Setelah Gabriel pergi, aku minum segelas jus. Setelah meminum jus, seluruh tubuh menjadi dingin. Rasa sejuk itu juga membuatku merasa jauh lebih baik.
Saat dari Perusahaan Halim kembali ke Kewell, Monica bertanya padaku, "Kak Clara, ada apa denganmu hari ini? Apakah kamu tahu betapa menakutkannya kamu ketika kehilangan kesabaran?"
Aku menggerakkan sudut mulutku. Aku benar-benar merasa canggung. "Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk. Saat sesuatu terjadi lagi, aku tidak bisa mengendalikan emosiku."
Monica tersenyum dan berkata, "Sedang dalam suasana hati yang buruk? Ini mudah ditangani. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat setelah pulang kerja, aku yakin kamu akan merasa bahagia."
Sepulang kerja, Monica menarikku ke dalam taksi. Aku menelepon Bibi Lani dan memintanya untuk menjemput Denis dari TK. Sementara aku diseret oleh Monica ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.
Tempat itu bernama "Chaco", Monica langsung membayar uang dan menarikku masuk.
Pelayan membawa kami ke sebuah ruangan di mana ada beberapa figur plastik biru yang setinggi orang sungguhan. Monica memakai sarung tangan dan melayangkan dua pukulan ke salah satu figur plastik, lalu berkata kepadaku sambil tersenyum, "Ayo, beberapa pukulan akan membuatmu merasa nyaman."
Cara ini benar-benar cara yang tepat untuk melampiaskan emosiku. Seperti Monica, aku memakai sarung tangan, lalu melayangkan beberapa tinju ke pria plastik biru di depanku dan menendang beberapa kali dengan frustrasi. Aku tidak tahu apakah aku menganggap pria plastik ini sebagai Candra atau Tuan Muda Kelima. Singkatnya, aku merasa jauh lebih nyaman setelah menendangnya.
Hanya saja pria plastik itu jatuh dengan lemah dan aku masih mendengar kata aduh.
Bulu di sekujur tubuhku bergidik. Ada apa? Pria plastik ini masih bisa mengeluarkan suara?
Monica juga kaget, dia menampar kepala pria plastik yang berjongkok kesakitan itu, lalu pria itu mengeluarkan aduh lagi.
Seketika, Monica melompat ketakutan.
"Astaga, apa yang terjadi? Apakah pria plastik itu tahu itu sakit?"
Pria plastik itu berdiri perlahan dan melepas pakaian yang dikenakannya. Kami melihat dia jelas adalah seorang pria paruh baya.
Pria itu berkata dengan wajah sedih, "Kalian berdua, meskipun kami menghasilkan uang dari pukulan, kalian jangan pukul kami sampai mati!"
Astaga.
Monica dan aku tidak bisa berkata-kata. Ternyata kami memukul orang hidup. Pada saat ini, pria plastik yang dipukuli Monica juga melepas plastik dan menunjukkan wajahnya. Dia lebih baik, Monica tidak sedang marah, jadi pukulannya tidak terlalu kuat.
Orang yang aku pukul, terlihat sedikit menyedihkan.
"Maaf, aku tidak tahu kalian semua orang sungguhan."
Aku merasa sangat menyesal di hatiku, jadi aku mengeluarkan empat ratus ribu dari tasku dan menyerahkannya kepada pria itu, "Ambil ini, aku tidak tahu kalian adalah orang sungguhan. Kalau tidak, aku tidak akan memukul dengan kejam."
Tinjuku tidak berat, tapi tendangan aku benar-benar kejam. Jika aku tidak menendang orang melalui plastik, orang itu pasti akan kesakitan.
Pria itu menggelengkan kepalanya, "Lupakan saja, pekerjaanku memang seperti ini, aku hanya memohon padamu untuk memukul lebih pelan."
Setelah itu, pria itu memakai plastik di sekujur tubuhnya.
Monica dan aku kehilangan biar untuk memukul lagi. Monica merasa tak berdaya, "Kak Clara, aku ingin membawamu ke sini untuk melampiaskan amarahmu, siapa yang mengira akan terjadi masalah sebesar ini."
"Tapi kita bisa pergi ke tempat lain. Kali ini, aku jamin tidak terlalu kasar dan berdarah-darah."
Monica menarikku ke dalam taksi lagi. Tidak lama kemudian, kami tiba di sebuah KTV.
