Hal ini membuatku merasa bersalah, meskipun itu bukan salahku.
Setelah luka Tuan Muda Kelima diobati, dia berbaring di ranjang seolah-olah telah terlelap. Aku duduk di samping tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku membiarkan waktu berlalu begitu saja.
Ponselku berdering, itu adalah panggilan Candra. Dia berkata akan menjemputku pulang kerja. Aku memberitahunya aku akan lembur kerja.
Candra menutup telepon. Sebelum aku berbalik, aku mendengar embusan angin di telingaku. Ada sesuatu yang terbang melewatiku. Benda itu terbang dari samping telingaku dan menabrak dinding yang berlawanan dengan keras, itu adalah sebuah cangkir.
Telingaku seperti terbakar. Meskipun aku tidak terluka oleh cangkir itu, aku masih ketakutan. Aku berbalik dengan kaget, lalu melihat Tuan Muda Kelima menatapku dengan sinis. Di menggertakkan giginya dan berkata kata, "Benar-benar murahan. Clara, tidak ada wanita yang lebih murahan darimu!"
Pada saat ini, tindakan Tuan Muda Kelima berbeda dengan pria yang tadi meraih tanganku ketika dia dibawa ke ambulans dan berkata agar aku tidak meninggalkannya. Matanya tajam dan kata-katanya penuh dengan ironi.
Sudut mulutku berkedut. Aku menatap pria ini dalam diam. Dalam hidupku, selain Candra, pria ini juga memainkan peran yang sangat penting. Akan tetapi di matanya, dia malah menilaiku seperti ini.
Air mataku mengalir tanpa suara. Aku diam-diam berbalik dan berjalan keluar.
Sesuatu datang dari belakang dan memukul punggungku, itu adalah sebuah bantal. Aku tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku hanya berjalan keluar dengan langkah berat.
Sepanjang jalan, hatiku sangat tidak nyaman. Aku berjalan dengan linglung. Ketika aku keluar dari lift, seseorang di seberang hendak berjalan masuk. Saat pria yang bertubuh tinggi dan wajah tampan melihatku berjalan keluar, alis matanya berkerut. Kemudian, dia memanggil dengan lembut, "Yuwita?"
Suara Candra menarik kembali akal sehatku. Aku menatapnya dengan tatapan kosong. Seketika, aku merasa seakan berada dalam dunia mimpi.
Candra berjalan kemari, lalu dia meraih lenganku dan membawaku ke samping, "Kenapa kamu di sini? Wajahmu terlihat sangat buruk, ada apa?"
Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak apa-apa."
Aku tidak ingin Candra membuat tebakan yang tidak masuk akal, jadi aku memilih untuk menyembunyikan tujuanku datang ke rumah sakit. Akan tetapi, Candra jelas tidak memercayainya. Dia menatapku dengan cemas, "Yuwita, apakah kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"
Pada saat ini, lift lainnya juga berhenti. Pintu lift terbuka dan Tuan Muda Kelima berjalan keluar dengan kain kasa yang melilit kepalanya. Wajahnya terlihat sangat tegas. Dia berjalan ke arah lain, seakan tidak melihat Candra dan aku.
Candra melihat Tuan Muda Kelima dan keraguannya menjadi semakin menjadi-jadi, "Apakah karena Tuan Muda Kelima?"
Ekspresiku menjadi sedikit tidak nyaman. Berbohong bukanlah keahlianku, kedipan mataku-lah yang telah mengkhianatiku, ekspresi Candra tiba-tiba menjadi sedikit serius, "Yuwita, aku harap kamu bisa memberiku penjelasan. Apa kamu datang ke rumah sakit karena Tuan Muda Kelima? Apa yang terjadi di antara kalian berdua?"
Aku menggelengkan kepalaku dengan sedih, "Bolehkah kamu tidak bertanya lagi? Aku tidak melakukan hal yang menyakitimu, aku hanya mencarinya untuk mengakhiri masa lalu."
Candra menatapku dengan mata gelap. Pada saat itu, jakunnya bergerak, napasnya berat dan matanya tajam seperti pisau. Akan tetapi, dia adalah orang yang rasional. Dia meraih tanganku dan mengepalkannya dengan erat tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia menyeretku keluar.
Candra tidak bertanya lagi padaku, tapi udara di dalam mobil menjadi sangat pengap. Dia mengantarku ke apartemen Jasmine. Saat ini, hari sudah gelap.
