Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 90 - ##Bab 90 Aku Mengizinkanmu Jatuh Cinta Padaku

Chapter 90 - ##Bab 90 Aku Mengizinkanmu Jatuh Cinta Padaku

Febi menyadari Julian tidak hanya ahli bisnis, tapi juga seorang pria yang dapat diandalkan. Setidaknya, ketika ahli listrik sedang pergi, dia dapat membantunya mengganti sakelar.

Febi membawa secangkir teh panas dan menyimpannya di samping. Febi bersandar ke dinding, mengawasi Julian yang berjongkok di lantai dan sangat sibuk. Kemeja putihnya tersingsing sampai ke siku tangannya, memperlihatkan bagian lengannya yang kokoh. Dia memegang obeng dan sekrup di tangannya. Penampilannya ini benar-benar tidak terlihat seperti Julian biasa yang sangat berkuasa di dunia bisnis.

Febi melihat punggung Julian dan tidak bisa menahan tawa. Julian tidak melihat ke belakang, dia hanya bertanya, "Apa yang kamu tertawakan?"

"Apakah tidak lucu pewaris Grup Alliant yang bermartabat sekarang berjongkok di sini sebagai tukang listrik?"

Julian meliriknya, tiba-tiba dia menegakkan tubuhnya dan jadi-jadinya yang kotor diusap ke wajah Febi. Sebuah sidik jari hitam segera muncul di wajah putihnya. Febi berbisik, "Kamu keterlaluan!"

Sambil berbicara, Febi mengulurkan tangan untuk memukulnya, tetapi Julian dengan cepat menggenggam tangan Febi, "Ini adalah hukuman karena menertawakanku."

"Kamu benar-benar suka membalas dendam!" Meskipun dia berkata demikian, mata Febi masih dipenuhi dengan senyuman. Febi suka interaksi kecil seperti ini, santai dan alami seperti teman yang sudah lama kenal....

Namun, Julian tertegun sejenak. Julian melihat Febi dan cahaya kompleks melintas di matanya. Febi ingin melihat lebih dekat, tapi emosinya langsung disembunyikan oleh Julian, kemudian dia terkekeh dan membiarkannya pergi, "Cuci mukamu, listrik sebentar lagi sudah selesai diperbaiki. "

Febi hanya mengira itu adalah khayalannya sendiri, dia berbalik untuk pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu, lalu menatapnya dan ragu-ragu untuk membuka suara.

"Apa yang ingin kamu tanyakan padaku?" tanya Julian langsung, seolah-olah dia memiliki kemampuan membaca pikiran Febi.

"Sebenarnya bukan apa-apa." Febi berbalik, lalu mengambil langkah dan berhenti lagi. Dia menoleh ke belakang dan berkata, "Saat aku tiba di perusahaan pagi ini, aku mendengar rekan-rekanku berbicara tentangmu."

"Aku?" Setelah selesai, Julian mengangkat tangannya untuk menyalakan sakelar. Seluruh ruangan tiba-tiba menjadi terang. Dia berdiri, tubuhnya yang tinggi disinari cahaya dan memancarkan bayangan tinggi yang menutupi Febi, "Apa yang mereka katakan?"

Sebenarnya, tidak seharusnya Febi bertanya.

Bagaimanapun juga, ada beberapa hal yang tidak ada hubungannya dengan Febi. Namun, keinginan dalam hatinya membuatnya ingin bertanya, "Apakah kamu punya tunangan?"

Julian sedikit mengernyit, "Ini yang mereka bicarakan?"

"Ya." Melihat ekspresinya yang sedikit serius, entah kenapa hati Febi menjadi sedikit sedih. Perasaan seakan terjatuh ini sangat tidak nyaman, sehingga Febi sama sekali tidak bisa mengabaikannya. Febi meliriknya dan berkata dengan cepat, "Kalau kamu tidak ingin menjawab, tidak perlu berbicara lagi, aku ... aku hanya bertanya dengan santai, tidak ada arti lain."

Setelah itu, Febi berbalik dan berjalan ke kamar mandi.

Febi baru menyentuh kenop pintu kamar mandi dan pintu baru terbuka sedikit celah, Julian sudah mengulurkan tangan dan menutup pintu lagi. Febi tidak berbalik, dia hanya berdiri di pintu dengan dadanya yang menempel di punggung Julian.

