Aku berkata, "Cindy, seumur hidup aku tidak akan pernah menikah lagi."
Cindy berkata, "Jangan karena satu kali bertemu pria bajingan. Kamu selamanya menjadi takut. Tidak semua pria seperti Candra. Selain itu, kamu harus memberi dirimu kesempatan."
Aku terdiam, di dalam hatiku, aku menolak masalah tentang menikah lagi.
Cindy berkata, "Aku sudah membuat janji untukmu. Tidak peduli apa pun yang terjadi, besok malam kamu harus pergi menemuinya. Pria ini benar-benar baik."
Aku tidak ingin mempersulit Cindy. Keesokan harinya, aku menyelesaikan pekerjaan lebih awal, mengenakan pakaian bagus dan pergi ke kafe yang disebutkan Cindy.
Di sebelah kursi dekat jendela di kafe, duduk seorang pria berusia tiga puluhan tahun dengan wajah tegas. Wajahnya tidak seperti Candra yang tampan dan lembut, juga tidak tampan tiada tara seperti Tuan Muda Kelima, pria ini memiliki wajah dan sosok yang kasar. Mungkin karena dia hidup di kamp militer sepanjang tahun. Dia tidak memiliki kerapian layaknya pria kantoran. Sebaliknya, terlihat lebih murah hati dan santai.
Dia mengenakan kemeja hitam yang sedikit longgar dan celana jeans hitam. Saat dia melihat aku mendekat, wajahnya tersenyum dan ada garis tipis di sudut matanya.
"Apakah kamu Clara? Aku Hendra Gunawan." Pria itu berdiri.
"Ya, halo." Aku tersenyum pada Hendra dan kami berdua duduk.
Pada saat ini, aku tidak tahu ada orang lain yang masuk ke kedai kopi. Dia berdiri tidak jauh, lalu menatapku diam-diam dan berjalan naik ke lantai atas.
Aku mengobrol dengan Hendra sebentar, aku membicarakan tentang pekerjaanku saat ini. Dia juga berbicara tentang banyak hal di ketentaraan. Saat aku melihatnya berbicara tentang kehidupannya di militer, matanya samar-samar terlihat berbinar. Hal itu jelas membuktikan jika dia suka dengan kehidupan seperti itu.
"Nona, suami Anda sedang menunggu Anda di ruang VIP lantai atas."
Pada saat ini, seorang pelayan kafe datang dan kata-katanya itu membuatku membatu di sana. Sebelum aku bereaksi, mata ragu Hendra telah mendarat di wajahku, "Kamu tidak bercerai?"
"Tidak, kamu sudah salah paham. Aku sudah lama bercerai. Aku tidak punya suami. Jangan dengarkan omong kosong pria ini."
Reaksi pertamaku adalah seseorang sedang mengolok-olokku. Meskipun aku tidak memiliki ide untuk berkencan dengannya dengan pria bernama Hendra ini, sudah sepatutnya aku menjelaskan hal ini padanya. Setelah mendengarkan penjelasanku, Hendra jelas terlihat lega.
Namun pelayan itu berkata lagi, "Nona, kata pria itu ...." Pelayan itu memandangku dengan ragu, tapi dia tetap berkata, "Dia berkata Nona pernah melakukan aborsi, jadi jagalah kesehatanmu."
Telingaku berdengung, api seakan memancar keluar dari tubuhku. Siapa lagi yang akan menghinaku seperti ini, selain Candra.
Aku murka dan tidak memedulikan Hendra yang sedang duduk di seberangku. Aku naik ke atas dengan marah. Aku mendorong pintu ruang VIP dan berjalan ke arah pria yang duduk di meja sambil menyesap kopi dengan perlahan.
Aku merampas kopi yang sudah dia minum hingga setengah dan menyiram ke wajahnya.
"Candra, dasar bajingan! Berengsek!"
"Yah, apa lagi?"
Candra tidak marah, juga tidak panik ataupun kesal. Dia mengambil serbet putih di atas meja dengan jari-jarinya yang ramping dan bersih, lalu menyeka wajahnya beberapa kali dengan ringan.
Aku sangat marah sampai dadaku terasa panas dan mata juga sangat panas, tapi aku benar-benar tidak dapat menemukan kata-kata lain untuk memarahinya. Bagaimanapun juga, aku bukan wanita yang bisa mengucapkan banyak kata-kata kotor. Di benakku tidak menyimpan begitu banyak kata-kata makian.
Aku menunjuknya dengan tubuhku yang gemetar karena marah, "Candra, jangan biarkan aku melihatmu lagi atau aku mungkin akan menusukmu sampai mati!"
