Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 138 - ##Bab 138 Terjadi Perselisihan, Sakit Hati Melihat Penderitaamu

Chapter 138 - ##Bab 138 Terjadi Perselisihan, Sakit Hati Melihat Penderitaamu

Dua orang yang saling berpelukan hendak berciuman, tapi pintu tiba-tiba didorong terbuka dari luar.

Febi dan Julian sama-sama tercengang.

Kemudian, terdengar suara canggung.

"Ini ...."

Valentia memandangi dua sosok di sofa, tanpa sadar tangannya yang memegang kue mengencang.

Aulia juga tercengang. Setelah beberapa saat, dia baru bisa berkata, "Sepertinya ... kamu datang di waktu yang tidak tepat. Valentia ... ayo pergi ...."

Aulia jelas telah menghancurkan rencana putranya!

"Bu!" Setelah sadar kembali, Julian menghentikan orang yang hendak pergi.

Julian tidak segera bangun, dia menatap wanita kecil yang tersipu malu. Dia merapikan rok Febi dengan tenang, lalu berdiri.

"Bu, kenapa kamu datang kemari?"

"Besok adalah hari ulang tahunmu, jadi aku secara khusus membawakan kue untuk dicicipi olehmu," jawab Aulia dengan matanya yang melirik ke sofa di belakang Julian. Dia hanya bisa melihat wajah Febi dari samping, hingga dia merasa kesal, "Kalau aku mengetahuinya lebih awal. Aku akan meneleponmu terlebih dulu."

Valentia melirik Febi dengan tenang dan meletakkan kue di atas meja rendah, "Kue ini dibuat sendiri oleh Bibi hingga beberapa jam. Cobalah."

"Orang yang ada di belakangmu sepertinya Nona Febi, 'kan?" kata Valentia dengan sengaja.

Julian tanpa sadar melirik ekspresi ibunya dan mengepalkan tangan yang tergantung di sisinya.

Jika sekarang ada lubang, Febi benar-benar ingin mengubur dirinya hidup-hidup.

Kali ini adalah pertama kalinya Febi bertemu dengan ibunya Julian, tapi dia malah terlihat begitu sembrono. Dia benar-benar ingin mati saja.

Febi merasa kesal, malu dan menyesal.

Febi berdiri dengan malu dan menyapa dengan suara rendah, "Bibi."

Aulia mendekat sambil tersenyum dengan wajah lembut, "Apakah kamu pacar Julian?"

Julian?

...

Tanpa sadar, Febi melirik pria di sampingnya, tapi dia melihat ekspresi Julian terlihat masam dan wajahnya menjadi sedingin es.

Julian berjalan ke depan dan menghalangi Aulia, "Bu, Ibu tidak enak badan, sudah waktunya tidur. Bagaimana kalau aku mengantarmu kembali dulu?"

"Ibu tidak serentan yang kamu pikirkan." Aulia secara alami tidak bisa melewatkan kesempatan untuk melihat menantunya.

Meskipun Nyonya Besar sangat menyukai Valentia dan berniat menjadikan Valentia sebagai menantunya. Namun menurut Aulia, apa yang disukai putranya adalah yang terbaik.

"Bibi tertarik pada Nona Febi?" tanya Valentia sambil tersenyum.

"Tentu saja. Sudahlah, jangan menghalangi Ibu. Aku mengerti kalian anak muda ingin melewati hari berduaan. Ibu sangat memahaminya, tapi Ibu sudah datang. Kamu harus membiarkan Ibu melihatnya dulu. Jangan tidak sopan." Aulia He menepuk tangan putranya, "Kamu ini benar-benar. Terakhir kali aku bertanya apakah kamu punya pacar, kamu tidak menjawab. Ibu pikir kamu benar-benar tidak mencari pacar!"

Febi yang berdiri di belakang Julian, tertegun sejenak ketika mendengar kata-kata Aulia. Dia merasa ada sesuatu yang tidak nyaman di hatinya.

Tanpa sadar Febi melirik punggung kekar di depannya. Untuk sementara waktu, dia tidak yakin apa yang Julian pikirkan.

Sekarang Julian berdiri di depannya, apa dia tidak ingin Febi bertemu dengan Aulia? Atau sebenarnya, Julian tidak bermaksud untuk memperkenalkan Febi kepada ibunya?

Perasaan Febi sedikit sedih dan kacau!

Sementara saat dia sedang berpikir yang tidak-tdiak, Aulia telah melewati Julian dan berhadapan dengan Febi.

"Ayo, angkat kepalamu, biarkan Bibi melihatmu dengan jelas." Aulia memegang tangan Febi.

Julian menahan napas, merasakan sedikit keberuntungan di hatinya.

Mungkin ibunya tidak begitu sensitif.

Julian pernah melihat foto Meisa di tempat ayahnya. Harus melihat dengan teliti baru dapat menyadari Febi agak mirip dengan Meisa.

Valentia di samping menyunggingkan sudut bibirnya, dia ingin melihat adegan menarik apa yang akan terjadi selanjutnya.