"Apakah kamu peduli?" tanya Julian kembali tanpa menjawab pertanyaan Febi. Febi terkejut dan Julian bertanya lagi, "Apakah ada bedanya bagimu aku punya tunangan atau tidak?"

Tangan Febi bertumpu pada kenop pintu, tubuhnya agak kaku. Dia mengepalkan tangannya erat-erat, lalu melepaskannya dan berbalik perlahan sambil menatapnya, "Sebenarnya ... apakah kamu punya tunangan atau tidak, bagiku ... benar-benar tidak ada bedanya."

Benar-benar tidak ada bedanya, bagus sekali Febi!

Febi benar-benar menjawab dengan sangat ringkas dan tegas!

Mata Julian tiba-tiba menjadi gelap, sangat dingin dan kemarahan berkumpul di dalamnya.

"Lanjutkan!"

Satu kata kata yang dingin dan kaku seperti batu. Hati Febi bergetar. Dia menggigit bibirnya dan terus berbicara, "Kalau kamu benar-benar memiliki tunangan.... Tolong jangan terus memprovokasiku...."

Jadi....

Sekarang, hanya dengan omong kosong beberapa orang, Febi bisa menjauhinya tanpa ragu-ragu?

"Memprovokasimu?" Julian menatapnya dengan tajam, lalu dia mundur selangkah dan menatapnya dari atas ke bawah, matanya dingin dan acuh tak acuh, "Sebelum kamu menuduhku. Sebaiknya kamu mencari tahu siapa yang memprovokasi."

Memang benar!

Febi yang pindah ke sini. Jika dia benar-benar ingin menjaga jarak dari Julian, ketika saat itu dia tahu alamatnya, dia bisa sepenuhnya menolak kunci ayah mertuanya.

Tadi malam, Febi juga tinggal di rumah Julian.

Selama Febi tidak takut masalah, dia benar-benar bisa pergi menginap ke hotel. Bahkan kembali ke Kediaman Keluarga Dinata untuk satu malam pun sangat wajar.

Namun, dia tidak melakukannya....

Apa isi hati Febi, bahkan jika dia tidak mau mengakuinya, dia juga tidak bisa menipu diri sendiri.

"Salahku. Tapi, aku harap kelak kamu tidak memperlakukanku dengan baik...." ucap Febi lagi sambil mengambil napas dalam-dalam dan dia menundukkan kepalanya. Febi merasakan mata di atas kepalanya sepertinya ingin membakarnya, terus membakar hingga ke dalam hatinya.

Ujung jari Febi menusuk masuk ke dalam dagingnya, dia berharap dirinya bisa lebih rasional, "Pernikahanku dihancurkan oleh pihak ketiga, jadi ... aku tidak ingin menjadi pihak ketiga. Julian, tolong jangan buat aku menjadi orang yang sangat menjengkelkan."

Setelah itu, dia dengan cepat mendorong pintu kamar mandi dan berjalan masuk. Kemudian, dia menutupnya.

Dari awal hingga akhir, dia terus menundukkan kepalanya. Febi mengunci pintu dan bersandar di pintu dengan tidak berdaya. Melihat sidik jari Julian yang menempel di wajahnya melalui cermin, tiba-tiba hati Febi merasa sakit dan tiba-tiba dia mulai merindukan kehangatan tadi malam. Awalnya dia berpikir kehangatan itu bisa berlanjut, tapi....

Tidak bisa!

Dengan situasi Julian sekarang, memiliki tunangan itu normal!

Febi....

Febi benar-benar tidak boleh membiarkan dirinya dipermalukan lagi.

Febi berdiri, lalu berjalan ke meja kaca dan membasuh wajahnya dengan air. Namun, kehangatan ujung jarinya seakan masih menempel di sana ... perlahan-lahan, meresap ke dalam kulitnya....

...

Febi tinggal di kamar mandi selama beberapa menit, dia menekan emosinya sambil mengambil napas dalam-dalam. Akhirnya memutuskan untuk keluar.

Dia berpikir....

Julian sudah pergi.

Dia adalah pria yang sangat sombong. Apa yang Febi katakan barusan sangat jelas. Julian bukanlah orang yang tidak tahu malu. Hati Febi bukan tidak merasa kehilangan, bahkan dia akan terus berpikir. Meski hanya kehangatan jangka pendek, dia juga akan terjerumus....

Semua yang Julian berikan membuat Febi terperangkap....

