Chereads / Kelembutan yang Asing / Chapter 64 - ##Bab 64 Aku Merasa Jijik

Chapter 64 - ##Bab 64 Aku Merasa Jijik

Sudut mulutku berkedut. Pada jam ini, dengan hujan yang begitu deras, di mana aku dapat menemukan taksi lain?

Namun, Candra turun dengan membawa payung, jadi aku juga harus turun dari mobil.

Aku tidak memiliki payung, jadi aku menutupi kepalaku dengan tasku dan melihat sekeliling. Aku mencari tempat untuk berlindung dari hujan. Saat ini, payung kotak-kotak biru disangga di atas kepalaku. Tetesan air hujan terhalang. Aku menatap pria itu dengan curiga. Dia sudah berdiri di sampingku sambil menatapku dengan acuh tak acuh tapi lembut. Payung di tangannya jelas-jelas dicondong ke arahku.

Tetesan hujan menghantam bahu kanannya yang tidak dipayungi dan setelan baru yang mahal itu langsung basah.

Aku mengerutkan kening dan menjauhkan tubuhku ke sisi lain, "Kita hanyalah orang asing, kamu tidak perlu seperti ini."

Saat aku berbicara, aku melangkahkan kakiku dan berlari menuju deretan toko di seberang. Aku berlari sambil memegang tasku di atas kepalaku.

Aku berlari ke atap bawah toko, punggungku hampir menempel di pintu toko dan aku berbalik, Candra berjalan ke sisi ini sambil membawa payung di tangannya.

Dia berjalan ke arahku, lalu meletakkan payungnya dan berdiri berdampingan denganku, posisi kami hampir bahu-membahu.

Saat itu hujan deras dan aku kedinginan. Aku memeluk tubuhku dengan tangan dan gigiku yang bergemetar, tapi aku masih berkata, "Apa yang kamu lakukan di sini? Pergi!"

"Aku tidak bisa pergi. Kamu juga bisa melihatnya. Semakin sedikit mobil di jalan ini. Tidak mungkin aku bisa mendapatkan taksi."

Candra mulai menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok.

Aku berkata, "Kamu bisa meminta sopir untuk menjemputmu, singkatnya jangan berdiri denganku, aku jijik."

Candra menoleh dan melirikku, tatapan matanya agak dalam, tapi dia tidak kesal. Dia mematikan korek api, lalu memasukkannya ke dalam sakunya dan mengisap rokok, "Beberapa tahun ini, aku tidak berhubungan dengannya. Kamu tidak perlu merasa jijik."

Kata-kata Candra benar-benar mengejutkanku. Sudah tiga tahun, apakah dia tidak pernah menyentuh Stella? Siapa yang bisa percaya ini, Stella adalah wanita yang sangat cantik. Sepasang mata itu dan beberapa tahun yang lalu kata-kata yang Stella ucapkan padaku sudah bisa mengetahui seberapa menggoda Stella di ranjang.

Apakah Candra bisa mengabaikannya?

Namun, Candra mengabaikan keterkejutan dan keraguanku. Dia mengisap rokoknya dan melihat sekeliling, "Saat-saat seperti ini, benar-benar cocok untuk orang-orang seperti kita."

Aku mengerutkan bibirku dengan jijik. Saat bahunya tidak tampak sengaja bersandar ke arahku aku langsung menjauhkan tubuhku darinya.

"Candra, aku tidak ingin menyinggung Stella atau kakaknya karena dirimu. Aku baru berusia dua puluh enam tahun dan masih belum menikmati hari-hariku. Aku belum menemukan pria yang mencintaiku. Aku belum ingin mati."

Candra memalingkan wajahnya yang sedikit masam, tapi dalam sekejap, dia tampak santai lagi. Dia menarik napas dan berkata, "Apakah ada pria yang akan mencintaimu? Aku tidak mengetahuinya, tapi aku bisa yakin kalau orang-orang dari Joan melihatku bersamamu, kamu tidak akan selamat."

Aku sangat marah, "Candra, tutup mulutmu!"

Aku pikir dia mengutukku.

Candra mengaitkan bibirnya dengan ringan dan senyum itu bahkan diiringi dengan penghinaan diri sendiri dan tersenyum jahat, "Jangan takut, aku akan menemanimu. Kita berdua tidak bisa hidup bersama, kalau bisa mati bersama, maka juga merupakan hal yang membahagiakan."

"Kamu ...."

Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata.

Aku memalingkan kepalaku dengan marah, akhirnya aku melihat taksi lewat. Aku bergegas, "Hei, berhenti! Berhenti!"

Akan tetapi, mobil itu seakan tidak mendengarnya dan melaju pergi tanpa berhenti. Noda lumpur malah memercik ke sekujur tubuhku.

