Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 103 - ##Bab 103 Dia Rela Mati Untuknya

Chapter 103 - ##Bab 103 Dia Rela Mati Untuknya

Wajah Febi ditampar hingga memaling ke samping, hingga bahkan ujung jari Febi yang digenggam oleh Nando memucat.

Saat ini, Hati Febi sudah tidak akan sakit lagi karena tindakan Nando. Namun, dia malah merasa dingin yang menusuk tulang.

Dari awal hingga akhir, Febi telah menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dalam dua tahun pernikahannya. Seperti setiap wanita biasa, dia telah bekerja keras dan memberikan segalanya. Dia bahkan tidak tahu apa yang salah dengannya, sehingga dia dikucilkan oleh ibu mertua dan ipar perempuannya, juga ditinggalkan oleh suaminya. Sekarang bahkan Vonny bisa begitu sombong dan arogan di hadapannya.

Nando jelas tidak menduga serangan tiba-tiba dari Vonny, dia terkejut dan melihat pipi Febi yang membekas kelima sidik jari Vonny dengan kasihan.

Merasa Kasihan?

Sungguh konyol.

Febi berjuang untuk menarik tangannya, "Jangan sentuh aku!"

Di samping, Vonny menatapnya sambil tersenyum dan menunjukkan ekspresi bangga. Seolah-olah dia ingin menyatakan kepadanya siapa wanita yang sangat dipedulikan oleh Nando.

"Febi, bagaimana orang menggertakmu, kamu harus membalasnya!" Pada saat ini, sebuah suara tiba-tiba terdengar.

Mata ketiga orang itu melihat ke belakang dalam waktu bersamaan. Dalam jarak satu meter jauhnya, Julian memasukkan satu tangan ke dalam sakunya dan berdiri tegak di sana. Mata itu menatap Nando dan Vonny, tatapan mata yang dingin dan serius itu membuat orang bergidik. Sementara Ryan sedang berdiri di belakangnya.

Vonny jelas terkejut dengan ekspresi Julian, sedikit rasa takut muncul di wajahnya dan dia tanpa sadar bersembunyi di belakang Nando.

Ekspresi tegang Febi barusan sedikit mengendur. Rasa panas di wajahnya mulai menjalar.

Julian melangkah ke depan Febi sambil meliriknya dengan rasa kasihan dan rasa bersalah. Bibir tipisnya mengerucut erat, tapi dia tidak pernah mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya mengulurkan tangan dan dengan kasar menarik Vonny keluar dari belakang Nando.

Nando hampir secara naluriah ingin menarik Vonny kembali, tapi Ryan bergerak lebih cepat darinya.

Setelah beberapa gerakan, Nando telah dikunci oleh Ryan.

Bagaimana mungkin Nando rela dikekang oleh Ryan? Tanpa memikirkannya, dia hendak meninju Ryan. Ryan dengan naluriah membela diri. Seketika, lokasi itu menjadi sangat kacau.

"Julian, jangan keterlaluan!" Wajah Vonny menjadi pucat.

Ekspresi Julian tetap tidak berubah dan dia berbalik untuk melihat Febi dengan perlindungan yang jelas di matanya, "Jangan terus ditindas oleh mereka, kamu tidak punya alasan untuk membiarkan mereka menginjak-injakmu."

Matanya perlahan mengarah ke Vonny, tapi kata-kata itu diucapkan kepada Febi.

"Aku berdiri di sini sekarang, kamu harus mundur, tidak ada yang berani menghentikanmu!"

Kalimat itu diucapkan dengan nyaring dan kuat. Febi merasa Julian adalah pendukung terkuatnya. Kekuatan dan kelembutannya, semuanya menyembuhkan sakit hati Febi.

Kalimat ini juga membuat wajah Vonny memucat. Dia memelototi Febi dengan penuh benci, lalu menatap Julian. Wajah kecilnya menjadi merah karena marah dan takut, "Julian, aku wanita hamil! Apakah hati nuranimu merasa nyaman menyuruh orang lain untuk menyakiti seorang wanita hamil?"

Tidak ada kelonggaran dalam ekspresinya. Jelas, Julian sama seperti Samuel, dia tidak memedulikan hal ini.

Febi berjalan ke arah Vonny. Vonny tiba-tiba menangis dan menatap Julian dengan mata berkaca-kaca, "Aku adikmu! Apakah kamu gila membiarkan orang luar memukuli adikmu sendiri?"

Semua masih baik-baik saja ketika Vonny tidak mengatakan ini, setelah mendengar kata-kata ini ekspresi Julian menjadi lebih dingin. Tangan Julian juga mengepal.

Febi tidak mengabaikan perubahan ekspresi Julian. Tanpa sadar Febi meliriknya lagi, sepertinya saudara tiri ini selalu membuat Julian merasa tertekan. Saat ini, kemarahan pada Vonny dan Nando barusan berubah menjadi perhatian pada Julian.

Julian melindungi Febi seperti itu dan Febi juga tidak ingin dia merasa sedih.

Sementara di sisi lain....

Nando melihat dengan tatapan matanya yang dingin dan dia berkata dengan sinis, "Febi, hebat sekali kamu! Bekerja sama dengan Julian untuk menindas wanita hamil? Ini membuatmu merasa sangat bahagia, bukan?"

Febi terkejut dan kemarahan yang baru saja ditekannya tiba-tiba muncul karena ucapan Nando. Febi tidak mengatakan sepatah kata pun, dia berjalan beberapa langkah dan menampar wajah Nando.

Bukan menampar Vonny, tapi dia menampar wajah Nando.

Tamparan keras itu membuat semua orang tercengang.

Nando sudah ditampar oleh Samuel dan tamparan Febi juga tidak pelan.

Namun, rasa sakit ini bukan di wajahnya, tapi dia merasa harga dirinya terinjak-injak.

Sebelum tangan Febi bisa ditarik kembali, Nando telah meraihnya dengan arogan. Mata Nando tertuju pada Febi, kemarahan membara di mata itu seolah ingin membakarnya menjadi abu.

Tidak ada wanita yang berani memprovokasi Nando seperti ini! Dia adalah yang pertama!

"Lepaskan!" Febi mengerutkan kening karena kesakitan. Dia menepis tangannya untuk mencoba melepaskan diri. Namun, Febi bukan hanya tidak dapat melepaskan tangannya, kekuatan tangan Nando malah menjadi semakin kuat, seolah-olah dia ingin menghancurkan pergelangan tangannya.

Pembuluh darah biru yang berdenyut di lengan Nando sudah menunjukkan kemarahannya.

Pada saat ini, Nando bagaikan seekor cheetah liar, dia terlihat dingin dan berbahaya....

Julian mengerutkan kening dan melangkah maju tanpa sadar.

Namun....

Tepat ketika semua orang mengira Nando akan mencabik-cabik Febi, tangan Nando mengendur dengan perlahan....

