Matahari telah berada lurus di atas sana, Gabriela masih terlelap dalam balutan selimut tebalnya, seperti tidak merasa panas dan bahkan sepertinya semakin dingin saja cuacanya.
Gabriela bergerak masih mencari kenyamanan untuk tidurnya, hari libur memang kerap dihabiskan untuk tidur, kecuali kalau memang ada yang mengajaknya jalan, barulah Gabriela akan bangun lebih awal.
Ponsel Gabriela sejak tadi bergetar, tapi tak sedikit pun mengusik tidurnya, Gabriela tidak memiliki janji apa pun sebelum tidur sehingga sekarang Gabriela tak peduli dengan panggilan itu.
Biarkan saja kalau memang ada yang ingin bertemu dengannya, pasti akan datang ke rumah dengan sendirinya, dan Gabriela pasti akan menerimanya juga.
"Riel, Riel bangun, Sayang." panggil Arin.
Rasanya sudah cukup untuk Gabriela tidur, ia sampai melupakan sarapannya, dan sangat tidak mungkin jika makan siang pun akan dilewatkan.
"Riel, bangun ayo, makanan sudah siap."
Tetap tak ada jawaban, Arin lantas membuka pintunya dan melihat putrinya yang begitu betah berselimut meski telah tengah hari.
"Riel, jam berapa ini, kamu masih tidur saja."
Arin membuka gordeng itu dan membuat sinar matahari mengenai wajah Gabriela secara langsung, matanya itu sedikit bergerak, Arin tersenyum karena tentu saja sinar matahari itu mampu menembus mata yang tertutup.
"Riel, bangun."
Arin mematikan lamput tidurnya, Arin tidak sedikit pun merasa kesal dengan kebiasaan Gabriela yang seperti itu, karena diluar hari libur pun Gabriela selalu bangun awal tanpa kesiangan.
"Sayang, ayo bangun, sebentar lagi Rendi jemput kamu loh."
Gabriela bergerak dan perlahan membuka matanya, nama Rendi terdengar mendengung di telinga Gabriela, malas sekali rasanya mendengar nama itu saat matanya pun belum mau terbuka.
"Bangun ayo."
"Ngapain sih Mah, pagi-pagi sudah sebut nama itu saja."
Arin tersenyum dan duduk di samping Gabriela, tangannya terangkat mengusap kepala itu dengan sayangnya.
"Ayo bangun, jangan terlalu benci sama orang lain, nanti kamu sendiri yang akan menyesal."
"Menyesal apanya, aku gak akan menyesal kalau orangnya itu Rendi, aku bakal beruntung kalau gak kenal sama dia."
Arin menggeleng, sampai sekarang lelaki yang dipilihkan Arin itu ditolak Gabriela, entah harus lelaki seperti apa yang bisa sesuai dengan keinginan Gabriela.
"Bara, ada datang kesini?"
"Bara?"
"Iya Bara, kalau gak Bara, mungkin anak-anak yang lain?"
"Gak ada siapa-siapa yang datang, lagi pula ngapain mereka datang, kamu juga masih tidur kan?"
Gabriela mengangguk, itu memang benar, tapi biarkan saja tidak ada salahnya jika Gabriela bertanya tentang itu.
"Mamah bilang, Rendi mau kesini, mau ngapain?"
"Ya mau ajak kamu jalan dong, mau ngapain lagi?"
"Aku gak mau."
"Riel, apa salahnya sih kalau kamu kasih kesempatan untuk Rendi."
"Aku gak mau, Rendi bukan lelaki baik, dia kasar, aku gak mau punya suami kasar, masa Mamah rela anaknya disakiti setiap hari."
"Ya bukan seperti itu juga, kan setiap orang memiliki kekurangan, dan bisa berubah juga kalau memang ada niat dalam dirinya."
"Sifat Rendi gak akan bisa diubah, itu sudah mendarah daging, sudahlah lupakan saja dia."
Arin tersenyum dan mengangguk, tidak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di detik selanjutnya, Arin masih ingin berusaha menjodohkan mereka dan paling tidak sampai Gabriela memiliki pilihan sendiri.
"Ayo bangun ah, Mamah sudah lapar sekarang."
"Papah mana?"
"Papah keluar, tadi ditelepon temannya."
