Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 140 - ##Bab 139 Dari Awal, Hubungan Kita Memang Tidak Nyata

Chapter 140 - ##Bab 139 Dari Awal, Hubungan Kita Memang Tidak Nyata

Febi menatap langit yang gelap. Sudut matanya tiba-tiba menjadi dingin dan cairan asin menetes ke pipinya hingga lukanya terasa sakit.

Febi mendengus. Dia mencoba untuk menghilangkan perasaan sedih di hatinya, tapi dia malah merasa dadanya semakin berat.

"Nona Febi!"

Suara Valentia tiba-tiba terdengar di belakangnya.

Febi membeku sesaat, tanpa sadar dia menyeka air mata dari sudut matanya. Dia menarik napas dalam-dalam, menahan kesedihan dan isakannya.

Febi berbalik dan tersenyum.

"Nona Valentia."

Valentia memandang Febi sejenak. Akhirnya, tatapan Valentia mendarat di pipi Febi, matanya yang indah sedikit menyipit, "Sangat bengkak, mau diobati tidak? Di depan ada klinik rawat jalan. Aku akan menemanimu ke sana."

"Tidak perlu," tolak Febi sambil menggelengkan kepalanya dengan wajah tersenyum, "Aku melewati daerah itu, aku pergi sendiri saja."

Bagaimanapun, Febi dan Valentia adalah orang asing. Jadi, Febi akan merasa agak tidak nyaman ketika mereka berdua terlalu dekat.

Valentia tidak bersikeras. Dia hanya mengangguk dan berkata, "Sebenarnya, alasan kenapa bibi datang ke sini hari karena aku. Awalnya aku dan bibi ingin memberi Julian kejutan, sama seperti kami menghabiskan waktu bersamanya setiap hari ulang tahunnya dulu ...."

Valentia tampak tenggelam dalam kenangannya dan tersenyum, "Ketika bibi masih sehat, kami selalu membuat kue ulang tahun untuk Julian. Ketika Julian meniup lilin, dia selalu memelukku dan merangkul bibi menggunakan tangan yang lain, lalu berkata dia adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Dia sangat mencintai ibunya ...."

Kata-kata Valentia terdengar begitu santai, seolah-olah keluar dengan begitu saja. Namun, Febi bisa mendengar ada sedikit kesengajaan di dalam nadanya.

Febi menatap Valentia dalam diam dan tidak mengatakan apa-apa.

Valentia tampaknya baru menyadarinya, "Maaf, aku seharusnya tidak menceritakan masa lalu padamu. Meskipun aku dan Julian sudah berakhir, aku tidak bisa tidak mengingat beberapa peristiwa di masa lalu. Kamu jangan terlalu mengambil hati."

Febi juga menggelengkan kepalanya dengan ringan, senyum di wajahnya terlihat tidak terpengaruh sedikit pun oleh perkataan Valentia, "Aku belum pernah mendengar Julian menyebut Nona Valentia. Jadi, sekarang setelah aku mendengar ini, aku pikir itu cukup menarik. Aku bisa mengenal lebih Julian."

Sangat jelas Valentia tidak menyangka Febi bisa menerimanya dengan begitu tenang. Wajah Valentia sedikit berubah.

Febi memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi, hingga dia tidak merasa panik, tergesa-gesa dan tidak sabar!

Sebaliknya, ucapan Valentia yang tidak sabar barusan tampak agak berlebihan dan konyol.

Wajah Valentia menjadi jelek. Namun saat berikutnya, ekspresi itu tergantikan oleh senyum, "Kalau aku tahu hari ini bibi dan aku datang akan menyebabkan konsekuensi seperti itu, kami pasti tidak akan datang. Tapi, Nona Febi, aku masih ingin memberitahumu ...."

"Yah, katakan." Febi masih tenang.

Namun, hati Febi sudah tidak bisa bersikap tenang.

Sebagai intuisi seorang wanita, samar-samar dia merasa wanita ini tidak sesederhana kelihatannya.