Sambil memikirkannya, pintu terbuka.

Febi menundukkan kepalanya dan ingin berjalan keluar, tapi dahinya membentur dada yang kokoh. Napas yang akrab masuk ke dalam hidungnya, Febi mengangkat kepalanya karena terkejut dan dia terperangkap dalam sepasang mata yang dalam. Hidung Febi tiba-tiba terasa perih. Untuk waktu yang lama, Febi hanya bisa menatap kosong pada Julian.

Julian belum pergi!

Dia masih disini....

Saat Febi masih termenung, tubuhnya ditekan dengan kuat ke panel pintu. Tubuh Julian yang kokoh dan tegak menekannya dengan kuat. Jari-jarinya yang ramping jelas baru saja dicuci dan terasa dingin dengan sedikit air mencubit dagu Febi.

Seharusnya, Febi harus meronta, tapi ketika dia jatuh ke pelukannya, dia benar-benar tidak ingin bergerak. Dia merasa sangat hangat....

"Apakah kata-kata itu barusan adalah kata-katamu yang sebenarnya?" tanya Julian dengan suara rendah.

Bulu mata Febi sedikit bergerak, matanya menjadi sedikit gelap. Dia memalingkan wajahnya, menggigit bibirnya dan tidak menjawab.

Julian menundukkan kepalanya, wajah tampan itu mendekati Febi, napasnya menjerat Febi dengan erat seperti jaring yang mengacaukan pikirannya. Julian kembali bertanya, "Apakah itu berarti aku punya tunangan, tidak ada bedanya bagimu?"

Setiap kata diucapkan dengan sangat tegas, sangat jelas Julian menekan amarah yang bisa meledak kapan saja.

Hati Febi bergetar sejenak, dia mendorong Julian, "Biarkan aku pergi dulu."

Julian tidak bergerak, dia hanya berkata dengan dominan, "Jawab aku."

Febi tidak tahu kenapa hatinya bisa dirangsang, hidungnya terasa perih. Dia menatap Julian dengan sedikit keluhan muncul di matanya, "Kalau kamu punya tunangan, tolong jangan dekati aku.... Aku khawatir aku tidak bisa menahan...."

Tangan, secara naluriah memegang tangannya. Febi dengan jelas mendengar suaranya bergetar, "Julian, aku khawatir aku akan jatuh cinta padamu!"

Mata Julian menegang dan sinar cahaya kompleks bergejolak di matanya. Mata Julian gelap dalam seperti hendak melelehkan tubuh Febi. Saat berikutnya, jari panjang dimasukkan ke rambutnya, tiba-tiba Julian mengangkat wajah Febi, lalu dia menundukkan kepalanya dan menciumnya dengan kuat. Sambil mencium bibir Febi dan mengisap dengan menggoda, dia terengah-engah dan berkata, "Kalau begitu jatuh cintalah padaku! Febi, aku mengizinkanmu jatuh cinta padaku."

Febi terkejut.

Semua perasaan yang terpendam di hati Febi seakan tiba-tiba terangkat oleh kata-katanya. Seketika, mata menjadi basah. Febi tidak memedulikan apa pun lagi, dia mengangkat kepalanya dan berinisiatif untuk membalas ciuman Julian. Kedua tangannya tanpa sadar merangkul ke leher Julian. Julian jelas terkejut. Tindakan seperti ini tidak diragukan lagi adalah stimulasi dan dorongan untuknya. Lengan Julian yang panjang melingkari pinggang Febi dan memeluknya lebih erat. Julian mencium Febi lebih dalam dan lebih kuat....

Setelah saling berciuman hingga terengah-engah, berciuman hingga tubuh Febi menjadi lemas dan hanya bisa bersandar padanya, Julian melepaskannya dengan enggan. Mata masing-masing menjadi sedikit kabur yang hanya ada bayangan satu sama lain. Julian mengangkat pipi Febi yang indah dan menatap matanya yang berair, "Kelak, jangan percaya omong kosong itu."

Jadi....

Julian tidak punya tunangan?

Jadi, apakah Julian bisa dipercaya oleh Febi?

Sebelum dia bisa menanyakan kalimat ini, Julian sudah kembali menciumnya, ciuman yang lama dan hangat, seketika membuat Febi kehilangan akal sehat.

Febi hanya bisa tenggelam dengan perlahan-lahan, terus-menerus tenggelam....