Monica dan aku berteriak di ruang VIP cukup lama, rasanya sangat menyenangkan. Namun ketika kami keluar dari room VIP, kami dihentikan oleh beberapa pria.
"Kalian berdua cukup cantik, bagaimana kalau minum-minum denganku?" tanya pria gendut itu sambil bertolak dada.
Monica berkata dengan marah, "Siapa yang mau minum denganmu, minggir!"
Pria gendut itu berkata, "Hais, ternyata adalah seekor kuda kecil yang galak. Tapi di tanganku, tidak peduli seberapa ganasnya kamu, aku pasti bisa menjinakkanmu. Kalian, serang! Seret kedua wanita ini ke dalam ruangan!"
Pria gendut memberi perintah, lalu beberapa preman di sebelahnya datang dan menyeret kami ke ruang VIP mereka tanpa penjelasan apa pun. Monica dan aku berjuang keras sambil berteriak minta tolong.
Pada saat ini, beberapa orang datang dan orang yang memimpin berteriak, "Apa yang kalian lakukan? Lepaskan mereka!"
Suara itu sangat familier. Aku mendengar itu adalah Gabriel, jadi aku berteriak, "Gabriel, selamatkan kami!"
Pria gemuk itu memandang orang-orang di depannya. Wajahnya yang penuh daging itu sedikit waspada dan berkata dengan cemberut, "Nak, menjauhlah, jangan ikut campur. Aku menyukai kedua wanita ini. Biarkan mereka menemaniku. Lebih baik kamu tahu diri dan bergegas pergi. Kalau tidak, aku tidak akan sungkan padamu.
Gabriel sangat marah dan mencengkeram kerah pria gemuk itu, "Sialan, lepaskan mereka!"
Pria gemuk itu mengedipkan mata ke kiri dan kanan, lalu preman di sebelahnya semua bergerak ke arah Gabriel. Mereka saling meninju dan Gabriel tidak bisa melawan. Dengan cepat, Gabriel dihajar oleh orang-orang itu.
Beberapa orang yang datang dengan Gabriel melihat ini, satu demi satu bergabung dalam pertempuran. Untuk sementara, koridor menjadi sangat kacau.
Aku sangat ketakutan sampai-sampai aku lupa lapor polisi. Pada saat ini, manajer KTV datang dengan tergesa-gesa sambil membawa orang, "Jangan berkelahi, jangan berkelahi! Kalau kalian berkelahi lagi, aku akan lapor polisi!"
Ketika lelaki gendut itu melihat seseorang datang, dia mengedipkan mata pada bawahannya. Beberapa dari mereka juga berhenti berkelahi. Mereka takut jika lapor polisi, mereka akan mendapatkan masalah. Mereka saling memberi bertatapan lalu melarikan diri.
Aku bergegas membantu Gabriel, "Bagaimana kondisimu?"
Gabriel bersandar di dinding yang berlawanan, matanya dan sudut mulutnya berwarna biru. Dia menepis tanganku dengan marah, "Sepanjang hari selalu mencari masalah. Untungnya, aku di sini hari ini, kalau tidak kamu...."
Gabriel melirik Monica sejenak. Akhirnya menatap wajahku, "Apa kamu tidak bisa berhenti mencari masalah?"
Aku, "..."
Aku hanya keluar untuk bersantai, siapa yang tahu hal seperti itu akan terjadi? Jika aku tahu lebih awal, aku tidak akan datang ke sini. Sekarang aku diomeli oleh Gabriel dan tidak bisa mengatakan apa pun.
"Aku akan membawamu ke rumah sakit."
Aku terlalu malas untuk berbicara dengan Gabriel. Bagaimanapun, anak ini cedera karena aku. Aku memapahnya dan ingin membawanya ke rumah sakit, tapi dia meronta dan melepaskan diri dari tanganku dan mencari kembali ponsel yang terbanting karena berkelahi. Kemudian, dia mengetukkan jarinya di layar beberapa kali, mencari nomor telepon dan memanggilnya, "Kak Candra. Eh, wanita kamu ditindas oleh seseorang. Kemarilah, dia di tempat karaoke Diadona Jalan Kenangan."
Ternyata Gabriel menelepon Candra, lalu dia menatapku dengan muram dan berjalan pergi dengan pincang.
Begitu Gabriel menutup telepon, teleponku berdering, Candra yang menelepon. Aku menjawabnya sambil berjalan.
Candra, "Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah kamu terluka?"