Aku mengumpat dengan marah pada pengemudi itu dan berlari kembali ke bawah atap.

Candra melepas jasnya dan mengenakannya padaku. Aku tertegun sejenak. Saat berikutnya, aku ingin mendorongnya dengan jijik, "Jangan sentuh aku, benar-benar menjijikkan!"

Candra seakan tidak mendengarnya, "Kalau kamu tidak memakainya, kamu akan membeku. Pakaianmu sudah basah kuyup."

Aku benar-benar kedinginan, aku bertolak dada dan terus menghentakkan kakiku, tubuhku meringkuk seperti sebuah bola. Namun, pakaian Candra pasti ternoda oleh suhu tubuh Stella. Dari lubuk hatiku aku benar-benar menolak hal itu, jadi aku membuangnya tanpa ragu-ragu. Candra berkata, "Jangan khawatir, pakaian ini aku gunakan hari ini. Dia tidak pernah menyentuhnya."

Semua perlawananku tiba-tiba berakhir.

Aku terlalu dingin, siapa yang peduli lagi.

Aku tidak mengakui karena kata-kata Candra yang berguna. Aku seharusnya membenci segala sesuatu tentang dia.

Candra membantuku mengancingkan pakaiannya, seperti yang dia lakukan ketika kami pergi bersama pada malam musim dingin bertahun-tahun yang lalu saat aku kedinginan.

"Begini akan lebih baik," katanya sambil mengancingkan.

Aku mengerutkan kening, tapi aku tidak keberatan lagi. Mau tak mau aku mengakui bahwa di alam bawah sadarku, aku masih memiliki perasaan pada Candra yang bahkan tidak berani aku akui.

Aku mencintai pria ini meskipun sekarang aku membencinya sampai mati.

Hujan masih belum reda, jalan telah tergenang air dan tidak ada mobil. Aku semakin cemas, apakah aku harus berdiri seperti ini malam ini? Aku masih memiliki begitu banyak buku yang belum aku baca. Dua bulan kemudian, aku akan mengikuti ujian pengacara.

Aku ingin menelepon Cindy dan berkata padanya di tengah jalan aku terjebak hujan, tapi saat aku mengeluarkan ponselku, aku menemukan bahwa benda itu mati secara otomatis karena kehabisan daya.

"Sialan!" kutukku.

Aku hanya bisa dengan cemas dan tak berdaya terus berdiri di bawah atap dan menunggu hujan redah.

Candra batuk, sepertinya dia kedinginan. Aku meliriknya, dia meletakkan tangan di mulutnya dan terus batuk.

Tubuhnya selalu sangat sehat dan tidak akan masuk angin karena kehujanan sebentar itu, kurasa.

Waktu telah berlalu menit demi menit, setiap detik seperti satu tahun. Setiap detik seperti menggoreng tubuhku di atas wajan panas. Sekarang aku tidak tahu jam berapa. Saat aku kembali, aku benar-benar sudah tidak bisa belajar lagi.

Candra mulai menelepon, "Kendarai mobil ke sini, lebih baik pakai mobil Jeep, di sini banjir parah."

Aku lupa, bajingan ini punya sopir. Dia tidak perlu berdiri gemetar di malam dengan cuaca hujan sepertiku. Dia bisa meminta sopir untuk menjemputnya.

"Apakah kamu waktu itu, hujan deras dan jalan penuh dengan air. Kamu berdiri sendirian di luar firma hukum dan tidak memiliki payung. Akulah yang menggendongmu dan berjalan jauh, baru sampai ke mobil kita."

Candra membuka mulutnya sambil mengingat masa lalu, dengan sedikit mengenang, "Saat itu, benar-benar bagus ...."

Aku mengabaikan Candra yang sedang mengenang masa lalu. Bagi kita yang telah bercerai selama tiga tahun, apa gunanya mengenang masa lalu? Namun di hatiku, aku masih merasakan rasa kehilangan yang mendalam. Saat itu, aku berada di punggungnya dan berpikir selamanya seperti itu. Masa-masa manis seperti itu seakan masih jelas bagaikan adalah kejadian kemarin.

Sebuah mobil berhenti di jalan. Mobil itu adalah mobil Jeep. Dalam cuaca seperti ini, mobil jenis ini dapat berjalan tanpa hambatan.

Candra berkata, "Ayo pergi."

Dia hendak pergi, tetapi tiba-tiba berbalik, "Kenapa kamu tidak jalan? Apakah kamu ingin berdiri di sini sepanjang malam?"

"Aku merasa jijik," kataku tanpa belas kasih.

Mobil itu pasti masih tersisa suhu tubuh Stella dan jejak dia duduk di dalamnya. Sementara aku saat ini, aku mengabaikan fakta bahwa Stella juga pernah berhubungan dengan Candra dan aku masih mengenakan pakaian Candra.