"Aku pikir kamu dapat melihat sampai sekarang, perasaanku terhadap Julian tidak pernah berubah. Aku sama sepertimu, berharap Julian bahagia."

Febi terdiam. Dia tidak mengerti mengapa dia Valentia berbicara seperti ini padanya.

Ekspresi Valentia menjadi kaku, matanya sedikit berubah dan menjadi sedikit tajam, "Kamu dan Julian tidak akan bahagia bersama."

Tangan Febi yang tergantung di sisinya tanpa sadar mengencang. Febi hanya terus menatap Valentia, "Kenapa Nona Valentia mengatakan ini?"

"Kamu adalah wanita yang pernah gagal dalam pernikahan. Kamu memiliki pengalaman percintaan yang lebih daripada aku. Aku pikir kamu seharusnya mengerti pernikahan bukan tentang kamu dan Julian. Ini tentang seluruh keluarga!" ucap Valentia dengan perlahan. Saat dia menyebutkan ini, terdengar kepercayaan yang lebih tinggi di dalam nada suaranya, "Semua orang dapat melihat Nyonya Besar sangat menyukaiku dan ingin menjadikanku menantu Keluarga Ricardo. Sementara Bibi Aulia, memang benar dia sangat mencintai Julian. Tapi, aku percaya kalau Julian harus memilih antara aku dan kamu, menurutmu siapa yang akan dia pilih?"

Wajah Febi menjadi kaku.

Ternyata, ini adalah tujuan Valentia mengejar Febi. Dia ingin menyuruh Febi mundur?

"Penampilan Bibi Aulia hari ini adalah contoh yang terbaik. Dia membencimu lebih dari yang bisa kita bayangkan. Kamu juga bisa melihat betapa Julian peduli pada ibunya, jadi ...." Valentia tersenyum tipis dan memandang Febi, "Menurutmu, antara kamu dan ibunya, siapa yang akan Julian pilih?"

Pertanyaan ini sama sekali bukan pertanyaan perlu dipertimbangkan lagi.

Febi masih terdiam. Valentia tersenyum bahagia, "Nona Febi adalah orang yang cerdas. Kamu seharusnya mengerti apa yang aku katakan. Baiklah, aku akan menemui Bibi Aulia dulu, sampai jumpa."

Ketika dia menyelesaikan kata-katanya, Valentia berbalik untuk pergi.

Melihat bayangan itu, Febi menarik napas dalam-dalam dan akhirnya membuka mulutnya perlahan, "Mungkin apa yang kamu katakan masuk akal. Tapi, aku tidak akan berhenti begitu saja. Jadi ...."

Febi berhenti sejenak.

Valentia menghentikan langkahnya, berbalik. Dia melihat Febi berdiri di sana dengan ekspresi tegas.

"Kelak, tolong beri aku lebih banyak saran! Aku pikir kita akan memiliki banyak kesempatan untuk bertemu."

Jadi ....

Kata-kata ini bukankah provokasi secara terang-terangan?

Wajah Valentia menjadi dingin, tapi Febi seakan tidak sadar. Dia hanya menghentikan taksi dan naik ke dalam mobil.

...

Di pertengahan jalan.

Saat melewati apotek, Febi membeli salep bengkak dan kompres es untuk dikompres di wajahnya. Namun, sesampainya di rumah, wajahnya masih tidak membaik.

Febi benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepada ibunya dan Ferdi.

Febi mengambil napas dalam-dalam, lalu dia memutar kunci untuk membuka pintu. Tanpa sadar Febi teringat adegan histeris yang baru saja dialami Aulia.

Kemudian, reaksi ibunya melihat punggung Aulia di rumah sakit hari itu juga melintas di benak Febi.

Febi ingat ayah mertuanya juga mengatakan dia semakin mirip dengan ibunya ....

Mungkinkah orang yang sangat dibenci Aulia bukan orang lain, tapi ....

Tanpa sadar Febi bergidik dan menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin berpikir lebih banyak. Lalu, dia memutar kunci untuk membuka pintu.