"Tidak." Kegembiraan melampiaskan emosiku barusan sekarang berubah menjadi depresi.
Candra, "Tunggu, aku akan pergi."
Saat dia berbicara, aku bisa mendengar langkah kaki yang nyaring menuruni tangga, diikuti oleh suara mobil yang dinyalakan.
Candra datang dengan sangat cepat, tidak tahu di mana dia saat menjawab telepon. Setelah lebih dari sepuluh menit, tubuh tinggi dan lurus sudah muncul di tempat karaoke ini.
Ketika dia melihatku, dia berjalan ke arahku, "Bagaimana kabarmu? Coba aku lihat di mana lukanya."
Candra meraih tanganku dan menatapku dari atas ke bawah. Ketika dia melihat memar di lengan kiriku, matanya dipenuhi dengan kekejaman.
Candra mengeluarkan ponselnya dan mulai menelepon. Tidak tahu siapa yang dia panggil. Dia memerintahkan dengan suara suram, "Dengar, aku mau mencari orang-orang yang menindas wanitaku dan menghancurkan tangan mereka!"
Ketika aku mendengarnya, alisku melonjak. Aku melihat ke arah Candra, alisnya terlihat suram dan ekspresi cemberut terpancar dari wajahnya, auranya sangat mengancam.
Monica menarik pakaianku dan berkata dengan suara rendah, "Kak Clara, Pak Candra sangat menakutkan."
Aku memberinya tatapan menenangkan sambil memberi isyarat agar dia tidak takut.
Setelah Candra menyelesaikan instruksinya, dia kembali menekan nomor lain, "Polisi, ya? Ada yang salah dengan tempat karaoke Diadona...."
Telingaku berkedut, apakah Candra juga ingin menutup tempat karaoke ini.
Setelah menutup telepon, Candra meraih tanganku, "Ayo pergi."
Aku tarik oleh Candra, Monica mengikuti dari belakang. Kami masuk ke mobil Candra, Monica dan aku duduk di belakang. Candra mengemudi, Monica menarik-narik sudut terus-menerus pakaianku, "Kak Clara, Apakah Pak Candra seorang mafia?"
Sekarang baginya, Candra jauh lebih menakutkan daripada para preman.
Aku hanya bisa berbisik, "Jangan takut."
Candra menanyakan alamat Monica. Dia mengantar Monica langsung ke apartemen, kemudian membawaku ke rumah barunya, sebuah vila taman.
Dia menarikku ke dalam vila, lalu menyalakan lampu ruang tamu. Di bawah cahaya, dia melihatku lebih dekat. Setelah memastikan tidak ada luka lain di tubuhku, dia baru menghela napas lega, "Kenapa kamu pergi ke tempat seperti itu? Untungnya kamu bertemu Gabriel. Kalau tidak bukankah kamu akan sengsara?"
Mataku berkedip, mengapa aku pergi ke sana? Bagaimana aku bisa mengatakannya?
"Hanya pergi saja, tidak ada alasan."
Lagi pula, aku juga marah padanya dan juga Tuan Muda Kelima. Segala macam alasan membuatku gila.
Candra memegang bahuku dan dengan lembut membalikkan tubuhku, "Aku tahu, aku memintamu untuk merawat Julia bersamaku, itu tidak adil untukmu. Aku sudah memikirkannya selama beberapa hari terakhir, aku tidak akan menyerah untuk hak asuh Julia, tapi aku tidak harus merawat Julia di sisiku. Dia bisa tinggal bersama kakek-neneknya, aku hanya perlu mengunjunginya setiap hari."
Aku mendongak tiba-tiba, apakah dia mengalah seperti itu untukku? Bisakah dia benar-benar melakukannya? Julia adalah putri kesayangannya dan telah dimanjakan sejak kecil.
Melihat keraguan dan kebingungan di mataku, Candra memelukku, "Aku tidak ingin kehilangan kamu dan Denis lagi. Aku berhutang terlalu banyak kepada kamu dan Denis. Sisa hidupku, aku ingin menebus kalian berdua, jadi tolong beri aku kesempatan ini?"
Aku mengangguk tanpa sadar, "Ya."
Candra bersemangat, dia mengangkatku dan berputar beberapa kali berturut-turut. Aku terkejut dan terus berteriak. Candra menurunkanku lagi, lalu dengan cepat menciumku.
Ciuman ini membangkitkan semangat kami berdua....