Saat aku hendak keluar dari mobil, dia tiba-tiba membungkuk, ke arahku, lalu memegang wajahku dengan tangannya yang besar. Bibirnya yang panas menciumku seperti sedang menghukumku. Setelah ciuman panas, dia menatap mataku, "Naik dan panggil Denis. Ikut aku ke sana."
Setelah terdiam beberapa saat, aku berdeham, lalu membuka pintu dan turun dari mobil.
Aku membawa Denis keluar dari apartemen Jasmine. Aku juga membawa sedikit perlengkapan sehari-hari dan masuk ke mobil Candra.
Kami datang ke vila yang disiapkan Candra untukku dan Denis.
Pada malam hari, Denis tidur dengan nyenyak. Saat aku mandi di kamar mandi kamar tidur utama, pintu kamar mandi didorong terbuka dan Candra yang hanya mengenakan celana pendek berjalan masuk.
Melihat tubuh laki-laki yang tinggi dan lurus di cermin, aku merasa gugup untuk sementara waktu. Akan tetapi, Candra sudah menghampiriku, lalu dia memeluk pinggangku dari belakang. Candra mendekatkan wajahnya dan menciumku. Kemudian, dia menggendongku dan meletakkanku di wastafel. Pertama kali kami di rumah baru dimulai dengan cara seperti ini.
Ketika aku bangun di pagi hari, aku masih dalam pelukannya, lengannya yang lain berada di pinggangku. Aku ingin menjauhkan lengannya. Namun, saat ujung jariku mendarat di lengannya, dia membuka matanya, "Apa yang ingin kamu lakukan?"
Ternyata dia sudah bangun.
"Aku ingin menelepon Bibi Jasmine."
Aku mencoba mendorongnya menjauh. Aku ingin bangun, tapi Candra memelukku dengan erat, "Sekarang adalah waktu pribadi kita, jangan biarkan orang yang tidak penting mengganggu kita."
"Candra!"
Aku sangat terkejut dengan nada acuh tak acuh Candra, "Bibi Jasmine adalah ibu kandungmu. Memang benar tidak adil bagimu, dia memberikanmu pada Bherta. Tapi, dia tidak punya pilihan selain berbuat seperti itu! Selain itu, setelah bertahun-tahun, apakah kamu tidak bisa memaafkannya?"
Candra mengangkat kelopak matanya dengan dingin, "Kamu sepertinya telah disuap olehnya. Sepertinya aku tidak boleh membiarkanmu menghubunginya lagi, Denis juga tidak boleh!"
Dia berguling dan menekan tubuhku. Tubuh laki-laki yang kuat itu membuatku sedikit terengah-engah, "Aku kesakitan karena kamu menekanku."
Dia hanya mendengus dan melakukan apa yang telah dia lakukan dua kali padaku tadi malam lagi.
Setelah itu, aku sangat mengantuk sehingga aku mau tidak mau meminta izin ke perusahaanku. Aku berbaring di ranjang dan tidur lelap. Sedangkan Candra masih sangat kuat. Dia membawa Denis untuk sarapan, kemudian mengantarnya kembali ke taman kanak-kanak.
Aku tidur sampai siang, kemudian bangun dengan malas. Aku berkemas dan pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi Jasmine.
Jasmine terlihat baik. Dia berkata ingin keluar dari rumah sakit besok, dia ingin pulang untuk memulihkan diri. Namun, saat dia mendengar Denis dan aku telah pindah untuk tinggal bersama Candra, ada sedikit kekecewaan di wajahnya. Akan tetapi, dia tersenyum lagi, "Sudah waktunya untuk hidup bersama, jangan biarkan perasaan kalian hambar karenaku."
Setelah meninggalkan rumah sakit, aku kembali ke vila Candra. Di malam hari, ayah dan anak itu kembali sambil bergandengan tangan. Denis bertanya sambil berjalan, "Ayah dan ibu sudah tidur bersama, tapi kenapa aku masih belum punya adik?"
Candra tertawa, "Apakah Denis sudah terburu-buru? Tapi ini tidak bisa buru-buru. Butuh waktu lama bagi adik untuk lahir. Denis harus menunggu dengan sabar."
Denis mengerutkan bibirnya dengan kecewa, "Baiklah."
Aku telah menyiapkan makan malam. Aku membuat hidangan favorit Candra yang aku ingat, serta daging kecap kesukaan Denis. Ayah dan anak makan dengan gembira. Pada malam hari, Candra meminta tanpa lelah dan menolak untuk menggunakan pengaman. Dia berkata ingin memberikan adik untuk Denis. Aku melemparkan pengaman ke depannya sambil tertawa tidak berdaya, "Tolonglah, aku tidak mau begitu cepat menjadi seorang ibu lagi."