"Karena kamu sudah akan menikah, kenapa kamu masih mencari Febi?" Saat pintu didorong terbuka sedikit, Febi sudah mendengar suara ibunya datang dari dalam.

"Bu ...."

"Ubahlah panggilanmu," sela Meisa saat Nando baru membuka mulutnya. Meisa berkata dengan nada serius, "Sekarang kalian sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi. Aku tidak bisa menerima panggilan "Ibu" darimu."

Sangat jelas, karena berbagai keluhan yang diderita putrinya dalam Keluarga Dinata, Meisa benar-benar tidak bisa bersikap baik kepada Nando.

"Bu, aku tidak bermaksud lain, aku hanya ... ingin berbicara dengan Febi."

"Kakakku akan kembali nanti malam, sebaiknya kamu kembali lagi lain hari." Orang yang berbicara adalah Ferdi. Dibandingkan dengan sikap ibunya, nada suara Febi acuh tak acuh, hingga Nando tidak bisa mendengar emosi Ferdi.

"Benarkah?" Nada suara Nando jelas kecewa, tapi pada saat berikutnya, dia berkata, "Aku akan menunggunya di luar."

Malam ini, Febi benar-benar tidak berminat untuk mengobrol dengan siapa pun. Sekarang dia hanya ingin mandi dan tidur nyenyak.

Setelah tidur, mungkin ....

Semua yang terjadi hari ini bisa dilupakan.

Namun ....

Sekarang, tampaknya Febi sudah tidak bisa menghindar.

"Apakah kamu mencariku?" tanya Febi sambil membuka pintu. Baru saat itulah, Febi menyapa Meisa yang sedang duduk di sofa, "Bu."

"Dia bilang ada hal yang perlu dibicarakan denganmu." Meisa hanya menggunakan dagunya untuk menunjuk Nando dengan acuh tak acuh.

Febi sengaja menyembunyikan wajah kirinya, Meisa dan Ferdi juga tidak melihat ada yang salah dengannya.

Febi dengan santai meletakkan tasnya di pintu masuk, lalu melirik Nando dan berkata, "Ayo bicarakan di luar."

"Oke." Nando berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal pada Meisa dan Ferdi. Kemudian, dia dan Febi naik lift ke lantai bawah.

...

Keduanya duduk di taman kompleks.

Pada jam ini, hanya ada sedikit orang yang berjalan-jalan di kompleks, hingga suasana menjadi sangat sunyi.

Untungnya, cahaya lampu jalan sedikit redup, jadi Nando tidak bisa melihat dengan jelas penampilan Febi yang menyedihkan.

"Kenapa kamu datang ke sini?" tanya Febi. "Ayah memberitahumu alamatnya?"

"Yah."

"Datang selarut ini, ada apa?"

Nando tidak segera menjawab. Dia hanya bersandar di bangku taman dan menatap ke langit. Pada saat ini, bahkan tidak ada satu bintang pun di langit, hanya terlihat kabut yang tiada akhir.

Nando menatap kabut itu hingga membuatnya tampak sangat kesepian.

"Febi ..." panggil Nando dengan lembut, tapi wajahnya terus menatap ke langit.

"Um?"

"Vonny ... mulai hari ini, dia akan pindah ke rumah kita."

Febi ingin mengoreksi kata-katanya. Rumah kita? Dari mana itu milik mereka? Febi bukan lagi bagian dari Keluarga Dinata.

Namun, mungkin karena nada sedih Nando, Febi tidak mengatakannya. Dia hanya berkata dengan tulus, "Ya. Seharusnya perutnya sudah semakin membesar. Nyonya Besar tidak menerimanya, hanya kamu tempat berlindung yang aman untuknya."

"Ya, aku adalah tempat dia berlindung." Nando menghela napas. Dia terlihat lelah hingga nada suaranya melambat, "Jadi ... kalau aku juga mengkhianatinya. Aku benar-benar terkutuk, bukan?"

Nando mengajukan pertanyaan yang terdengar seperti anak yang kebingungan.