Aku telah melepaskan dendam di hatiku dan berencana untuk menjalani sisa hidupku dengan damai, tapi Candra malah datang memprovokasiku lagi. Hal ini tidak diragukan lagi telah membangkitkan kebencianku padanya.
Candra masih terlihat tenang, dia melemparkan serbet kotor di tangannya dan berkata dengan pelan, "Apa kamu lupa dengan ucapanku? Seumur hidup, kamu hanya bisa menjadi wanitaku. Selain itu, kamu menggodaku seperti itu di hari ulang tahun pernikahanku. Menurutmu ...." Dia menghampiriku dan mengangkat daguku dengan ujung jarinya yang ramping, "Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu dengan baik?"
Tiba-tiba, dia menarik kerahku dan melemparku ke sofa. Dia mendekat dan memegang lenganku yang hendak menamparnya, "Katakan, apakah anak itu masih hidup?"
Saat ini, aku dikejutkan dengan auranya, tapi aku tidak akan mengatakan padanya kalau aku tidak menggugurkan anak itu.
"Sudah tidak ada, sudah aku gugurkan dari dulu!"
Aku menggigit bibirku. Aku tidak akan pernah memberitahunya bahwa anak itu masih hidup dan sangat mirip dengannya.
Mata Candra dipenuhi dengan kemarahan, "Yuwita, jangan sampai aku tahu, kamu menyembunyikan sesuatu dariku!"
Candra bangkit, lalu mengangkat tangannya untuk merapikan pakaiannya. Penampilannya kembali ramah seperti dia yang biasanya. Aku segera melompat dari sofa dan berteriak padanya, "Jangan panggil aku Yuwita lagi, semua hal yang berhubungan denganmu membuatku muak!"
Selain putraku.
Pria ini selalu dapat dengan mudahnya membuatku murka. Aku menunjuknya dengan marah, "Candra, jangan memprovokasiku lagi. Kalau tidak, aku benar-benar tidak dapat menjamin kalau aku tidak akan melakukan hal yang akan mengancam nyawamu."
Setelah aku selesai berbicara, aku mengabaikan Candra dan meninggalkan ruang VIP dengan marah. Namun, saat aku masih dalam keadaan marah dan berjalan ke lantai pertama kafe, aku melihat kursi tempat Hendra duduk sudah kosong.
Seorang pelayan datang ke arahku dan berkata, "Nona, pria itu memintaku menyampaikan padaku dia sudah membayar tagihannya."
Aku menarik napas dalam-dalam dan berpikir, lupakan saja, lagi pula aku tidak berpikir untuk mencari pacar.
Akan tetapi, begitu aku meninggalkan kafe, aku berubah pikiran. Tiba-tiba aku tertarik pada pria bernama Hendra ini dan aku juga berencana untuk memulai hidup baru, jadi kenapa aku tidak coba menjalin hubungan dengannya?
Jadi, aku menelepon Cindy dan memintanya untuk memberiku nomor telepon Hendra. Setelah kembali ke toko, aku mengirim pesan ke Hendra, 'Maaf, pria itu adalah mantan suamiku, dia selalu mencoba untuk mengacaukan hidupku. Tapi percayalah, sejak tiga tahun lalu, aku sudah tidak memiliki hubungan dengannya lagi. Aku juga tidak pernah melakukan aborsi.'
Saat aku sedang menyiapkan bahan untuk besok, Hendra membalas pesanku, "Besok, pergi jalan-jalan di tepi sungai denganku, ya."
Aku pikir, Hendra pasti memiliki perasaan padaku. Sedangkan aku, setelah diganggu oleh Candra, aku tiba-tiba memiliki ide untuk menjalin hubungan dengan Hendra.
Jadi aku dengan senang hati menjawab, 'Oke.'
Malam berikutnya, aku menutup tokoku lebih awal dan naik taksi ke tepi sungai. Hendra berdiri di jembatan di tepi sungai sambil menatap awan dan langit sore.
Aku berjalan mendekat dan memanggilnya Pak Hendra.
Hendra berbalik, matahari terbenam terpantul di wajahnya yang sedikit kasar, sehingga penampilannya itu terlihat sedikit lembut.
"Panggil saja aku Kak Hendra."
"Oh, Kak Hendra," panggilku tanpa sungkan.
Hendra tersenyum dan kami berdua berjalan bersama di sepanjang jembatan itu.
Aku memberitahukannya, aku sudah menikah, tapi suamiku mengkhianati pernikahan kami. Aku pernah di penjara dan memiliki seorang anak. Jika dia bisa menerima pengalamanku ini, maka aku juga tidak menolak untuk menjalin hubungan dengannya.
Hendra menatapku kosong, tapi dia menganggukkan kepalanya, "Aku sudah mendengarnya, Cindy pernah memberitahuku."
Aku tercengang oleh kata-katanya, "Apalagi yang kamu tahu?"
Hendra menggelengkan kepalanya, "Hanya itu saja. Tapi kamu tidak perlu merasa terbebani. Aku belum pernah menikah, tapi pernah hidup bersama mantanku. Karena aku adalah seorang tentara, kami jarang bisa menghabiskan waktu bersama dan lebih banyak berpisah. Dia tidak tahan, jadi dia memilih putus denganku."
"Selain tidak pernah dipenjara, kita berdua memiliki pengalaman hidup yang sama."
Hendra tersenyum, kata-katanya membuatku melepaskan beban di hatiku.
Pada saat ini, seseorang berjalan mendekat dan berteriak kepada Hendra, "Sore Ditjen Hendra." Hendra mengangguk kepada orang itu dan menyapanya.
Aku memandang pria itu dengan heran, "Kamu Ditjen?"
Cindy berkata dia bekerja di kantor pajak, aku pikir dia hanya seorang karyawan biasa.
Hendra tersenyum, "Masalah ini tidak mempengaruhi hubungan pertemanan kita, 'kan?"
Aku menggelengkan kepalaku, tapi hatiku merasa sedikit tidak nyaman.
Setelah kembali ke apartemen, aku berkata kepada Cindy dengan ekspresi masam, "Kenapa kamu tidak memberitahuku dia adalah seorang Ditjen? Sekarang aku benar-benar canggung."
Cindy tersenyum dan berkata, "Memangnya kenapa kalau dia seorang Ditjen? Ditjen juga adalah seorang manusia biasa. Selain itu, dia yang memintaku untuk memperkenalkanmu padanya."
"Apa?"
Aku terkejut, aku tidak kenal dengan Hendra, dari mana dia pernah bertemu denganku?
Cindy tersenyum dan berkata, "Dia melihat postinganmu di Internet dan berkata kalau dia mengagumi bakatmu. Dia tahu kita berteman, jadi dia memintaku untuk memperkenalkanmu padanya."
Aku merasa malu.
Dalam beberapa hari berikutnya, Hendra dan aku tidak bertemu lagi. Aku sibuk membuat pesanan pelanggan dan Hendra juga sibuk dengan pekerjaannya. Hingga empat hari kemudian, dia meneleponku, "Apa kamu mau makan malam bersamaku malam ini? "
Aku menjawab, "Oke."
Hubungan kami berdua seperti sudah sangat akrab. Meskipun kami baru bertemu dua kali, kami seakan sudah lama saling kenal. Aku merasa dia sangat ramah seperti seorang kakak. Jadi, aku sama sekali tidak menolak untuk bersamanya.
Di malam hari, kami pergi ke restoran asia. Restoran itu bukan termasuk restoran kelas atas, tapi makanannya sangat enak.
Di luar pintu restoran, aku melihat seorang pria berjalan mendekat. Dia mengulurkan tangannya, lalu meraih pergelangan tanganku dan menarikku, "Baru berapa lama kita berpisah, kamu sudah menggoda pria lain."
Tuan Muda Kelima menarikku mendekat, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku dan menatap Hendra dengan tatapan sinis, "Ditjen Hendra, apakah kamu sedang berebut wanita denganku?"
Pelipis Hendra berdenyut, dia menatapku dan Tuan Muda Kelima dengan sepasang mata yang hangat, tapi terlihat sedikit kesal. Dapat dilihat jika dia sedang menahan emosi di hatinya, tapi wajahnya masih terlihat sedikit kesal dan berkata pada Tuan Muda Kelima, "Apa maksud ucapan Tuan Muda Kelima? Aku tidak mengerti."
Tuan Muda Kelima mendengus dan mengangkat alisnya, "Aku bilang, dia adalah wanitaku. Kamu sudah merebut ayahku dan jangan datang merebut wanitaku," cibir Tuan Muda Kelima dengan wajah cemberut, lalu dia menarikku pergi. Aku tidak tahu apa yang dia maksud dengan kata-kata merebut ayahnya. Akan tetapi, aku bukan wanitanya.
Aku mencoba melepaskan cengkeramannya dengan marah, "Apa yang kamu lakukan? Siapa wanitamu? Lepaskan!"
"Tidak mau!"
Tuan Muda Kelima sangat mendominasi. Kemudian, dia menoleh ke arah Hendra dan berkata, "Apakah kamu tahu siapa dia? Wanita dalam foto yang pergi denganku ke hotel."
Tuan Muda Kelima mendengus. Saat berikutnya, dia meraih tanganku dan berjalan menuju mobilnya yang diparkir tidak jauh.