Napas Nando yang berat mengungkapkan kemarahan yang coba dia tekan.

Pandangan Nando menyentuh alis Febi yang mengenyit karena sakit, juga wajah merah dan bengkak seperti miliknya. Akhirnya Nando melepaskannya....

Di mata Nando terpancar emosi kompleks yang bergejolak.

Namun....

Saat ini, Febi tidak ingin melihat wajahnya lagi, jadi dia mencoba untuk melepaskan tangannya, lalu berbalik dan pergi.

Melihat bayangan itu, Nando merasakan sakit yang tajam di dadanya dan tiba-tiba ketakutan yang tak dapat dijelaskan bahwa wanita ini akan menghilang begitu saja dari hidupnya.

Nando melangkah maju, lalu secara naluriah mengulurkan tangan untuk menarik tangan Febi.

Namun, Julian mengulurkan tangannya untuk menghalangi dan langsung memisahkan tangan Nando, "Sekarang, kamu memenuhi syarat untuk menyentuhnya lagi!"

"Kamu yang tidak memenuhi syarat. Febi, kamu masih istriku!" bentak Nando menekan kata-katanya. Pada saat yang sama, ketika dia mengatakannya, jejak kesedihan tiba-tiba muncul di hati Nando.

Sebenarnya Nando benar-benar berpikir dirinya menyedihkan dan konyol.

Sekarang, satu-satunya alasan Nando bisa dekat dengan Febi adalah kenyataan yang akan hancur kapan saja. Dari awal Febi sudah tidak peduli lagi, tapi Nando hanya bisa berpegang pada indentitas yang tidak nyata ini....

Febi hanya merasa sangat konyol mendengar kata-kata ini dari mulut Nando.

Saat Nando berhubungan dengan Vonny, apakah dia pernah berpikir dia memiliki seorang istri? Saat memegang tangannya dan melindungi Vonny, apakah dia pernah berpikir bahwa Febi adalah istrinya?

Hati Febi merasa sesak dan tertekan. Dia bahkan tidak ingin tinggal di sini walau hanya sedetik pun.

Tiba-tiba ada kehangatan di telapak tangan Febi. Julian diam-diam menggenggam tangannya.

Febi mengangkat kepalanya. Di dalam mata Julian ada kenyamanan dan dorongan yang hanya untuk Febi. Perasaan itu seperti aliran hangat dan jernih yang mengalir ke dadanya, seketika menghilangkan kabut di hatinya dan membuatnya merasa nyaman.

"Tuan Muda Nando begitu peduli pada Febi, sepertinya kamu sama sekali tidak menganggap anak dalam perut Vonny." Julian melirik Vonny yang berdiri di sana dengan tatapan acuh tak acuh. Vonny berdiri di sana dan merasa terluka, hingga wajahnya menjadi seputih kertas.

Dengan simpati di wajah Julian, dia menambahkan, "Anakmu ini benar-benar tidak ada artinya."

Sudah ada air mata yang tergenang di mata Vonny.

Dia ingin menghibur dirinya dan mengatakan pada dirinya sendiri Julian hanya berbicara omong kosong. Namun, dengan penampilan Nando barusan, dia benar-benar tidak bisa menipu dirinya sendiri....

"Kamu tidak perlu memprovokasi kami...." Tubuhnya dan suaranya bergemetar, tapi Vonny tidak mau mengaku kalah dan menegakkan punggungnya. Dia menatap mereka dengan senyum sinis, "Apakah kamu tulus kepada Febi? ? Dia juga wanita malang yang dipermainkan olehmu! Julian, kamu tidak mencintainya sama sekali! Kamu hanya bermain-main dengannya!"

Meskipun, kata-kata ini sudah didiskusikan dengan jelas dengan Julian. Namun, mendengarkan ucapan itu, tubuh Febi masih sedikit tegang. Mungkin karena dia terlalu peduli, jadi Febi merasa khawatir dan berhati-hati.

Namun....

Julian selalu bisa memberikan kenyamanan untuk Febi.

Tangan mereka terpisah. Jari-jari Julian yang panjang menggenggam dan terjerat dengan jari Febi.

Febi sedikit terkejut. Tanpa ragu-ragu, Febi juga menggenggam tangan Julian dengan erat.

"Nona Vonny tidak perlu khawatir tentang urusan kami." Nada bicara Julian acuh tak acuh dan ekspresinya tenang, "Urus dirimu sendiri!"

Kemudian....

Julian menarik Febi dan berbalik untuk pergi.

Melihat bayangan yang berjalan bersama, Nando merasakan seakan ada pukulan berat di dadanya, dia merasa sesak dan sakit hingga membuatnya terengah-engah.

Vonny merasa sangat sedih dan ingin bermanja pada Nando, bahkan hanya untuk mendengar satu kalimat hiburan dari Nando. Akan tetapi....

Nando berdiri di sana dengan kaku dan aura di sekitarnya tampak penuh dengan rasa dingin, sehingga Vonny tidak berani mendekat sama sekali.

Pria ini....

Terasa jauh darinya....

Vonny juga mengikuti pandangannya dan mengarahkan pandangannya ke dua orang yang jauh itu dengan tatapan yang tajam.

Penghinaan hari ini, rasa malu hari ini, dia akan mengingat semuanya....

...

Setelah keluar dari rumah sakit, keduanya langsung menuju ke Jalan Akasia.

Febi ingat dia tidak memasak selama dua hari dan makanan di lemari es sudah lama basi. Jadi, Febi berkata dia akan pergi ke supermarket. Julian keluar dari mobil dan berjalan berdampingan dengannya.

Julian mendorong troli dan Febi berjalan di sampingnya sambil melihat sekeliling untuk mencari hidangan untuk dimasak malam ini.

Hanya ada sedikit pria di supermarket. Terutama seperti Julian yang mengenakan pakaian formal seperti itu. Jadi, sepanjang jalan, Febi merasakan banyak tatapan kagum dan iri yang tak terhitung jatuh padanya.

Febi merasa sangat vulgar.

Tanpa sadar Febi merasa sombong. Di bawah tatapan iri para wanita, tanpa sadar dia memiliki ilusi seolah-olah pria ini benar-benar miliknya. Perasaan kesal karena pertengkaran yang tidak menyenangkan dengan Nando barusan menghilang secara misterius.

Febi mengambil sebotol garam dan merica, lalu memasukkannya ke dalam troli dan berjalan sambil tersenyum. Pada saat ini, Julian melihat kepiting berbulu di atas es beku dengan penuh minat. Begitu Febi mendekat, Julian menoleh dan melihat senyum di wajahnya, Julian pun bertanya, "Apa yang membuatmu tersenyum?"

"... tidak ada." Febi segera menggelengkan kepalanya dan menahan senyumnya.