"Itu adalah mobil Gabriel."

Candra tidak marah karena kata-kataku, tetapi dia berbicara dengan tenang.

Kemudian aku melirik Candra dengan tatapan aneh dan berjalan menuju mobil.

Ternyata pengemudinya adalah Gabriel. Aku membuka pintu penumpang depan. Sebelum melangkah, aku melemparkan pakaian Candra kepadanya, "Aku kembalikan padamu."

Lalu, aku masuk ke dalam mobil.

Alasan mengapa aku duduk di kursi penumpang, karena aku tidak ingin memberi Candra kesempatan untuk duduk di kursi belakang bersamaku. Melihat aku duduk langsung di kursi penumpang di depan, Candra sedikit mengernyit, tapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia mengambil pakaian basah yang dilemparkan ke dalam pelukannya dan melangkah ke kursi belakang.

Ketika Gabriel melihat aku dan Candra masuk ke mobil bersama, tatapan terlihat aneh. Dia menatapku dan kembali menatap Candra. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Mobil dinyalakan, Jeep melaju di langit malam cuaca hujan ini dengan jalanan yang tidak ada orang sedikit pun.

Segera, Gabriel mengantarku ke apartemen. Saat aku turun dari mobil, aku mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan masuk. Di belakangnya, tatapan itu nematap dalam waktu lama.

Saat aku pulang, waktu sudah lewat tengah malam dan Cindy belum tidur, dia memegang secangkir kopi dan melihat beberapa informasi produk. Aku tahu bahwa Cindy sebenarnya menungguku kembali.

"Hari ini naik taksi, mobil mogok di jalan, jadi aku harus berlindung dari hujan di jalan dan pulang terlambat," jelasku, tetapi tidak menyebutkan nama Candra.

Cindy tidak bertanya lagi. Dia mungkin sudah terbiasa aku yang sering pulang larut malam atau tidak pulang semalaman, "Cepat mandi dulu, aku sudah menyiapkan air panas untukmu."

Aku pergi mandi dan kembali, Cindy sudah kembali ke kamar tidur.

Aku mendorong pintu kamar Cindy hingga terbuka. Dia sudah berbaring, tapi setelah minum begitu banyak kopi, dia jelas tidak bisa tertidur dengan cepat.

"Sebenarnya, aku bertemu Candra. Kami naik taksi yang sama, dan mobil mogok. Kami berdua berlindung di jalan bersama. Aku tidak mendapatkan taksi dan tidak ada mobil di jalan. Aku ingin meneleponku, tapi ponselu mati. Candra yang menelepon Gabriel dengan mengendarai Jeep dan mengantarku kembali."

Aku mengatakan yang sebenarnya.

Cindy berkata, "Kamu tidak membencinya lagi?"

Aku mengerutkan kening, "Benci, hanya saja sepertinya sudah sedikit memudar."

Aku juga tidak mengerti, apakah karena aku memutuskan untuk melepaskan kebencianku dan menjalani kehidupan yang baik atau karena apa yang dia katakan. Singkatnya, sepertinya aku tidak begitu membencinya lagi.

Hari ini aku bahkan mengenakan pakaiannya.

Cindy berkata, "Baguslah kalau sudah memudar, ada baiknya memulai hidup baru."

Aku mengobrol dengan Cindy sebentar, sampai aku menguap dan Cindy berkata, "Hari ini kamu tidak punya waktu untuk belajar, jadi tidurlah."

Aku kembali ke kamar tidurku di seberang dan berbaring di ranjang, tetapi aku tidak langsung menutup mata. Aku terus-menerus memikirkan kata-kata Candra. Dia berkata dia tidak pernah tidur dengan Stella. Berapa persen kebenaran dari kata-kata ini?

Saat aku berteduh dari hujan di bawah atap bersamanya, aku memikirkan banyak hal yang telah kita lalui bersama. Kenangan itu terukir di lubuk hatiku yang terdalam.

Meskipun aku sangat mengantuk, aku masih berguling-guling untuk waktu yang lama dan baru tertidur.

Di pagi hari, aku keluar dari rumah dengan hidung tersumbat dan sakit kepala. Aku melihat mobil Gabriel diparkir di lantai bawah, sementara pria itu bersandar di mobil sambil melihat sekeliling dengan santai.

Aku berjalan mendekat dan bertanya dengan curiga, "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Menunggumu. Terakhir kali, aku bilang mentraktirmu, tapi aku tidak melakukannya. Malam ini, aku ingin mengundangmu ke rumahku. Gracia terus menantikan kedatanganmu," kata Gabriel sambil membuka pintu mobil.