Chereads / Laskar Dewa Series Sitija (Sang Yadawa Terakhir) / Chapter 3 - Mahasenopati Ditya Pancatyana

Chapter 3 - Mahasenopati Ditya Pancatyana

Prajatista

Tahun 400 SM

Prajatista dan Surateleng adalah gambaran suatu negara yang makmur nan subur tapi bukan hanya berpenghuni manusia. tapi juga bangsa Raksasa. Walaupun dipimpin oleh Dua orang setengah Asura bernama Prabu BomaBomantara dan Prabu Narakasura. Putra dari Prabu Basudewa dan Dewi Mahendra. Walaupun menurut kabar adik angkat Sri Khrisna dan Raden Kakrasana(Baladewa). Tapi kesuburan Kerajaan itu berubah menjadi gersang. Ketika Prabu Bomabomantara dan Prabu Narakasura mempunyai sifat serakah. Tidak hanya suka berperang mengalahkan semua kerajaan. Mereka berdua mempunyai kesenangan yang sama yaitu suka Main Perempuan. Di dalam kerajaan Mereka. Sangat banyak sekali para Selir Wanita cantik. Yang sesungguhnya adalah Putri dari Raja -raja yang Mereka bunuh.Tapi meskipun begitu Mereka masih tidak pernah merasa puas. Sebelum dapat memperbanyak selir dan istri dari para bidadari kayangan.

Salah satu Mahasenopati Prajatista Patih Ditya Pancatyana.Yang tidak tega melihat penderitaan Rakyat kedua Kerajaan itu. Sang Mahasenopati juga tidak menyukai ulah dan perilaku Sang Raja. Prabu Narakasura dan Prabu Bomabomantara yang memeras keringat rakyatnya. Guna kepentingan pribadi Mereka semata.Maka secara diam-diam Ditya Pancatyana berusaha membelot sendiri menuju Kerajaan Dwarawati. Sang Mahasenopati akan melaporkan semua tindak -tanduk kedua adik angkat Narendra Sri Khrisna itu kepada Sang Kakak.Dan cerita itu berawal dari sini.

Pelarian Sang Mahasenopatipun akhirnya tercium oleh Teliksandi Kerajaan. Dan dilaporkan Kearah Prabu Bomabomantara Rajanya. Mendengar Sang Patih membelot, Maka Prabu Bomabomantara memerintahkan Kepada seluruh prajurit Prajatista. untuk menangkap Ditya Pancatyana Hidup atau Mati.

Suara kaki berdedum seperti Gempa Di Dalam Hutan Belantara. Tampak sesosok Makhluk Tinggi Besar berukuran 6 kali lipat manusia dewasa.Sosok yang berlari dan kadang melompat dengan sangat tinggi. Dialah Ditya Pancatyana menggunakan segala ajian meringankan tubuhnya.Untuk menghindar dari kejaran Puluhan Pasukan Prajathista dan Surateleng. Pemanah Prajatista dan Surateleng yang berada tidak jauh dibelakangnya.Terus Menembakkan Anak Panah kearah Sang Mahasenopati. Hujaman puluhan panah Raksasa yang sebesar dua kali lipat tombak senjata manusia. Melesat bertubi -tubi kadang Sang Mahasenopati bisa menghindarinya. Tapi juga tak sedikit yang menghujam dan menghujani punggungnya.

Tanpa menghiraukan Rasa sakit ditubuhnya Sang Mahasenopati tetap berlari. Hingga sampai akhirnya Ditya Pancatyana melihat perbatasan Dwarawati yang berupa sungai besar dan berpangkal curam. Perbatasan yang bernama Air Terjun Grojogan sewu. Tanpa pikir panjang Ditya Pancatyana melompat kearah air terjun yang juga wilayah dwarawati.Dan…

"BOOOOMMM...!!!"Terdengar suara seperti ledakan dari bawah air terjun tersebut.

Seketika itu pula pengejaran oleh Pasukan Prajatista dan Surateleng terhenti. Meskipun Mereka dari Bangsa raksasa, tapi Mereka akan berpikir dua kali untuk terjun bebas kearah bawah sana.

"Apakah Dia masih hidup…?"gumam salah satu Prajurit yang Melongok Kearah Bawah air Terjun Grojogan Sewu.

"Mustahil…!, Meskipun Tubuh Kita besar belum tentu juga kita bisa sampai dibawah dengan selamat. Lagi pula ini sudah memasuki wilayah Dwarawati milik Narendra Khrisna…!"ungkap lainnya.

"Sekarang …,Apa yang akan Kita lakukan…?"

"Kalaupun Kita kembali …!,Kita juga jadi korban. Kalian sendiri tau bagaimana bengisnya Raja Kita…"

"Mau tidak mau yang penting Anak dan Istri Kita selamat…Ayo semua…,Daripada Kita mati dicap sebagai Pemberontak…!!!"ungkap salah satu lagi yang menjadi Pemimpin pasukan diantara Mereka.

Langsung ikut menyusul Mahasenopati Pancatyana melompat.

"AYOOO…MANA SEMANGAT KALIAN…!"

"AAAYYYOOO...!!!!"Teriak Mereka bersamaan

akhirnya Mereka semua terjun menuju kebawah air terjun.

Terdengar suara seperti ledakan bertubi -tubi dibawah sana.

..........................

Kaputren Dwarawati sebuah taman bunga nan indah. Dengan Air mancur buatan yang menawan disertai Pohon -pohon yang rindang. Tampak di sebuah pendopo guna tempat berteduh jika hujan turun dan teriknya matahari. Sangat sedap jika dipandang oleh Mata.