Apakah Julian ingin Febi memberitahunya terus terang tentang kesombongan di hatinya? Pria tampaknya membenci wanita yang sombong, tapi apa yang harus dia lakukan? Febi sepertinya tidak bisa menahan diri.

Julian melirik wajahnya. Febi juga menatap kepiting berbulu dan jari-jarinya memainkan cakar kepiting dengan penuh minat. Seakan takut dicapit, jadi Febi menyentuhnya dengan pelan dan segera menarik tangannya kembali dengan takut. Setelah menakut-nakuti dirinya sendiri, Febi tertawa konyol.

"Kamu harus tetap tersenyum seperti ini." Julian tiba-tiba menghela napas. Dia suka penampilan Febi saat tersenyum....

Febi terkejut, kata-katanya membuat senyumnya berangsur-angsur menjadi getir. Febi mengambil napas dalam-dalam, lalu menegakkan tubuh untuk menatapnya, "Tapi, dalam hidup ini, sepertinya hanya ada sedikit hal yang bisa membuat orang tersenyum...."

Julian memandangnya, "Itu tergantung dengan siapa kamu menghabiskan seluruh hidupmu."

Jantung Febi berdetak kencang. Karena kata-kata ini, tanpa sadar dia mulai berfantasi tentang hidup bersama Julian.

Namun, pada saat berikutnya, dia tersadar dari lamunannya dan tiba-tiba terkejut dengan pemikiran seperti itu.

Dia segera menghentikan delusi yang luar biasa ini. Febi terkekeh, mengubah topik pembicaraan dan berkata, "Apakah kamu ingin makan kepiting berbulu? Bagaimana kalau kita beli satu?"

Saat dia berbicara, dia membungkuk untuk memilah kepiting. Wajah Julian seperti biasa. Julian menarik Febi ke atas dan lengannya yang panjang memeluk tubuh Febi ke dalam pelukannya.

Kali ini, bibi yang berjaga di konter di area makanan laut menundukkan kepala dan tertawa. Wajah Febi memerah dan tangannya menekan dada Julian, "Kamu ... lepaskan aku, ini supermarket!"

Namun, alih-alih melepaskan, Julian malah mengulurkan tangan dan memasukkan tangannya ke rambut Febi. Dengan sedikit kekuatan di telapak tangannya, dia menarik wajah Febi ke arahnya.

"Jangan.... " Wajah tampan itu tiba-tiba mendekatinya dan napas Febi terhenti sejenak. Jari-jari Febi menekan dada Julian dengan lebih erat dan wajahnya juga menoleh ke samping.

Pria ini terlalu berani!

Di supermarket, di depan mata semua orang, beraninya dia....

"Jangan apa?" Saat Febi masih berpikir, tiba-tiba dia terganggu oleh suaranya yang tersenyum. Febi memalingkan wajahnya, dia melihat tatapan penuh minat dan matanya yang dalam menyipit dengan penasaran, "Apakah kamu ... pikir aku akan menciummu?"

Suaranya terdengar biasa.

Orang-orang di sebelahnya semua mendengarkan. Beberapa orang bahkan tidak bisa menahan tawa mereka.

Bukankah begitu?

"Kamu bisa menciumku kalau kamu mau, tapi sekarang lebih penting adalah ini...." Jari-jari Julian mengangkat rambut Febi dan menyentuh pipinya yang bengkak.

Febi kesakitan hingga menarik napas dan tiba-tiba menyadari ternyata Julian sama sekali tidak ingin menciumnya. Dia hanya ingin mengangkat rambutnya dan melihat luka di wajahnya....

Astaga!

Febi benar-benar merasa malu.

Wajah Febi tiba-tiba memerah.

Febi mengerutkan kening, memelototinya dan meraih tangannya, "Aku tidak akan menunjukkannya padamu!"

Senyum Julian semakin dalam, "Apakah kamu marah?"

"Tidak marah!"

Febi berbalik dan berjalan keluar dari pelukannya, lalu dia mendorong troli dan berjalan pergi. Febi akan merasa semakin malu jika dia tetap tinggal di sini. Merasakan mata bibi-bibi itu, Febi sangat berharap bisa mengubur dirinya di dalam freezer.

Julian mengikuti dari belakang dan menggenggam tangan Febi yang memegang troli. Ketika dia hendak melepaskan diri, Julian menggenggam lebih erat.

"Kelak jangan biarkan mereka menindasmu seperti ini," pesan Julian dengan tiba-tiba, nadanya serius dan berat.

Tangan Febi yang meronta tidak bergerak. Tanpa sadar Febi meliriknya, "Kenapa kamu ada di sana?"

"Aku mengantar dokter, kebetulan bertemu denganmu." Rumah sakit tempat Samuel dirawat juga merupakan salah satu bagian dari Keluarga Ricardo. Pak Suherdi kebetulan mengunjungi pasien tumor otak lain yang baru saja menjalani operasi dan Julian mengikuti untuk melihat kondisi pasien.

Hasilnya....

Nyawa pasien untuk sementara terselamatkan, tapi saraf optiknya rusak dan dia sudah buta.

Febi memperhatikan depresi di wajah Julian dan menggoyang tangannya, "Julian, kamu baik-baik saja?"

Julian mengulurkan tangan dan meraih tangannya, "Aku tidak apa-apa. Kamu yang sedang tidak baik-baik saja."

Ekspresi Julian sudah kembali normal. Dia mengerutkan kening sambil melirik wajah Febi, "Saat pulang, rebus sebutir telur dan taruh di wajahmu. Kalau tidak, besok pasti masih bengkak."

Febi menghela napas, "Jika hari ini bukan karenamu, aku mungkin tidak akan bisa membalas tamparan ini."

Sekarang, ketika dia memikirkan saat Nando memegang tangannya, hatinya masih merasa dingin.

Tiba-tiba, Febi menghela napas, "Julian, senang ada kamu di sisiku."

Tatapan Julian yang dalam terlihat sedikit berbinar dan tangannya tanpa sadar menggenggam tangannya dengan erat, tapi dia tidak lupa untuk menasehatinya, "Jangan biarkan mereka menindasmu. Untuk mereka yang menindasmu, kamu harus membalasnya. Bahkan kalau kamu tidak bisa melindungi dirimu sendiri, kamu bisa menusuknya terlebih dahulu."

Febi tertawa, "Aku baru sadar kamu sebenarnya adalah orang kejam. Kata-kata yang kamu ucapkan membuat Vonny merasa tidak nyaman seolah-olah tersedak tulang ikan. Mereka tidak akan merasa baik hari ini."

"Itulah yang harus mereka tanggung. Kali ini Vonny datang dengan alasan anak diperutnya?"

"Hmm. Dia pergi menemui ayah mertuaku … kamu tahu itu." Febi tiba-tiba mengubah nada suaranya.