Hanya Febi yang mendongak dengan bingung dan ragu.

"Bibi," sapa Febi dengan sopan sambil tersenyum.

Namun ....

Saat Febi baru mengangkat kepalanya, senyum di wajah Aulia tiba-tiba membeku.

Aulia menatap mata Febi. Setelah terkejut, matanya perlahan menjadi tajam, seperti paku yang tajam yang tertancap langsung ke tubuh Febi yang akan menembus tubuhnya.

Wajah anggun itu perlahan berubah.

Wajah Aulia perlahan-lahan berkedut dan menjadi ganas ....

Febi bergidik tanpa sadar dan mengencangkan tangan yang tergantung di sisinya.

Febi sangat ketakutan sehingga dia mundur selangkah, tapi semuanya sudah terlambat!

Pada saat berikutnya, tiba-tiba Aulia menjambak rambut Febi.

"Kamu wanita yang tidak tahu malu! Pihak ketiga!" teriak Aulia tanpa peringatan, emosinya langsung membludak.

Pada saat ini, Aulia tidak memiliki kelembutan dan kebaikan barusan, teriakannya terdengar menakutkan. Bahkan Valentia yang berada di samping Aulia, menutup mulutnya karena terkejut dan mundur selangkah.

"Bu!" Seru Julian sambil meraih tangan ibunya, "Lepaskan! Ibu salah mengenal orang!"

Tatapan Aulia menjadi kosong, seolah-olah dia menjadi pribadi yang berbeda. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Tidak! Aku tidak akan salah mengenal orang!"

Aulia bukan saja tidak melepaskan Febi. Namun sebaliknya, dia memegangnya lebih erat, berharap dia bisa menarik segenggam rambut dari kepala Febi.

"Julian, lihat! Dia ... dialah yang membuat keluarga kita hancur. Dia juga tidak tahu malu melahirkan anak ayahmu, sehingga ayahmu tidak menginginkanmu!"

Febi sangat kesakitan sehingga air matanya mengalir keluar. Febi memegang rambutnya dengan menyedihkan, "Bibi salah mengenal orang!"

Apa yang terjadi?

"Bu, tenanglah! Jangan sakiti dia!" Julian menatap Febi dengan tatapan meminta maaf. Dia meraih pergelangan tangan ibunya dan tidak pernah melepaskannya, karena takut ibunya akan kehilangan kendali lagi dan melukai Febi.

"Bu, lihat dengan jelas. Dia bukan orang yang Ibu benci!"

Aulia menatapnya, seolah ingin membenarkan kata-kata putranya.

"Bu, lepaskan," bujuk Julian.

"Apakah benar bukan dia?" tanya Aulia dengan ragu.

"Yah, bukan," jawab Julian dengan sabar.

Tatapan Aulia yang kosong secara bertahap menjadi fokus. Tangannya perlahan terlepas dari rambut Febi.

Julian bertukar pandang dengan Febi, mereka berdua menghela napas lega. Namun, pada saat ini ....

"Plak!" Sebuah tamparan keras menampar langsung mendarat di wajah Febi.

Aulia tidak bersikap lembut sama sekali, ujung jarinya membuat beberapa bekas luka panjang di wajah Febi.

Ekspresi Julia yang baru saja membaik, sekarang telah menghilang. Matanya tertuju pada Febi, seolah-olah dia hendak menelannya, "Jangan berpikir kamu bersekongkol dengan putraku untuk membohongiku, aku sudah tidak mengenalimu lagi!"

Febi terhuyung-huyung oleh tamparan ini. Dia berpegangan pada sofa untuk menstabilkan tubuhnya dengan menyedihkan.

Febi membeku di sana untuk waktu yang lama, satu sisi wajahnya masih mati rasa.

Tercium bau darah di tenggorokan Febi. Sangat jelas deretan gigi kirinya mengendur dan mengeluarkan darah karena tamparan itu.

Di kulit Febi yang seputih salju, tanda darah itu terlihat mengerikan.

"Febi!" Julian tidak pernah menyangka ibunya akan melakukan ini. Dia melepaskan Ibunya dan memapah Febi dengan sedih.

Setelah beberapa saat, Febi merasakan sakit yang membakar di seluruh wajahnya. Dia bisa merasakan wajahnya sudah merah dan bengkak. Dia mengangkat tangannya dan menutupi wajahnya.

"Coba aku lihat!" Julian mendengar suaranya sendiri bergetar.

"... Aku baik-baik saja."

Febi mengatakan dirinya baik-baik saja, tapi, pada kenyataannya dia sedang tidak baik!

Setiap kata yang Febi ucapkan membuat hatinya sakit. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa hal itu terjadi seperti ini? Aulia menganggap dirinya sebagai siapa?

Mata Julian memerah, dia menurunkan tangan Febi.

Wajah merah dan bengkak itu terlihat sangat mengerikan. Jejak tamparan dan bekas darah berbekas di wajahnya.

Julian tersentak.