"Tidak!" teriakku yang merasa tidak baik dengan tiba-tiba dan mendorongnya menjauh.
Candra mendongak seolah-olah dia telah dipukul dengan tongkat, "Ada apa?"
"Bisa hamil."
Aku memperlihatkan ekspresi ngeri. Aku sudah memiliki Denis dan aku tidak ingin melahirkan anak lagi.
Candra menghela napas lega, "Mudah saja. Tunggu sebentar, aku keluar sebentar."
Candra hendak pergi keluar untuk membeli sesuatu, tapi aku menghentikannya, "Jangan, Denis masih menungguku, antar aku kembali saja."
Mata Candra menunjukkan sedikit kekecewaan. Wajahnya yang tampan masih terlihat memerah. Barusan sudah membangkitkan semangatnya. Saat ini, niatnya dihentikan begitu saja, sepertinya dia merasa tidak nyaman.
"Aku yang egois."
Wajahnya yang tampan menunjukkan sedikit rasa bersalah dan malu, "Aku akan mengirimmu kembali sekarang."
Saat dia berbicara, dia mulai membantu merapikan pakaianku.
Lebih dari sepuluh menit kemudian, kami sudah dalam perjalanan ke apartemen Jasmine.
Denis menelepon dan berkata, "Bu, kapan kamu kembali?"
"Ibu akan segera pulang sayang, tunggu sebentar lagi," kataku dengan lembut.
Candra meningkatkan kecepatan mobil. Setelah sepuluh menit, kami tiba di apartemen Jasmine dan Candra naik ke atas bersamaku.
Melihat Candra, Denis sangat bersemangat. Dia segera berlari ke arah kami, Candra menggendong Denis dan mengangkatnya di atas kepalanya.
"Ayah, kenapa Ayah bersama ibu? Apakah Ayah tinggal di sini hari ini?"
Candra mencium wajah kecil Denis, "Ayah tidak akan pergi, Ayah akan tidur denganmu dan ibu."
Mendengar ini, Denis sangat senang dan berkata, "Yeah."
Pada malam hari, kami semua tidur di ranjang Denis. Denis tidur di tengah, Candra di kiri dan aku di kanan. Bocah kecil itu tidak pernah sebahagia ini. Dia bersandar di pelukan Candra dan tangan kecilnya memegang tanganku. Denis tertidur dengan senyum di sudut mulutnya.
Candra dengan lembut menggendong Denis dan meletakkannya di tempat dia berbaring. Kemudian, dia berbaring di tempat Denis tidur. Dia memeluk Denis dengan satu tangan dan tangan lainnya memelukku. Dia mencium dahiku, "Sekarang, kita sekeluarga akhirnya bersama."
Aku meringkuk dalam pelukannya. Dari lubuk hati aku muncul perasaan puas. Dalam hidup ini, ada dia dan Denis sudah cukup untukku.
Di pagi hari, Candra bangun terlebih dulu, lalu Denis juga bangun. Hanya aku yang bangun setelah ayah dan anak itu merapikan diri.
Kedua ayah dan anak itu berdiri di samping ranjang, yang besar mengenakan jas. Candra terlihat tampan dengan sedikit senyum di sudut mulutnya, matanya yang melengkung sangat menawan. Bocah kecil mengenakan kemeja dan celana baru, dia masih mengenakan dasi, dia terlihat seperti bocah kecil yang tampan.
Kedua ayah dan anak itu menatapku sambil tersenyum. Aku merasa diriku seperti orang malas yang tertidur.
Aku bangun dengan tergesa-gesa, "Aduh, kenapa kalian tidak membangunkanku?"
Denis berkata, "Ayah bilang membiarkan Ibu tidur sebentar lagi."
Candra berkata, "Denis dan aku bangun terlalu pagi. Kami berkemas dan menunggumu."
Ayah dan anak itu berdiri di samping ranjang, membuatku yang mengenakan piyama merasa malu untuk berganti pakaian. Aku dan Candra suah merasa asing selama bertahun-tahun, aku pasti tidak akan berganti pakaian di depannya. Sementara Denis, dia adalah seorang laki-laki. Aku mengambil mantelku dan berlari ke kamar mandi sambil mengenakan sandal. Di belakangku, terdengar suara ayah dan anak yang tertawa bahagia.
Setelah sarapan, Candra mengantar Denis ke taman kanak-kanak terlebih dahulu, lalu mengantarku ke Kewell. Ketika aku hendak turun dari mobil, dia memelukku dan mencium sudut mulutku, "Sampai jumpa di malam hari."