...

Malam itu, Febi berbaring di tempat tidurnya, berguling-guling dan tidak bisa tertidur.

Sekujur tubuhnya seakan masih diselubungi oleh aroma tubuh Julian, yang perlahan-lahan menggetarkan hatinya. Di telinganya, masih melekat kata-kata penyemangat dan godaan pada Febi.

"Jatuh cintalah padaku! Febi, aku mengizinkanmu jatuh cinta padaku."

Febi berbalik dan memeluk selimut dengan erat.

Jatuh cinta pada Julian, apakah itu surga atau neraka? Julian begitu bermartabat, sementara Febi....

Febi sangat takut, takut seperti kali ini. Semakin tinggi dia naik, semakin sakit pula Febi terjatuh....

Selain itu, kualifikasi apa yang dia miliki untuk jatuh cinta dengan orang lain sekarang?

...

Keesokan harinya.

Pagi jam 10 lewat, Nando memasuki perusahaan. Samuel memarahinya dengan kasar. Pemilihan dewan direksi segera dimulai, Samuel memintanya untuk tampil dengan baik. Nando mengalami sakit kepala yang hebat dan wajahnya terlihat sangat lelah. Seperti apa pun Samuel memarahinya, dia tetap tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah kembali ke kantor, dia melepas mantelnya dan melemparkan dirinya ke sofa.

Febi menatap langit-langit, memikirkan apa yang dikatakan Vonny kepadanya tadi malam. Dia merasa tidak berdaya, sekujur tubuhnya seakan dicelupkan ke dalam air es, bahkan tubuhnya menjadi kaku.

Saat sedang termenung, ada ketukan di pintu, "Tuan Muda Nando."

Orang itu adalah sekretaris.

Nando beranjak duduk ke sofa dan menegakkan tubuh, "Masuklah."

"Ada apa?"

"Ini adalah paket untukmu." Sekretaris memberikan sebuah paket kepadanya.

Nando mengambilnya dengan curiga, "Paket? Apakah dia memberitahumu siapa yang mengirimnya?"

"Tidak. Juga tidak ada alamat pengirimnya."

"Oke, aku mengerti, keluarlah." Nando melambaikan tangannya, "Aku ingin istirahat, jangan ganggu aku kalau tidak ada hal penting."

Nando benar-benar lelah.

Begitu sekretaris pergi, Nando bersandar di sofa. Melirik paket itu, dia mengulurkan tangan dan mengambilnya. Segera setelah dia membukanya, CD dan catatan di dalamnya jatuh. Nando meraih catatan itu dan wajahnya tiba-tiba berubah pucat.

Catatan itu tertulis, 'Bukti perselingkuhan Febi.'

Nando belum menonton CD-nya, tapi urat-urat di dahinya sudah berdenyut-denyut. Dia segera bangkit dari sofa, lalu menyalakan komputer dan memasukkan CD ke dalam CD-ROM. Saat berikutnya, klip video muncul. Gambarnya tidak terlalu jelas, disorot dari sudut atas ke bawah. Sekilas, video ini adalah potongan dari video kamera pengawas.

Selain itu, lokasi itu adalah gerbang Perusahaan Konstruksi Cyra.

Nando menyaksikan Julian keluar dari mobil, dia memperhatikan Julian mendekati istrinya selangkah demi selangkah, menyaksikan istrinya bersandar di pelukan pria lain.... Melihat senyum manis di wajahnya....

Senyum seperti itu adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Waktu video menunjukkan persis kemarin. Ketika Febi pulang kerja kemarin, Nando sudah berkata untuk menjemputnya, tapi Febi menolaknya. Febi menutup telepon tanpa ragu-ragu.

Nando berpikir Febi benar-benar bertemu dengan masalah, tapi ternyata karena Julian datang menjemputnya.

Hebat sekali! Febi benar-benar menipu dan mempermainkan Nando seperti orang bodoh.

Wajah Nando pucat karena marah, tapi dia merasakan kemarahan besar melayang di dadanya. Perasaan cemburu yang bagaikan seekor ular berbisa muncul di dalam hatinya. Nando terus-menerus memutar kembali video. Nando sangat cemburu sehingga dia menjadi gila dan matanya merah.

Saat berikutnya, emosinya tiba-tiba tidak terkendali. Tiba-tiba dia melayangkan lengannya.

"Bruk!"