Saat bersama Julian, Febi merasakan kehangatan tak terlukiskan yang memberinya banyak kenyamanan. Jadi, dia tidak ingin mengucapkan kata-kata itu untuk menghancurkan suasana. DIa juga tidak ingin mengingat identitasnya.

Kali ini, Febi benar-benar ingin membiarkan dirinya tenggelam dalam suasanya seperti ini....

Secara alami, Julian tidak mengabaikan detail kecil dalam kata-katanya dan senyum di matanya menjadi semakin dalam, "Bagaimana suasana hatimu?"

Mereka mendorong troli ke depan bersama-sama.

Mereka datang untuk belanja bahan makanan, tapi malah berubah menjadi pengembaraan tanpa tujuan. Tangan di troli saling terpaut sama seperti pasangan yang lain.

"Bagaimana perasaanku?"

"Apakah kamu tidak nyaman?" Julian menatapnya dengan penasaran.

"Yah...." Febi mengangguk, lalu memikirkannya dengan sangat serius dan menunjukk ke dadanya, "Aku merasa di sini seakan tersumbat. Selain itu, aku juga sangat sedih, sangat sedih. Aku merasa sangat tidak nyaman. Menurutmu, apa aku benar masih cemburu?" tanya Febi dengan serius, tulus dan polos.

Alis Julian berkedut samar, matanya berkedip-kedip dengan suram dan dia menatap Febi.

Febi bisa merasakan makna di matanya, dia tiba-tiba mengangkat bibirnya dan tersenyum. Febi memalingkan wajahnya dan menatap Julian dengan nakal, "Apakah kamu marah?"

"Me ... nurut ... mu?" Julian menggertakkan giginya dan setiap kata yang dikeluarkan dari bibirnya yang tipis itu berat bagaikan batu.

Dia tiba-tiba merasa sangat bahagia. Siapa yang menyuruh Julian mengolok-olok dirinya barusan?

"Aku tidak bisa mengetahui. Tapi ... aku tahu betapa sedihnya aku karena mereka," lanjut Febi sambil memprovokasinya tanpa memikirkan perasaan Julian.

Julian tidak tahan lagi, matanya dipenuhi dengan api gelap. Julian melepaskan tangannya dan memeluk pinggang Febi.

Namun, Febi seolah-olah telah menebak gerakannya, Febi menghindar dari lengannya satu langkah lebih cepat dan berlari sambil tersenyum.

Julian melangkah maju dengan kaki panjang dan mengejarnya.

Sebenarnya, bagaimana mungkin Febi mampu melawannya? Kaki Julian sangat panjang, satu langkah sebanding dengan dua langkahnya. Jadi, tidak peduli seberapa keras Febi berlari, Julian dapat dengan mudah mengejarnya.

"Kamu sebaiknya tidak tertangkap olehku!" pesan Julian dengan ekspresinya yang masih masam. Sepertinya dia benar-benar marah.

Febi terus berlari, dia bukanlah lawan Julian. Febi hanya bisa mengelilingi rak kargo sambil terkikik.

Mereka yang seperti itu terlihat sedikit kekanak-kanakan, bagaikan pasangan muda yang mengejar satu sama lain, membuat keributan, tapi....

Namun, mereka merasa bahagia.

Hati yang sudah terluka seakan tiba-tiba telah hidup kembali....

Bersama Julian, meski tidak bersama seumur hidup dan hanya sesaat, hal itu juga membuat Febi merasa bahagia....

Saat dia mengelilingi rak lain, Febi mendengar seruan dari sisi lain rak, "Astaga! Tertabrak! Tertabrak!"

Sebuah mobil yang menarik muatan berat tanpa terkendali menabrak rak di depannya. Febi tertegun sejenak, tanpa sadar dia melangkah mundur dan membentur punggungnya ke dinding.

Rak itu sudah bergoyang ke arahnya.

Di atas rak, ada semua jenis porselen dan gelas....

Febi mengangkat kakinya dan ingin lari, tapi sudah terlambat....

"Hati-hati!" Dengan seru, sebuah bayangan memeluknya dan dengan kuat melindunginya.

Segera setelah itu, rak itu runtuh.

Erangan menyakitkan datang ke telinganya.

Febi membeku di sana dengan tubuh gemetar.

Lengan Julian memeluknya dengan erat, punggungnya yang tinggi dan lurus menopang rak-rak yang berat.

Prang ... prang....

Suara semua jenis porselen yang pecah di lantai terdengar di telinga mereka...

Ada juga porselen dan gelas yang terus-menerus terjatuh ke punggung Julian.

Rak dengan berat beberapa ratus kilogram rak tiba-tiba menekan punggung Julian. Ujung baja menembus bajunya dan menggorek kulitnya.

Darah, merembes melalui bajunya.

Pada saat itu, bahkan hati Febi juga merasa terluka....

Dia merasa sangat sakit sehingga bahkan tidak bisa bernapas.

Keringat dingin jatuh dari dahinya dan terjatuh di wajah Febi.

Lengan Julian yang kuat bergemetar samar, pembuluh darahnya menonjol dan dia berusaha untuk menahan rak itu. Namun, kalimat pertama yang dia ucapkan adalah untuk menghibur Febi, "Sudah tidak apa-apa...."

Air mata tiba-tiba mengalir tak terkendali dan tangan Febi menjadi semakin bergemetar.

Febi baik-baik saja, tapi Julian tidak baik-baik saja....

Julian tidak baik-baik saja!

Dia terluka parah....

Melihat air mata Febi mengalir semakin deras, Julian menghela napas pelan dan nada suaranya terdengar tidak berdaya, "Jangan menangis, kondisiku tidak seburuk yang kamu pikirkan...."

Semua masih baik-baik saja sebelum Julian mengatakannya, tapi napas Julian jelas tidak begitu lancar dan wajahnya berangsur-angsur menjadi pucat.

Tiba-tiba, Febi menangis lebih keras.

"Tahan air matamu, aku tidak suka melihatmu menangis.…" Suara itu semakin tersiksa, tapi dia tetap tidak lupa untuk memintanya berhenti menangis.

Febi tidak bisa menahan air matanya, dia menekankan tangannya ke rak di punggungnya dan berteriak tanpa memedulikan citranya, "Tolong! Tolong dia ... cepat bantu dia!"

...

Rak-rak dipindahkan sedikit demi sedikit.

Febi tidak bisa menahan air matanya.

"Maaf, aku yang berlarian hingga menyakitimu...." Febi merasa sangat bersalah, sangat bersalah.

"Itu bukan salahmu." Ada rasa sakit dalam suaranya, tapi dia mencoba yang terbaik untuk menahannya.

"Semua yang aku ucapkan adalah bohong, aku berbohong padamu...." Febi terus merasa bersalah dan menjelaskan dengan penuh semangat, "Aku merasa dadaku sedikit tersumbat karena aku tidak rela, tapi aku tidak merasa tidak nyaman atau sakit. Selain itu, Aku memang menunggu hari ini...."