"Itu urusan kalian, aku tidak akan berkomentar." Febi memilih untuk tidak ikut campur. Sekarang, setelah kehidupannya berantakan, bagaimana mungkin Febi bisa mengatur orang lain?

Nando tertawa malu. Dia memalingkan wajahnya untuk menatap Febi, "Kamu benar-benar bisa memutuskan hubungan kita dengan bersih."

"Bukannya aku memutuskan hubungan. Tapi dari awal hubungan kita memang tidak nyata."

Mata Nando dipenuhi dengan penyesalan dan rasa sakit yang mendalam, "Sayangnya, tidak ada obat penyesalan di dunia ini!"

Jika ada, dia lebih memilih bangkrut agar bisa mendapatkannya. Hal itu akan lebih baik daripada hatinya yang terasa kosong dan lelah.

"Kamu datang ke sini selarut ini, hanya ingin memberitahuku ini?" Febi tidak ingin melanjutkan topik ini.

Namun, Nando mengulurkan tangan, meraih tangan Febi dan memegangnya dengan erat, "Mulai malam ini, ranjang kita akan menjadi ranjang aku dan dia. Febi, apakah kamu tidak peduli sama sekali?"

"..." Febi meronta, "Lepaskan aku."

Nando memegang Febi lebih erat dan menatapnya, "Sekarang asalkan kamu mengatakan kamu tidak bersedia, aku tidak akan melakukannya! Aku bahkan tidak akan menikah. Febi, aku tidak ingin menikah! Aku tidak bisa berbohong untuk kedua kalinya!"

Jangankan mengatakan Nando tidak bisa bersama Vonny selama sisa hidupnya. Sekarang bersama saja sudah merupakan siksaan bagi Nando.

"Nando, kamu laki-laki, kamu tidak bisa seenaknya!" Febi tidak tahan lagi. Dia menarik tangannya kembali tiba-tiba, berdiri dan menatap Nando dengan dingin, "Tolong perlihatkan tanggung jawabmu sebagai seorang laki-laki! Selain itu, hidupku sudah cukup berantakan sekarang. Aku tidak ingin berhubungan dengan kamu yang sudah akan menikah. Jadi, kelak kalau tidak ada hal mendesak, tolong jangan muncul di hadapanku! Aku benar-benar tidak punya niat untuk berbasa-basi denganmu!"

Setelah Febi selesai berbicara, dia berbalik untuk kembali.

Namun, pergelangan tangannya tiba-tiba digenggam.

Febi berjuang untuk menepisnya, tapi Nando sudah berdiri. Pada saat berikutnya, lengan Nando yang panjang terulur dan merangkul pinggang Febi yang ramping. Tangan Nando yang lain memegang wajah Febi.

"Febi, tidak peduli seberapa besar kamu membenciku, menyalahkanku. Aku tidak tahan lagi!" Nando menarik napas berat sambil menggosokkan jarinya dengan rakus ke wajah Febi. Mata Nando yang memandang Febi perlahan memerah, "Aku ingin menciummu ... setiap hari sejak aku berpisah denganmu, aku ingin datang mencarimu ...."

Setelah selesai berbicara, Nando menundukkan kepalanya dan hendak mencium Febi.

Namun ....

Sebelum bibir Nando mendarat, Febi tiba-tiba menangis.

Nando terkejut dan menatap kosong ke air matanya, "Febi?"

"Singkirkan tanganmu."

"Kenapa?"

"Kamu menyakitiku!" isak Febi sambil menepis tangan Nando dengan marah. Febi menutupi pipi kirinya dengan tidak nyaman. Dia menyentuh pipinya dengan ragu, hingga menyebabkan dia terkesiap kesakitan.

Pada saat inilah Nando akhirnya menyadari wajah Febi sedikit tidak normal.

"Apa yang terjadi?"

Nando hendak mengangkat tangannya lagi.

"Jangan sentuh aku." Febi menghindar dengan waspada.