Julian menggenggam pergelangan tangan Febi yang ramping, pembuluh darah di tangannya berdenyut. Dia menahan diri untuk tidak marah pada ibunya yang sama sekali tidak bisa berpikir rasional.

Julian berkata dengan perlahan, "Aku akan membawamu ke rumah sakit."

"Valentia, tolong jaga ibuku dulu." Julian menyerahkan Aulia kepada Valentia.

Kemudian, dia memegang Febi, berbalik ke samping untuk menjauh dari Aulia dan hendak pergi. Ada jejak rasa sakit di mata Aulia. Melihat sepasang punggung itu, dia tiba-tiba berlari ke arah mereka seperti orang gila.

"Rendi! Rendi, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku dan Julian!" Aulia meraih sudut pakaian Julian. Tiba-tiba dia menangis dengan sedih.

Julian terkejut.

Julian melihat ibunya menangis dengan sangat sedih, lalu terdengar suara "bruk", Aulia berlutut di tanah, "Julian sangat membutuhkanmu. Aku juga membutuhkanmu ... Rendi ... jangan tinggalkan Julian. Julian akan merindukan ayahnya ... aku mohon ...."

Aulia merasa rendahan, putus asa dan sedih ....

Dia lebih tidak bisa menyembunyikan cinta untuk putranya.

Semuanya sangat mengejutkan sehingga orang-orang yang menonton merasa tersentuh. Apalagi Julian yang merupakan anaknya?

Julian menarik napas sambil menatap Febi dengan tatapan rumit dan penuh rasa bersalah. Saat berikutnya, dia melepaskan Febi, melangkah maju, berjongkok dan memeluk ibunya yang menangis begitu keras.

"Aku tidak akan pergi! Aku tidak akan pergi! Patuhlah, berhenti menangis ..." bujuk Julian berulang kali sambil memeluk ibunya.

Julian mengangkat tangannya dan menghapus air mata dari wajah Auli.

Febi berdiri di sana dengan linglung. Tangan yang Julian lepaskan masih terpaku di sana dan tidak bergerak.

Wajah Febi terasa lebih menyakitkan ....

Seperti tersiram oleh air cabai.

Pada saat ini, di mata Julian hanya ada ibunya yang terluka, wanita yang paling dia cintai ....

Febi yang berdiri di sana, tidak hanya terlihat berlebih, tapi juga akan merangsang ibunya Julian kapan saja.

Tiba-tiba ....

Febi merasa jarak di antara mereka tampaknya semakin jauh ....

Semakin jauh ....

Suatu hari, akan dilintasi oleh jurang yang tidak dapat dilalui ....

"Suruh dia pergi! Rendi! Biarkan dia pergi. Aku tidak ingin melihatnya lagi!" Aulia bersembunyi di pelukan putranya, air matanya mengalir semakin deras.

Julian menggunakan bahunya untuk menutupi mata ibunya, "Baik, aku mengerti."

Febi tersenyum getir dan hendak pergi dalam diam.

"Febi!" Julian tampaknya menyadari tindakannya. Dia menoleh dan memanggilnya pelan. Matanya bercampur dengan segala macam emosi yang rumit.

Matanya terlihat enggan, tidak berdaya, rasa sakit dan rasa bersalah.

Febi masih tersenyum, tapi matanya terlihat berkaca-kaca, "Aku akan jalan-jalan dulu. Biarkan Bibi tenang."

"Febi ...."

"Aku baik-baik saja." Seolah ingin lebih meyakinkan Julian. Dia menambahkan, "Sungguh, ini hanya cedera ringan, tidak sakit sama sekali."

Sial!

Bagaimana mungkin tidak sakit?

Semakin Febi seperti ini, Julian semakin merasa seakan ada jarum di hatinya.

Namun ....

Febi sudah menghilang dalam diam.

Saat Febi menutup pintu, dia menoleh ke belakang dan melihat lilin yang tertancap pada kue buatannya di atas meja telah meleleh.

Sinar cahaya terakhir juga telah menghilang ....

Mata Febi juga menjadi gelap ....

...

Valentia melirik Julian dan berkata, "Aku akan pergi melihatnya."

Sebelum Julian bisa mengatakan apa-apa, Valentia sudah berlari keluar.

...

Langit begitu gelap hingga membuat orang merasa tertekan.

Dada Febi seperti dijejalkan oleh bola kapas, membuatnya tidak bisa bernapas.

Setelah turun dari lift, Febi takut bertemu orang yang dia kenal. Jadi, dia menurunkan rambutnya untuk menyembunyikan wajahnya yang jelek. Setelah berjalan keluar dari Jalan Akasia, Febi hanya bisa menatap kosong ke jalan tak berujung di depannya dalam waktu lama.

Sekarang sudah sangat larut dan Febi terlihat sangat menyedihkan. Ke mana dia harus pergi?

Sia-sia.

Febi menatap langit yang gelap. Sudut matanya tiba-tiba menjadi dingin dan cairan asin menetes ke pipinya hingga lukanya terasa sakit.