Terdengar suara barang-barang yang terjatuh ke lantai.

"Tuan Muda Nando, apakah Anda baik-baik saja?" Sekretaris itu mendorong pintu dan berjalan masuk. Dia lantai yang berantakan, dengan ekspresi bingung di wajahnya.

"Keluar! Cepat keluar!" teriak Nando dengan tajam, matanya seolah-olah ingin menelan seseorang. Sekretaris itu sangat ketakutan sehingga dia menutup pintu dan tidak berani bernapas dengan kuat.

Nando membanting meja dengan keras, lalu dia bangkit dan pergi.

Febi, hebat sekali kamu!

...

Di sisi lain.

Perusahaan Konstruksi Cyra.

Begitu Febi keluar dari kantor Kak Robby, dua orang menyambutnya dengan senyuman.

"Febi, hari ini wajahmu terlihat sangat ceria."

"Tadi malam, kamu bermalam bersama pria, ya?"

"Apakah suamimu atau Pak Julian? Mungkinkah kalian bertiga bersama?"

" Hahaha, apakah Febi sangat kuat? Bisakah dia melakukannya?"

Cici dan Lusi saling mengejeknya dengan tutur kata yang sangat eksplisit, mereka mencoba untuk membalas dendam kemarin. Suara keduanya tidak pelan, sehingga semua orang di seluruh departemen mendongakkan kepala. Kemudian, semua orang menundukkan kepala dan saling berbisik.

Febi percaya saat ini citranya di perusahaan tidak berbeda dengan seorang wanita penggoda. Selain itu, semua orang menyaksikan dan dia bahkan tidak punya ruang untuk membantah.

Febi merasa malu, tapi dia tidak mau mengakui kekalahan. Dia menegakkan punggungnya dan menatap mereka berdua dengan dingin, "Apakah kalian sangat santai? Apakah kalian lupa apa yang aku katakan pada kalian kemarin? Kalau kamu punya begitu banyak waktu luang, kenapa kalian tidak pergi mengerjakan pekerjaan kalian!"

Ejekan mereka gagal, bahkan Febi menegur mereka di depan umum. Wajah mereka memucat untuk sementara waktu. Mereka mendengus, lalu berbalik dan berjalan ke arah Meliana. Meliana melirik mereka berdua, "Jangan terlalu tidak sabar. Tunggu dan lihat saja, sebentar lagi seseorang akan membalaskan dendam kalian."

"Benarkah? Kak Meliana, ada apa?" tanya Cici dengan cepat.

Meliana berbisik ke telinga mereka dan mereka berdua langsung tertawa dengan gembira sambil melirik Febi yang berada tidak jauh. Kemudian, mereka berkata sambil tersenyum, "Hanya Kak Meliana yang memiliki cara terbaik. Kali ini, aku benar-benar ingin melihat penderitannya!"

...

Awalnya, Febi dalam suasana hati yang baik, tapi setelah dikacaukan oleh kedua orang itu. Febi kembali ke meja kerjanya dengan suasana hati buruk. Selain itu, hatinya merasa gelisah dan jantungnya berdegup kencang.

Tasya menoleh untuk menatapnya, "Apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu benar-benar peduli dengan kata-kata mereka berdua?"

"Tidak apa-apa." Febi melambaikan tangannya, "Aku tidak selemah itu."

Tasya melirik keduanya dari kejauhan, "Mereka benar-benar tidak berubah."

"Jangan pedulikan aku lagi, bagaimana denganmu? Apa sebenarnya maksud Agustino? Bagaimana kamu bisa begitu ceroboh sehingga dia bisa menemukan keberadaan anak itu?"

Ketika berbicara tentang anaknya, ekspresi Tasya sedikit berubah, lalu dia hanya berkata dengan ringan, "Aku akan mencari cara untuk menghadapinya. Dia hanya ingin mempermainkanku. Dia tidak benar-benar menginginkan anak."

Febi ingin menanyakan sesuatu yang lain, tapi dia mendengar gadis kecil yang menjaga di bagian resepsionis berlari masuk dan berkata, "Kak Febi, ada orang yang mencarimu."

Sebelum Febi bisa bertanya, Nando sudah berjalan ke arahnya. Wajahnya dingin dan sekujur tubuhnya mengeluarkan aura kekerasan. Matanya tertuju pada Febi seperti Setan di neraka yang membuat orang bergidik.