Namun, Nando mengabaikannya. Dia mencubit dagu Febi dengan dua jarinya dan menarik wajahnya ke arah lampu jalan. Cahaya lampu jalan sedikit redup, jadi Nando tidak bisa melihat dengan jelas. Jadi, dia mengeluarkan ponselnya.

"Apa yang kamu lakukan?" Febi bingung dengan apa yang Nando lakukan.

"Diam!" Nando mengangkat ponsel dan menyorotkannya ke wajah kiri Febi. Febi menoleh dan menolak untuk bekerja sama. Nando meletakkan ponsel ke tangan Febi dan membiarkannya memegang ponsel itu.

Nando mengangkat wajah Febi dengan satu tangannya dan tangan lainnya mendorong rambut Febi ke belakang.

Melihat bekas luka yang mengerikan, jantung Nando tersentak dan wajahnya tiba-tiba menjadi masam.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Nando dengan dingin.

"Kamu tidak perlu mengurus masalah ini." Febi menguraikan rambutnya.

"Kamu dipukul hingga seperti ini. Bisakah aku mengabaikannya?" Nando benar-benar sangat panik.

Melihat reaksinya, Febi mengerucutkan bibirnya, "Bukannya aku belum pernah ditampar sebelumnya. Selain itu, tamparanmu tidak lebih ringan dari ini."

Satu kalimat Febi langsung membuat Nando kehilangan kata-kata. Dia mengertakkan gigi dan memelototi Febi, "Apakah kamu ingin membahas masa lalu denganku sekarang?"

"Kamu salah paham. Aku lelah sekarang, aku tidak ingin mengatakan sepatah kata pun. Kalau kamu benar-benar kasihan padaku, aku berharap kamu membiarkanku kembali untuk beristirahat."

Nando meliriknya, "Tunggu aku di sini sebentar, jangan pergi ke mana pun!"

Tanpa menunggu Febi mengatakan apa-apa, Nando dengan cepat berjalan menuju tempat parkir.

"Hei!" Febi mengejarnya, tapi Nando sudah masuk ke mobil dan menyalakan mobil, "Berdiri di sana, jangan bergerak!"

"Ponselmu!" teriak Febi dengan keras, tapi satu-satunya yang terlihat oleh Febi adalah lampu belakang yang bersinar.

...

"Apa yang ingin dia lakukan?" Febi sedikit kesal.

Febi benar-benar ingin pergi begitu saja, tapi dia sedang memegang ponsel Nando. Sekarang, Febi naik ke atas, sebentar lagi dia harus membuka pintu untuknya.

Febi duduk kembali di bangku dan meletakkan ponsel Nando di samping.

Setelah duduk kurang dari satu menit, telepon tiba-tiba berdering.

Febi melihat dengan penasaran, itu adalah serangkaian nomor yang tidak dikenalnya.

Tentu saja Febi tidak menjawabnya dan membiarkan ponsel itu berdering. Namun, ponsel terus berdering seolah-olah ada sesuatu yang mendesak.

Febi meraih ponsel dan hendak menjawabnya, tapi dia menggertakkan giginya dan meletakkan kembali ponsel itu. Lagi pula, bahkan jika itu mendesak, juga tidak ada hubungannya dengan dia, bukan?

Namun ....

Panggilan telepon itu tidak pernah berhenti. Setelah terputus, telepon kembali berdering lagi!

Febi tidak bisa menahan diri untuk melirik layar lagi. Dia menyadari panggilan itu bukan lagi nomor asing tadi.

Panggilan itu tergantikan oleh telepon ayah mertuanya.

Ayah mertuanya menelepon dengan panik selarut ini, apakah ada masalah?

Awalnya, Febi tidak ingin memedulikannya. Namun, setelah panggilan terputus, ponsel kembali berdering.

Mungkinkah penyakit jantung Samuel kembali kambuh? Atau ada hal penting lainnya?

Memikirkan hal ini, hati Febi menegang. Dia tidak peduli tentang hal lain lagi dan segera menekan tombol jawab.