Beberapa Dayang -dayang Istana mengisi kepenatan Mereka dengan bersenda gurau. Ada diantara Mereka yang bermain congklak,petak umpet sambil tertawa riang penuh kegembiraan.Tampak di dalam pendopo kaputren Empat orang Wanita berumur setengah baya sedang berbincang -bincang. Empat Orang dengan Keanggunan dan Kecantikan Mereka. Yang masih tetap terlihat meskipun kadangkala disertai sedikit guyonan nakal.Tiga diantaranya bernama Dewi Rukmini,Dewi Satyaboma dan Dewi Jembawati adalah istri Raja Dwarawati dan satunya Dewi Sembadra (Rara Ireng)yang juga istri dari Raden Janaka. Dewi Sembadra adalah adik bungsu Sang Narendra yang melepas rasa kangen dengan ketiga Kakak iparnya.Tapi seketika suasana riang itu terhenti ketika beberapa Dayang berteriak ketakutan dan berlarian menuju Pendopo Kaputren.

"Ada apa Biyung…?"Tanya Dewi Rukmini Pada Seorang Abdinya.

"Mohon ma'af…,Beribu -ribu Ma'af…, Kanjeng Permaisuri. Ketika Kami sedang bermain tadi tiba ada darah segar menetes Dari atas Pohon tempat Kami Bermain.Tiba-tiba ada Tangan dari Sosok Raksasa Penuh Darah. Raksasa Itu berkulit kemerah -merahan Bermata agak sipit dan Taringnya mencuat keatas dan kebawah, Gusti.Hiiii...Ngerii...,Kami melihatnya…!"gumam Dayang berumur tua yang dipanggil Biyung itu sambil bergidik.

"Biar Aku melihatnya,Biarkan Aku kesana…!" jawab Sang Dewi Rukmini penasaran dengan Apa yang Barusan Didengarnya.

"Jangan Gusti Kanjeng Permaisuri, Saya mohon. Saya saja takut melihat Bentuknya,Lebih baik KanjengPermaisuri menunggu Kanjeng Narendra saja…!"

"Aku ikut Kakang Mbok saja…!"jawab Dewi Satyabama dan Dewi Jembawati hampir bersamaan.

"Aku juga ikut…"Dewi sembadra menimpali juga.

"Ayo Biyung …,Tunjukkan saja dari arah mana Biyung melihat Raksasa itu…?"

"Jangan Kanjeng Permaisuri…!, Liat ini…, Waduh Jarik Saya basah ini…!"

"Loh…!,Memang tadi jarikmu baru dicuci trus dipakai. Memangnya tidak dijemur...?"

"Endak Kanjeng Permaisuri,Saya ketakutan terus. Saya…Saya…ngompiiooll...!"jawab si Biyung sambil cengengesan.

Sontak membuat semua yang ada di situ tertawa cekikikan. Jawaban Sang Abdi yang membuat Dewi Rukmini pun tersenyum.

"Yah…,Sudah.Nanti aja dibahas Ompolnya Biyung. Sekarang tunjukkan dari arah mana Biyung liat Raksasa itu?"

"Tapi saya takut kesana ,Kanjeng Permaisuri…"

"Ya…Sudah.Kita Saja yang kesana tanpa Biyung…"tukas Dewi Sembadra.

"Itu Kanjeng Permaisuri.Didekat pohon beringin. Tempat biasanya para Abdi yang Muda -mudi main petak umpet… !"Tunjuk Si Biyung Kearah Sebatang Pohon Beringin Besar.

Lalu keempat Permaisuri segera beranjak ketempat yang ditunjuk oleh Abdinya.Mereka melihat tangan yang sangat besar bercucuran darah segar. Hampir saja Dewi Satyabama dan Dewi Jembawanwati, Kedua istri Narendra Dwarawati itu berteriak. Tapi dengan sigap Dewi Rukmini menutup mulut mereka.

"Apakah itu Kau, Ngger.Adi Pancatyana…?"seru Dewi Rukmini Sambil Mengendap -endap Mendekati Pohon Beringin Tidak jauh Di Depan Mereka.

"Ngger...!,Pancatyana. Betulkah Engkau,Pancatyana Adi…,Adi …? "Dewi Rukmini berseru lagi.

"Ngger, Kau sudah besar. Masa Kau tidak bisa membedakan Suara Kakang Mbokmu ini...!!"

Tiba dari belakang pohon yang dimaksud itu muncul sosok Raksasa yang dimaksud. tubuh Ditya Pancatyana yang penuh dengan luka menganga di dada dan dipunggungnya banyak tertancap anak panah.Segera Bersimpuh Kearah Kakak Iparnya.

"Apa yang terjadi padamu, Ngger...!?"tanpa sadar air mata Dewi Rukmini menetes

"Kakang EEmmbbokk,Ma'afkan Aku...!"ungkap Ditya Pancatyana dengan suara parau Sembari bersujud dihadapan Dewi Rukmini.

Sang Kakak Iparmengusap pipi Sang Raksasa yang sudah dianggap seperti adiknya ini.Tiba-tiba tubuh Pancatyana goyah.Dan…

"Boooommm...!!"

Ditya Pancatyana ambruk dan pingsan. Seketika itu juga keadaan menjadi panik. Semua yang berada disitu terlihat berlalu-lalang. Kecuali Dewi Rukmini yang tetap mengelus -elus kepala Pancatyana seperti mengelus -elus kepala sang adik. Lalu diikuti oleh Dewi Satyaboma,Dewi Jembawati diikuti oleh Dewi Sembadra mereka berempat memeluk tubuh Ditya Pancatyana.