Gabriela lantas bangun dan meraih ponselnya, memang Rendi sejak tadi menghubunginya, untunglah Gabriela tidak memperdulikannya karena kalau sampai dijawab, pasti akan sangat menyebalkan.
"Bara telepon?"
Gabriela menoleh dan menggeleng, kenapa jadi Bara, untuk apa juga Bara telepon, lagi pula semalam Gabriela sudah kabarkan jika baik-baik saja.
"Ya sudah sana mandi, terus turun kita makan sama-sama ya."
"Baik, Mamah."
Arin mengangguk dan berlalu meninggalkan putrinya itu, Arin akan menunggu di meja makan saja sampai nanti Gabriela datang.
Hooaamm .... Gabriela menutup mulutnya, masih menguap saja saat tengah hari pun, ponselnya kembali bergetar dan kali ini Bara yang menghubunginya.
"Ada apa, pasti mau ngajak jalan, mereka kan kemarin bahas soal jalan bareng."
Gabriela tersenyum dan langsung menjawab panggilan video dari Bara.
"Haaa .... hallo," ucap Gabriela yang kembali menguap.
Bara justru tertawa melihat hal itu, dan jelas jika temannya itu belum berubah sampai sekarang.
"Malah ketawa," ucap Gabriela.
"Kamu baru bangun, pemalas sekali."
"Biar saja, ada apa memangnya?"
"Susan ngajak jalan, katanya Pamannya ngadain acara syukuran dan kita diajak kesana."
"Syukuran apa?"
"Kalau gak salah, ulang tahun pernikahan."
"Sekarang banget?"
"Ya sekaranglah, ya gak apa-apa telat satu jam."
Gabriela balik tertawa mendengarnya, apa bisa seperti itu, mungkin saja acaranya telah selesai ketika sampai di sana.
"Mau gak?" tanya Bara.
"Mau dong, pasti makan disana."
"Gak, khusus kamu untuk cuci piring saja."
"Kurang ajar."
Keduanya tersenyum bersamaan, Bara diam menatap wajah di layar ponselnya itu,senyumannya begitu membuat jantung Bara bergemuruh.
Bahkan meski Gabriela baru bangun tidur dan masih muka bantal, di mata Bara wajah itu tetap cantik dan menarik.
"Ya sudah, aku mandi dulu ya."
"Aku jemput ya."
"Iyalah harus, jangan telah soalnya si Rendi mau datang, malas."
"Kamu mau jalan?"
"Enggak, janjian juga sama Mamah bukan sama aku."
Bara tersenyum dan mengangguk, baguslah kalau memang seperti itu Bara senang mendengarnya.
"Kalau dia duluan datang, gimana?"
"Aku ikut kamu, pasti."
"Yakin, dia kan calon suami kamu?"
"Baraaaa."
"Iya iya iya, bercanda, makanya kalau kamu gak mau sama dia, kamu tinggalkan saja."
Gabriela diam, inginnya memang seperti itu, tapi Gabriela terlalu lemah untuk melawan amarah Rendi.
"Takut ya?" tanya Bara.
Gabriela mengangguk pasti, Bara turut mengangguk tanpa mengatakan apa pun.
"Ya sudah aku mandi, jemput ya, jangan sampai enggak."
"Siap, Nona."
"Oh iya, jangan telat, awas ya."
"Iya, aku akan datang tepat waktu, karena aku tidak mau mengecewakan kamu, teman terbaik ku."
"Terimakasih, teman terbaik ku."
Keduanya tersenyum, Bara lantas menutup sambungannya, Gabriela mengusap wajahnya perlahan.
"Tinggalkan saja, aku juga mau tinggalkan dia, tapi gimana kalau baru ngomong sedikit saja sudah dimarahi."
Gabriela menggeleng dan menyimpan ponselnya, pasti pada akhirnya mereka pisah juga karena lelaki yang sebelumnya juga seperti itu.
Mereka hanya bertahan sesaat saja, pada akhirnya Gabriela akan bebas juga dari jerat perjodohan itu.
"Huuuh .... sabar saja Riel, hanya sementara kamu harus berurusan dengan Rendi."
Gabriela mengangguk menyemangati dirinya sendiri, harapannya adalah tidak berjodoh dengan Rendi, jadi semoga saja Tuhan mengabulkannya.
Gabriela lantas turun dan memasuki kamar mandi, Gabriela harus segera turun agar bisa menemani Arin makan juga.