"Aku tahu semuanya."

Bagaimana mungkin Julian tidak menyadari Febi sengaja menipunya?

Rak-rak sudah diluruskan. Febi membuka tangannya dan memeluknya, "Julian, Kamu harus baik-baik saja! Kalau tidak, aku akan membenci diriku sendiri!"

Julian tersenyum getir.

Apakah Julian terlihat sangat rentan?

"Jangan khawatir, aku tidak akan mati." Dia mengulurkan tangan dan memegang tangannya.

Tangan Julian begitu dingin, seolah-olah tidak memiliki suhu.

Mendengar kata 'mati', dia tiba-tiba menjadi marah, "Apa yang kamu katakan? Kamu masih baik-baik saja...."

Dia menyandarkan tubuhnya pada Febi.

Dia menurunkan pandangannya, matanya yang dalam menatap mata Febi seolah-olah memiliki makna yang dalam, "Apakah kamu takut aku mati?"

"..." Febi tidak ingin membahas topik ini dengannya.

"Jawab aku!" Namun, Julian tiba-tiba tidak ingin melewatkan topik ini. Julian mengulurkan tangan untuk memegang wajahnya sambil terengah-engah, tapi dia masih bertanya, "Kalau suatu hari sesuatu terjadi padaku...."

Tiba-tiba ucapannya terhenti

Febi berdiri berjinjit, lalu memeluk kepalanya dan mencium bibir Julian.

Air mata jatuh dari sudut matanya....

Febi membenci pertanyaan yang Julian lontarkan, dia bahkan tidak ingin mendengar sepatah kata pun.

Meskipun mereka mungkin belum tentu memiliki masa depan atau bersama seumur hidup, tapi....

Bagaimanapun, Febi berharap dia baik-baik saja!

Baik-baik saja....

Kali ini adalah pertama kalinya Febi berinisiatif. Julian mendengus, tapi dia tidak memiliki tenaga untuk mengubah ciuman itu dari pasif menjadi aktif.

Sementara Febi hanya menyentuhnya dengan ringan dan melepaskannya....

Aroma samar melekat di bibir Julian yang tipis....

...

Manajer supermarket bergegas. Melihat adegan ini, wajahnya terlihat sangat takut, "Maaf, aku minta maaf! Aku sudah menelepon ambulance dan sebentar lagi akan ada pihak rumah sakit yang datang. Kalian berdua akan pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Kalau ada masalah, supermarket kami akan bertanggung jawab!"

"Apa yang masih kamu lakukan? Papah dia keluar dulu!" Febi sedikit kesal.

Baru saat itulah manajer memerintahkan seseorang untuk datang dan membantu Febi memapah Julian keluar dari supermarket.

Sukacita menjadi kesedihan, begitulah situasi ini.

...

Rumah Sakit Royal Olvis sangat ramai.

Agustino, Lukas, Stephen, Ryan dan Caroline semua pergi ke rumah sakit bersama hingga bahkan Tasya juga datang.

Julian menjalani CT scan dan Ryan sibuk menyelesaikan berbagai prosedur.

Tasya membujuk Febi, "Kamu juga cepat periksa tubuhmu, jangan berlama-lama lagi. Toh, supermarket yang mengeluarkan uang, untuk apa kamu merasa tidak enak?"

"Aku baik-baik saja, jangan khawatir tentang itu."

"Bagaimana mungkin aku tidak khawatir? Seberapa berat rak itu, tahukah kamu? Kalau kamu tertimpa oleh rak itu dan mematahkan tulang punggungnya, kamu akan mati! "Hanya mendengarkan uraiannya, Tasya masih merasa takut.

Febi bahkan merasa lebih takut.

Jelas-jelas Julian tahu itu sangat berbahaya, tetapi dia masih bergegas tanpa ragu....

Jika itu benar-benar yang dikatakan Tasya....

Febi tidak berani memikirkannya lagi, dia sangat ketakutan sehingga dia bergemetar dan wajahnya menjadi pucat.

"Aku baik-baik saja, rak itu bahkan tidak menyentuh jariku...." Julian melindunginya dengan mempertaruhkan nyawanya, bagaimana mungkin Febi bisa dalam masalah?

Agustino berdecak sejenak dan berkata, "Kali ini dia benar-benar mempertaruhkan nyawanya. Kelihatannya punggungnya terluka parah."

Stephen memandang Febi sambil tersenyum, "Sepertinya akan merepotkanmu untuk merawatnya dua hari ini. Kamu adalah wanita kedua yang bisa membuatnya mengorbankan hidupnya, jadi hargai itu."

Kedua?

Febi tidak mengabaikan kata-kata Stephen dan jantungnya berdetak kencang.

Tasya satu langkah lebih cepat darinya dan bertanya, "Siapa yang pertama?"

Stephen tampaknya menyadari dia telah salah bicara. Dia menatap Febi dan melihat tidak ada perubahan di wajahnya. Namun, dia tetap tidak melanjutkannya dan hanya berkata, "Masih ada sesuatu yang harus aku selesaikan di hotel, aku pergi dulu."

Tasya menoleh untuk melihat Agustino, "Apakah dia sangat mencintai orang lain sebelumnya?"

Agustino menepuk dahi Tasya, "Jangan mengkhawatirkan urusan orang lain, urus saja urusanmu sendiri. Sekarang kamu sudah memastikan Febi baik-baik saja. Kamu sudah tidak ada urusan lagi di sini, ayo pergi."

Dia mengulurkan tangannya untuk menarik Tasya dan ingin pergi.

Tasya menyusut dan menghindar, meninggalkan tangan Agustino yang canggung membeku di udara.

Sama sekali tidak memedulikan harga diri Agustino.

Wajah Agustino kaku dan sangat jelek.

Lukas tertawa pelan. Saat dia bangun dan melewatinya, dia menepuk bahu Agustino dengan simpatik dan tidak lupa menyemangati, "Teruslah bersemangat!"

Agustino melambaikan tangannya dengan kesal dan pergi untuk menangkap Tasya lagi. Kali ini, tidak ada ruang bagi Tasya untuk melarikan diri, Agustino menggenggam tangannya dan pergi.

"Lepaskan...." Tasya tersipu dan meronta, "Ini rumah sakit, jangan main tangan."

"Kalau kamu tidak pergi, kamu ingin menjadi obat nyamuk? Apa kamu tidak tahu diri?" Agustino sangat jijik.

"Febi, kalau begitu aku akan pergi dulu dan aku akan meneleponmu nanti." Tasya diseret olehnya dan dia tidak lupa untuk menoleh dan mengucapkan selamat tinggal pada Febi. Febi berdiri dan mengikutinya ke pintu bangsal, "Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku akan menelepon kamu kalau terjadi sesuatu."

