bisa kali ya kalo di kirim sekolah buat wakilin sekolah." Ucap guru penanggung jawab club.
"ohh, ya, bisa aja si."
"permainan pianonya bagus, tapi ada nggak ya lomba untuk sekolah."
Yuki berfikir sejenak "kurang tau saya bu, saya biasanya sendiri."
Mereka berbicara beberapa tentang beberapa hal dan Yuki kembali ke kelas, sayangnya karena acara belum selesai, jadi mereka belum bisa pulang, Yuki hanya bisa tidur di kelas sembari mendengarkan musik, karena penampilannya sudah selesai untuk acara sekolahnya ini.
Ia bisa melihat teman-temannya berbicara di dalam kelas, ntah apa yang mereka gosipkan, ia tidak terlalu perduli dengan gosip, ia kelelahan dan ingin istirahat.
Saat sudah jam pulang Yuki membereskan barang bawaannya yang banyak itu karena ia membawa beberapa baju, ia pulang bersama dengan Yuri lagi.