Aku tersenyum padanya, "Sampai jumpa di malam ini."
Kami berpisah di luar Kewell, yang terjadi selanjutnya adalah hari yang panjang dan sibuk.
Malam hari, Cindy memintaku untuk mengajak Denis makan bersama mereka. Aku berkata Candra akan datang di malam hari.
Cindy berkata dengan kesal, "Clara, apakah kamu ingin kembali dengan Candra? Jangan lupa, dia masih memiliki Stella dan Julia."
Aku, "Dia dan Stella sudah bercerai. Julia juga akan tinggal bersama neneknya."
Cindy, "Mungkin saja dia menceraikan Stella, tapi dia menempatkan Julia di pihak neneknya, apakah kamu percaya? Kamu tahu betapa dia mencintai anak itu, bukan? Anak itu mungkin adalah nyawanya."
Aku tercengang. Ya, Julia adalah nyawa Candra. Aku sudah melihatnya. Candra berkata dia akan menempatkan Julia dengan kakek-neneknya, dapatkah janji ini dipenuhi?
Suasana hatiku yang baik tersapu oleh kesedihan yang tiba-tiba ini.
Malam hari, Candra datang. Ayah dan anak itu bersenang-senang. Saat larut, Candra masih tidur di ranjang Denis, tapi aku kembali ke kamarku.
Denis sangat enggan. Tangan kecilnya meraihku dan ingin aku tinggal, matanya yang jernih penuh harapan. Namun, karena bayangan tebal menutupi hatiku, aku tidak ingin tinggal.
Meskipun aku tahu salah untuk mencurigai kata-kata Candra begitu awal, aku tidak bisa menahan diri untuk mencurigainya. Aku takut untuk berdekatan dengan Candra. Mendengarkan lamarannya kepadaku, berbaring di lengannya, mencium aromanya yang familier, akan membuatku sulit untuk mengendalikan diri.
Rujuk kembali bukanlah hal yang sepele dan harus dipertimbangkan kembali.
Mata Candra mengungkapkan keraguan, tapi dia tidak bertanya apa-apa, dia hanya menghibur Denis, "Denis, ibu sedikit tidak nyaman hari ini. Biarkan ibu kembali ke kamarnya. Ayah akan tidur denganmu."
Denis mengangguk.
Setelah Denis tertidur, Candra mendorong pintu kamarku. Aku tidak tertidur. Aku melihat pintu terbuka sedikit, kemudian celahnya melebar. Bayangan pria itu berjalan masuk disertai dengan cahaya redup di koridor.
Aku beranjak sedikit.
Candra datang dan duduk di samping ranjangku, matanya yang jernih berbinar-binar di malam hari, "Yuwita, aku tahu kamu pasti ragu-ragu untuk rujuk kembali sekarang. Tidak peduli bagaimanapun, percayalah padaku,"
Dia meraih tanganku dan mencium jariku, "Aku tidak akan menyakitimu dan Denis lagi."
Setelah Candra selesai berbicara, dia membungkuk lagi dan mencium keningku, "Selamat malam."
Tubuhnya yang tinggi berjalan keluar. Pintu tertutup rapat. Jemari dan keningku masih merasakan kehangatan bibirnya, tapi hatiku seperti kolam mata air dan pikiranku kembali kacau.
Ketika aku bangun, Candra sudah pergi. Dia meninggalkan pesan pada Bibi Lani, berkata dia memiliki sesuatu yang penting, jadi pergi lebih dulu. Pengemudi akan datang menjemputku dan Denis.
Hari sibuk lainnya. Aku pergi ke Perusahaan Halim untuk urusan bisnis di sore hari. Aku mampir ke kantor presiden untuk menemui Gabriel. Dia terluka karena aku hari itu, tidak tahu bagaimana kondisinya. Akan tetapi, sekretaris memberitahuku dia sudah beberapa hari tidak datang bekerja.
Aku bingung. Setelah pulang kerja, aku menelepon Bibi Lani dan memintanya untuk menjemput Denis. Sementara aku pergi ke rumah Gabriel.
Saat aku melangkah ke ruang tamu besar dengan dekorasi gaya kuno, Gracia berlari ke arahku, "Kak Clara, apakah kamu di sini untuk melihat kakakku? Dia telah terluka dan telah tinggal di rumah selama beberapa hari."