Setelah mereka pergi, hanya Caroline dan Febi yang tersisa di seluruh bangsal.

Caroline meliriknya dan tiba-tiba berkata, "Nona Febi tidak perlu memikirkan apa yang dikatakan Pak Stephen barusan."

Febi tertegun sejenak. Dia tidak menyangka sekretarisnya akan berbicara dengannya tentang topik pribadi seperti itu. Febi bereaksi dan tersenyum, "Kami bukan anak-anak lagi, siapa yang tidak memiliki masa lalu?"

Selain itu, kualifikasi apa yang dia miliki untuk bertanya pada Julian? Jangankan masa lalu, kini identitas Febi masih menjadi istri pria lain.

...

Keduanya menunggu sebentar.

Ryan dan Julian datang bersama. Kemeja berdarah di tubuhnya telah dilepas dan dia telah mengenakan pakaian rumah sakit yang sangat biasa. Febi menyadari ada pengecualian sesekali untuk mengatakan orang bergantung pada pakaian. Bahkan Julian memakai pakaian rumah sakit, itu masih tidak bisa menyembunyikan auranya yang luar biasa.

Febi dengan cepat bangkit, lalu berjalan mendekat dan bertanya dengan cemas, "Apakah hasilnya sudah keluar? Bagaimana?"

"Masalah kecil, itu hanya cedera kulit, bukan otot atau tulang," jawab Julian dengan singkat.

"Hanya saja luka di punggung dan bahunya dalam. Kata dokter hari ini dia harus dirawat di rumah sakit untuk observasi. Malam hari takut infeksi bakteri akan menyebabkan demam, jadi akan sulit ditangani," jelas Ryan dengan saksama dan hati Febi menegang. Dia melirik Julian dengan tatapan meminta maaf.

Julian hanya menggenggam tangannya dengan ringan, seolah mengatakan tidak apa-apa.

"Parah hingga harus dirawat di rumah sakit?" Caroline mengangkat alisnya, "Kalau begitu apakah aku perlu mengirim dokumen ke rumah sakit?"

"Kamu periksa dulu dokumennya, kirim dokumen yang harus aku periksa. Selebihnya, biarkan mereka bertiga yang memutuskan. " Mata Julian melirik Caroline dan Ryan, "Sekarang kalian sudah tidak ada kerjaan lagi, kalian pergilah."

Caroline dan Ryan secara alami bukan orang yang bodoh, mereka menerima perintah dan bergegas pergi.

....

Di sisi lain.

Nando mengantar Vonny ke kamar di Hotel Hydra.

Sepanjang jalan, Nando terlihat memikirkan sesuatu dan sangat jelas tidak fokus. Ketika Vonny berbicara dengannya tentang anak, dia kadang-kadang bereaksi, tapi dia tidak setulus dulu.

Tangan Vonny mengencang dan hampir menusuk masuk ke dalam daging.

Tidak diragukan lagi, ini semua karena Febi!

Sampai ke pintu Hotel Hydra.

Nando menghentikan mobil, tetapi tidak keluar.

"Masuklah." Tatapannya mendarat ke perut Vonny yang rata. Saat dia ingat ada anaknya di dalam sana, Nando sedikit berjuang untuk menambahkan, "Hati-hati. Aku tidak mengantarmu ke atas lagi."

"Apakah kamu tidak menginap malam ini?" Vonny menatapnya dan enggan membiarkannya pergi.

"Tidak! Aku masih punya sesuatu untuk dilakukan," tolak Nando dengan begitu saja.

Tangan Vonny sedikit gemetar, dia meletakkan tanggannya di pintu mobil. Kemudian, melirik pipi Nando yang merah dan bengkak, dia berkata, "Saat pulang, jangan lupa pakai obat."

"Yah. Kelak...." Kata-kata Nando terhenti sejenak, "Jangan bertengkar dengannya lagi, jangan sampai mencelakai anak."

Vonny menggigit bibirnya, "Kalau aku tidak hamil hari ini, apakah kamu masih akan menahan tangannya ketika dia hendak menamparku?"

Nando menatap matanya, "Hari ini adalah salahmu, jadi berhati-hatilah saat berbicara nanti. Dan juga...."

Nada suaranya dingin dan serius, lalu dia menambahkan, "Jangan sakiti dia lagi!"

"Apakah aku menyakitinya?" Dalam kata-katanya, Nando dengan jelas melindungi Febi hingga membuat hati Vonny tertusuk, "Nando, kamu bisa melihatnya, dia ingin menamparku terlebih dahulu! Kenapa malah jadi aku yang menindasnya?"

"Kata-kata yang kamu katakan itu seratus kali lebih buruk daripada tamparan!"

Vonny terkejut. Bibir sedikit bergerak.

Tiba-tiba dia ingin bertanya padanya apakah Nando jatuh cinta pada Febi....

Mungkinkah asalkan Vonny tidak memiliki anak ini di perutnya, Nando akan meninggalkannya tanpa ragu dan memilih untuk bersama Febi lagi?

Namun, dia tidak berani menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini....

Dia takut jawabannya akan mempermalukannya dan membuatnya tidak memiliki jalan untuk mundur....

Pada akhirnya, dia hanya berkata, "Nando, tidak peduli berapa banyak yang harus aku korbankan, aku akan melahirkan anak ini! Ini adalah anak yang telah kamu tanam dan kamu harus menerima apa yang seharusnya kamu dapatkan, tidak peduli pahit atau manis. Kamu harus bertanggungjawab!"

"Dan juga...."

Kata-kata Vonny terhenti dan nada suaranya menjadi sedikit lebih serius, "Febi tidak akan pernah bersedia menjadi seorang ibu dari anak orang lain, jadi jangan pikirkan hal itu lagi. Kamu dan dia tidak akan pernah mungkin lagi!"

Satu kalimat yang bagaikan duri yang menusuk jantung Nando. Tangan yang memegang kemudi menjadi sangat erat.

Kebohongan yang Nando buat untuk dirinya sendiri dalam sekejap dibongkar oleh Vonny tanpa ampun.

Depresi, kehilangan, sakit melintasi hati Nando yang kosong.

Nando selalu membohongi dirinya sendiri, selama mereka tidak bercerai, wanita itu masih miliknya....

Akan tetapi....

Apakah Febi masih miliknya?

...

Setelah mobil Nando pergi, Vonny merasakan sakit perut. Dia mengerutkan kening dan menutupi perut bagian bawahnya.

"Nona Vonny, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Penjaga pintu di pintu dan segera melangkah maju untuk ketika dia melihat ada yang salah dengannya.

Vonny hanya melambaikan tangannya dan ingin Nando kembali, tapi mobil itu sudah memasuki lalu lintas. Dia kesakitan, lalu mengeluarkan ponselnya dari tasnya dan memanggil dokter kandungannya.

...

Setelah kembali ke Kediaman Keluarga Dinata.