Candra kembali memakai pengaman dengan kesal.
Keesokan paginya, Rinaldi datang. Hari ini, dia berlibur. Jadi, dia datang ke sini untuk melihat Denis.
Meskipun hubungan Denis dengan kakek Rinaldi tidak sedekat Jasmine, dia masih sangat menyukainya. Namun, ketika Rinaldi ingin mengajaknya bermain, Denis menggelengkan kepalanya, "Kakek, aku dan ibuku ingin pergi menjemput Nenek Jasmine dari rumah sakit."
Rinaldi kaget, "Nenek Jasmine sakit?"
Denis mengangguk, "Penyakit jantung."
Wajah Rinaldi langsung berubah. Dia menatapku dengan pandangan bertanya. Aku mengangguk, "Dengar-dengar sudah bertahun-tahun. Kali ini penyakitnya tiba-tiba kambuh."
Rinaldi memejamkan mata, ekspresinya penuh dengan rasa kasihan. Namun, dia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Denis, "Anak baik, pergilah bersama ibu."
Aku tahu Rinaldi pasti ingin mengunjungi Jasmine, tapi karena ada Bherta yang berada di antara mereka. Tidak peduli seberapa Rinaldi ingin pergi, dia tidak bisa pergi.
Aku membawa Denis ke rumah sakit, membantu Jasmine menyelesaikan prosedur keluar dari rumah sakit dan bertanya kepada dokter tentang tindakan pencegahan setelah kembali. Kemudian, aku membantu Jasmine keluar dari bangsal.
Kembali ke apartemen, aku menjelaskan semua obat-obatan kepada Bibi Lani satu per satu, tapi aku masih khawatir tentang Jasmine. Aku menelepon Candra untuk memberitahunya aku akan tinggal di apartemen Jasmine selama beberapa hari ke depan. Aku tidak bisa membiarkan Jasmine sendirian saat sakit.
Candra tidak mengatakan apa-apa, tapi aku pikir dia harus setuju. Saat akan menutup telepon, aku mendengar suaranya yang rendah, "Apakah dia benar-benar penting bagimu?"
Aku, "Candra, Bibi Jasmine adalah orang yang paling aku hormati. Ketika aku dalam kesulitan, dia membantuku dan merawat Denis. Aku menganggapnya seperti seorang ibu."
Candra tidak berbicara lagi, lalu telepon ditutup.
Aku tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Apakah dia kasihan pada ibu kandungnya? Aku hanya berharap hubungan antara dia dan Jasmine dapat membaik sesegera mungkin.
Keesokan paginya, Rinaldi menelepon, "Clara, apakah sempat untuk berbicara?"
Ketika Rinaldi berbicara, dia ragu-ragu. Aku tahu apa yang ingin dia tanyakan, jadi aku mengatakan kepadanya, "Bibi Jasmine baik-baik saja. Dokter bilang cukup istirahat di rumah."
Rinaldi berdeham, nada suaranya terdengar berat.
Tubuh Jasmine perlahan pulih. Aku bersiap kembali ke apartemen Candra. Aku menelepon untuk memintanya menjemputku. Telepon berdering dan aku memanggil, "Candra."
Namun, malah terdengar suara nyaring seorang gadis kecil di telepon, "Kamu wanita jahat, kenapa kamu mencari ayahku? Dia tidak akan kembali, dia akan tidur dengan ibuku, hmph!"
Julia yang menjawab telepon. Selain itu, dia segera menutup telepon dan aku tertegun sejenak.
Candra akan mengunjungi putrinya. Hal ini adalah apa yang telah lama aku pikirkan dan juga itu adalah hal biasa. Namun, ketika aku mendengar suara Julia berdering di ponselnya, aku masih merasa tidak nyaman untuk sesaat.
Apalagi anak itu memanggilku wanita jahat.
Untuk panggilan wanita jahat, siapa yang lebih jahat dibandingkan dengan ibunya?
Beberapa menit kemudian, Candra menelepon kembali, "Yuwita, apakah kamu baru saja menelepon?"
"Oh, aku ingin memintamu datang menjemputku."
Candra, "Tunggu aku sebentar, aku di rumah orang tuaku sekarang."
"Ayah, aku tidak ingin kamu pergi!" Ketika Candra berbicara, suara Julia tiba-tiba menyela dan dapat didengar bahwa gadis kecil itu bermanja lagi. Sepertinya dia sedang memeluk paha Candra.
Aku menutup telepon karena aku benar-benar tidak ingin mendengar adegan yang membuatku kacau ini.