Saat dia hendak berbicara untuk menanyakan situasi. Namun, sebelum dia bisa berbicara, orang itu sudah berbicara terlebih dulu, "Kenapa saat aku menggunakan ponselku untuk meneleponmu, kamu tidak menjawab? Tapi, kamu menjawab panggilan Ayah?"

Pertanyaan yang terang-terangan dan tidak sopan.

Bahkan terdengar angkuh.

Febi tertegun sejenak.

Orang itu bukan Samuel, melainkan adalah Vonny!

Selain itu ....

Dia telah memanggil Samuel sebagai "ayah". Febi tiba-tiba menyadari bahwa kelak dirinya mungkin benar-benar harus mengubah panggilannya, panggilan "ayah" itu bukan lagi miliknya.

Sebelum menunggu jawaban, Vonny bertanya lagi dengan paksa, "Kenapa kamu tidak berbicara?"

Di sini, Febi tidak ingin mengatakan apa-apa. Dia tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi mereka. Awalnya, Febi ingin menutup telepon begitu saja, tapi ....

Sebelum dia bisa menekan tombol untuk memutuskan panggilan, Vonny tiba-tiba mengangkat suaranya, suaranya itu menjadi tajam dan nyaring.

"Febi, apakah itu kamu?"

"..." Febi tercengang.

"Ternyata benar kamu! Febi, kenapa kamu bisa begitu jahat? Kamu sudah bercerai dengan Nando. Nando akan menikah denganku. Tolong jangan merayunya lagi, oke? Tolong lepaskan aku!"

Febi benar-benar ingin tertawa.

Mengapa kata-kata ini terdengar sangat aneh?

"Kamu jangan berpura-pura mati! Jangan berpikir kamu tidak mengatakan apa-apa, aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan! Nenek tidak mengizinkanmu masuk ke Keluarga Ricardo. Sekarang kamu tidak bisa mendapatkan Julian, kamu ingin kembali untuk menghancurkan hubunganku dan Nando. Aku beri tahu padamu, aku tidak akan membiarkannya! Aku punya anak. Selama ada anak ini, dia akan terikat padaku selama sisa hidupnya!"

Vonny melemparkan serangkaian kata dengan suara rendah yang membuat Febi sakit kepala.

Febi benar-benar merasa kasihan dengan Nando.

Tidak heran sekarang Nando terlihat sangat lelah dan bingung.

Apakah Vonny ini adalah Vonny yang sama dari sebelumnya?

Mungkin ....

Saat kita tidak bisa mendapatkannya apa yang kita inginkan, kita benar-benar bisa menjadi gila.

"Karena kamu sangat ingin mengikatnya, ingatlah untuk mengikatnya lebih erat. Setidaknya, ikat hingga dia tidak muncul dihadapanku lagi!" Febi akhirnya tidak bisa menahan diri dan membuka mulutnya.

"Kamu .... Apa maksudmu?"

"Artinya sangat jelas. Vonny, dalam kamusku, tidak ada kata "berpaling kembali". Kamu tidak perlu terlalu waspada terhadapku! Selain itu, aku akan mengembalikan ponsel ke Nando sebentar lagi. Kalau kamu memiliki sesuatu untuk dikatakan, kamu dapat berbicara dengannya secara langsung."

Setelah berbicara, Febi menutup telepon tanpa menunggu Vonny mengatakan apa pun.

Febi mengeratkan ponsel di tangannya, dia memukul telapak tangannya dengan marah. Bagaimana dia bisa begitu tidak tahan? Kenapa dia menjawab telepon? Akibatnya, Vonny memarahinya lagi.

Ketika Febi merasa kesal, dua cahaya yang terang mendekat ke arahnya.

Febi berdiri dengan wajah kaku dan berjalan menuju mobil dengan cepat. Dia berpikir untuk melemparkan ponsel ke mobil Nando, lalu pergi.

Namun ....

Saat Febi berjalan, dia menyadari mobil itu bukan Hummer yang baru saja dikendarai Nando. Lebih tepatnya ....