Melihat cahaya yang menyilaukan, kabut di hati Nando masih tidak menghilang. Dulu, di kamar tidur lantai atas selalu ada lampu menyala di malam hari. Bahkan ketika dia pulang larut malam, akan ada cahaya redup di kepala ranjang.

Akan tetapi....

Sekarang....

Cahaya itu tidak akan pernah ada lagi....

Nando memarkirkan mobil di garasi. Dia dengan lemah bersandar di kursi, membiarkan kabut itu menelannya dengan perlahan. Nando menutup matanya, bayangan dia dan Julian dengan jari mereka yang terjalin lalu pergi terus muncul di pikirannya.

Sekarang....

Apa yang Febi lakukan?

Apakah dia masih bersama Julian?

...

Rumah sakit.

Febi kembali setelah membeli makanan di lantai bawah, teleponnya berdering. Ketika dia melihat serangkaian angka ditampilkan sdi layar ponsel, dia tampak tegang.

Dia tidak menolaknya, tapi malah menempelkan di telinganya.

"Apa kamu ada masalah?" tanyanya dengan tatapan kosong.

Suara dingin itu benar-benar membungkam pihak lain.

Untuk sesaat, Nando bahkan tidak tahu harus berkata apa padanya.

"Karena kamu tidak ada masalah, maka aku kebetulan memiliki sesuatu untuk dikatakan." Nada bicara Febi masih acuh tak acuh dan sedikit kejam, "Aku akan memberimu hari terakhir untuk memikirkannya dan aku harap kamu menyerahkan surat cerai padaku. Kalau aku tidak menerimanya besok, aku akan menuntut ke pengadilan. Nando, kalau kamu tidak ingin memperbesar masalah ini dan ingin bergabung dengan dewan direksi, kamu dapat memberiku surat cerai. Aku dapat menunda prosedur selama beberapa hari.

Di sisi lain....

Napasnya terdengar barat, seakan menekan rasa sakit yang hebat.

"Sekarang hanya ini hal yang bisa kamu bicarakan denganku?"

"Kalau tidak?" Febi menatap langit yang gelap dan tersenyum, "Atau haruskah kita membicarakan kapan kamu dan Vonny berencana untuk menikah? Dia bisa menunggumu, tapi anak di perutnya mungkin tidak akan bisa menunggu lagi."

"Febi, apakah kamu pernah mencintaiku? Dulu."

Febi seakan tidak menduga Nando akan tiba-tiba menanyakan pertanyaan ini, Febi tertegun sejenak. Detik berikutnya, dia hanya tersenyum acuh tak acuh, "Hal itu sudah tidak berarti apa-apa bagiku. Tidak peduli apa yang terjadi sebelumnya, setidaknya aku tidak menyukainya sekarang dan kelak aku tidak akan menyukainya lagi! Jadi, tandatangani surat itu dan jangan melakukan hal yang tidak perlu lagi."

Nando tidak berbicara.

Namun, setelah hening beberapa saat, dia mengambil inisiatif untuk menutup telepon.

Mendengar suara 'bip' dari ponselnya, Febi tidak yakin apa yang dia maksud dengan menutup telepon. Apakah besok Febi akan menerima surat cerai seperti yang dia inginkan?

Hanya saja tidak masalah apakah dia menerimanya atau tidak, dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi!

...

Vonny bergegas ke Rumah Sakit Royal Olvis untuk pemeriksaan karena sakit perut yang tiba-tiba. Tanpa diduga, ketika dia masuk ke rumah sakit, dia melihat bayangan itu.

Febi?

Pada jam ini, mengapa dia ada di sini?

Vonny mengerutkan kening, dia tidak banyak berpikir dan mengikutinya dengan curiga.

...

Ketika Febi membuka pintu dan memasuki bangsal, Julian masih membaca dokumen di ranjang.

Karena lengannya juga terluka, dia tidak bisa mengangkatnya untuk waktu yang lama. Dia duduk tegak di ranjang dengan dokumen di pangkuannya.

Seluruh bangsal sunyi, hanya terdengar napas Julian.

Febi berjalan masuk dan mengambil dokumen itu dalam diam dan menutupnya dengan rapi. Karena itu adalah dokumen di perusahaan, dia bahkan tidak melirik sedetik pun.

"Kamu sudah kembali." Julian juga tidak menyalahkan Febi karena mengambil dokumennya.

Karena Julian mempertahankan posisi itu untuk waktu yang lama, lehernya terasa pegal, dia mengangkat tangannya untuk menggosoknya, tapi lengannya yang setengah terangkat malah terhenti.

Sungguh sulit.

Febi menghela napas, "Jangan bergerak, aku akan membantumu memijit nanti."

Dia meletakkan makanan yang harum di depannya, lalu mengambil sendok dan menyerahkannya kepada Julian, "Bisakah kamu memakannya sendiri?"

Julian memegang sendok dan bertanya tanpa menjawab, "Kalau tidak, apakah kamu ingin menyuapiku?"

Melirik kain kasa yang melilit punggung dan lengannya, Febi mengambil sendok dan berkata, "Aku yang menyuapimu saja agar tidak merobek lukamu."

Julian mengangkat bibirnya dan menepuk posisi di sampingnya dan Febi duduk di sebelahnya.

Febi mengambil sepotong daging, mencampurnya dengan nasi dan mengantarkannya ke mulut Julian. Melihatnya makan, dia menurunkan pandangannya dan berkata dengan lemah, "Kelak ... jangan lakukan ini lagi."

"Jangan bagaimana?"

"Hari ini kamu beruntung, kamu tidak melukai tulangmu, kalau...." Tiba-tiba dia berhenti dan tidak berani mengatakan apa-apa. Dia hanya berkata, "Pokoknya, kelak kamu tidak boleh mengabaikan keselamatanmu sendiri."

Julian menatap matanya, "Jadi, maksudmu dalam masalah seperti ini, aku harus berdiri dan menonton, membiarkan barang-barang itu mengenaimu?"

"Tidak akan ada hal seperti ini lagi, lain kali aku akan melindungi diriku sendiri," janji Febi.

Sampai detik ini, kegelisahan di hatinya masih belum mereda.

Hanya Febi yang tahu betapa takutnya Febi jika sesuatu akan terjadi pada Julian.

Terutama ... pertanyaan yang dia ajukan di akhir yang membuat Febi semakin takut.

Apa maksud bagaimana kalau kelak sesuatu terjadi padanya?

"Wajar bagi pria untuk melindungi wanita, terutama wanita mereka sendiri," kata Julian.

Febi sedikit terkejut.

Kapan ... kapan dia menjadi wanitanya?

Meskipun Febi berpikir begitu, jantungnya masih berdetak kencang dan wajahnya sedikit panas. Saat berikutnya, pikiran yang mengecewakan tiba-tiba muncul dalam benak Febi.

Wanita sebelumnya yang dia rela mempertaruhkan nyawanya, apakah dia juga mendengar Julian mengatakan ini?

Dia tiba-tiba ingin tahu seperti apa rupa wanita yang disukainya.

Dulu, Febi bertanya kepadanya lebih dari sekali apakah Julian telah memberikan kelembutan kepada banyak wanita? Akan tetapi Julian selalu menyangkalnya dan dia tidak pernah menyebutkan perasaannya sebelumnya....

"Apa yang kamu pikirkan?" Julian memandangnya dengan penuh tanya. Julian yang pandai mengamati kata-kata dan ekspresi, dengan mudah menemukan sikap Febi yang tidak normal.

Dia tersadar dari lamunannya dan segera menggelengkan kepalanya.

Febi diam-diam mengejek dirinya sendiri karena berkata tidak peduli pada Caroline. Namun sekarang dia malah berpikir begitu banyak.

Apakah dia benar-benar jatuh cinta? Jadi dia merasa seperti ini....

Perasaan ini benar-benar buruk....

"Tidak apa-apa, hanya memikirkan kata-katamu. Makanlah, hari ini kamu harus istirahat lebih awal." Dia menyuapinya lagi.

Julian meliriknya dalam-dalam dan dapat melihat Febi sedang memikirkan sesuatu. Akan tetapi karena dia tidak ingin mengatakannya, Julian tidak mengajukan pertanyaan lagi.

...

Setelah makan malam, Febi berkemas. Waktu sudah lewat jam 8 malam.

"Sudah larut, aku harus kembali." Febi menatapnya dengan khawatir, "Lukamu seharusnya baik-baik saja, 'kan? Minta perawat untuk lebih sering berpatroli di ruangan saat aku pergi."

Sebenarnya, instruksi ini hanya berlebihan.

Bahkan jika dia tidak berbuat banyak, para perawat muda suka melihat ke dalam bangsal ini.

Hanya lewat saja, mereka juga tetap melihat lebih lama.

"Yah, tidak masalah." Julian menatapnya dalam-dalam dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa dan berdiri dari ranjang, "Aku akan mengantarmu ke bawah."

Febi tidak menolak.

Febi berdiri dari sofa, lalu berjalan ke pintu dan tiba-tiba berbalik dengan gelisah. Febi melihat kembali ke arah Julian yang mengikuti di belakangnya dan bertanya dengan ragu, "Kamu benar-benar tidak masalah tinggal sendirian, 'kan?"

Sebenarnya Febi merasa sangat khawatir, sangat khawatir.

Meskipun Julian sudah dewasa dan memiliki kemampuan yang cukup untuk mengurus dirinya sendiri, Febi tidak bisa menahan diri untuk khawatir. Bagaimana kalau saat dia tertidur, lukanya meradang dan dia demam?

Kekhawatiran di matanya terlihat sangat jelas, hingga mata gelap Julian sedikit berbinar.

Wajahnya yang tampan tiba-tiba membungkuk, mata itu tertuju padanya, dengan godaan yang dalam hingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat, "Kalau aku mengatakan ada masalah, apakah kamu ingin tinggal?"

Tinggal?

Tidak ada ranjang tambahan di bangsal sama sekali....

Napas Febi menjadi kencang.

Dia menggigit bibirnya, "Aku ... lebih baik tidak tinggal...."

"Kenapa?" Napas Julian mendekat ke arah Febi, dahinya hampir menyentuh dahi Febi.

Napas yang jernih dan maskulin, dengan godaannya yang unik membuat napas Febi tidak teratur. Jari-jari Febi mengencang tanpa sadar.

"Sudah tahu tapi masih bertanya!" Febi sedikit kesal dan bersandar di pintu. Dia mengangkat tangan dan mendorongnya, "Cepat tidur, aku sudah harus pergi...."

Setelah semua, berbalik dan pergi ke pintu.

Namun....

Pergelangan tangan Febi tiba-tiba digenggam. Panas yang menyengat dari telapak tangan pria itu, menyentuh kulitnya dan langsung membakar ke bagian terdalam hatinya.

Tubuh Febi bergemetar dan dia berbalik.

Bulu matanya berkedut dan Febi menatap Julian dengan panik. Cahaya gelap di mata itu menerpanya lagi.

Febi menjilat bibirnya yang kering, tapi dia tidak tahu gerakan ini hanya akan membuat Julian semakin terangsang.

Mata Julian menegang dan tiba-tiba dia menundukkan kepalanya dan mencium bibir Febi.

Astaga....

Ciuman itu semakin dalam dan semakin berat.

Ciuman yang mengandung nostalgia yang jelas dan mesra itu, membuat hati Febi tergerak....

Dia memegang kenop pintu dengan kuat dan nyaris tidak menstabilkan tubuhnya.

Mengetahui bahayanya saat ini, jadi Febi semakin ingin menjaga agar dirinya tetap tenang, tapi....

Saat Julian menciumnya, dia merasakan benaknya seakan berdengung dan lengannya sudah berinisiatif merangkul leher Julian.

Ciuman Julian bahkan lebih mendesak dan berantakan hingga napasnya menjadi sedikit terengah-engah.

Pada saat ini, Julian telah kehilangan sifatnya yang tertutup dan tenang. Dia seperti singa ganas, agresif dan liar yang seolah-olah akan mencabik-cabiknya kapan saja ... dan menguasai Febi....

Jauh di dalam matanya, terlintas cahaya gelap yang berkelap-kelip hingga membuat jantung Febi berdetak kencang.

Mata Julian yang basah menatap Febi dan menciumnya dengan rakus, sampai bibir Febi memerah dan bengkak, Julian baru melepaskannya.

Lalu Julian berkata dengan suara serak, "Tinggallah malam ini!"

Nadanya tidak memberinya ruang untuk menolak.

Mata Febi berkedip seolah ragu-ragu.

"Masih kalimat yang sama, aku tidak akan menginginkanmu." Mata Julian penuh dengan keinginan, "Aku sangat menginginkanmu, tidak sekali atau dua kali. Tapi hari ini, tubuhku tidak mengizinkan...."

Tangan Julian bahkan tidak bisa diangkat. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal lain?

Untuk pertama kalinya dalam arti sebenarnya. Setidaknya, Febi layak untuk mendapatkan cinta, belaian dan dimanjakan....

...

Hasilnya....

Julian tidur di ranjang. Sementara Febi dipeluk olehnya di bawah lengannya.

Seluruh tubuh Febi masih panas. Di dadanya seakan masih tersisa jejak ciuman panas dan lembab dari Julian. Sekarang Julian memeluknya seperti ini, Febi sama sekali tidak bisa tertidur.

"Pernahkah kamu membayangkan seperti apa pengalaman pertama kita?" Tepat ketika Febi menutup matanya dan berusaha keras untuk tertidur, Julian tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu.