Malam ini Citra tak dapat tidur, kedua matanya seolah masih enggan untuk terpejam meskipun merasakan bahwa tubuhnya sudah ingin istirahat karena jika mengingat kegiatan yang Citra lakukan hari ini cukup padat dan tidak seperti biasanya.
Pikiran Citra masih melayang memikirkan tentang banyak hal atau salah satunya mengenai keberangkatannya ke asrama. Kalian ingat jika Citra mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sekolah menengah kejuruan, bukan?
Citra senang, tentu saja. Apalagi ini ia dapatkan dengan tidak ada bantuan dari anggota keluarganya bahkan tidak mengeluarkan sepeser uang pun baik dari sang kakak ataupun kedua orangtuanya. Tapi, yang menjadi pertanyaan dan membuat Citra bingung saat ini adalah apakah ia bisa tinggal dan menetap di asrama? Jauh dari semua anggota keluarga terutama jauh dengan sang ibu? Apa Citra bisa?
"Citra, lo harus yakin kalau lo pasti bisa!" monolog Citra berusaha meyakinkan dirinya dengan keputusan yang ia ambil yaitu akan tinggal di asrama.
"Toh, tinggal di asrama itu nggak selamanya, Cit. Cuma sampai lo lulus nanti."
Citra masih bermonolog sendirian di dalam kamarnya. Duduk di atas ranjang, bersandar pada headboard. Jangan lupakan bantal guling kesayangannya yang ia peluk erat.
"Kalau gue bakalan tinggal di asrama pasti bakalan kangen banget sama kamar ini." Kedua mata Citra menyapu bersih setiap penjuru ruangan kamarnya.
"Nanti siapa yang bakal tidur di sini? Apa Ayah? Atau Bunda?"
Anak bungsu dari pasangan Ian dan Nadin tersebut terus sibuk dengan berbagai pikiran dan pertanyaan yang ia lontarkan sendirian. Bertanya pada dirinya sendiri. Entahlah, cukup sering Citra melakukan hal seperti itu dan cukup menyenangkan baginya.
Sampai ia melihat ke arah jam dinding yang terpasang didalam kamarnya, tanpa terasa telah menunjukkan pukul sebelas malam. Melebihi satu jam dari jadwal tidur biasanya.
"Mampus! Kalau sampai ketahuan Bunda sama kak Alfa pasti udah diomelin, belum lagi kalau Ayah masuk ke sini," cetus Citra sempat melirik ke arah pintu kamarnya yang lupa belum ia kunci.
Memang, Citra jarang sekali mengunci pintunya selain karena faktor malas, Ayah dan ibunya juga sering masuk ke kamar sekedar untuk memeriksa keadaannya atau mereka yang ingin berbincang sejenak dengannya.
"Mending cepat tidur aja, deh." Kemudian dengan segera Citra merebahkan tubuhnya menghadap ke arah kanan tak lupa ia juga menarik selimut dengan motif bulan dan bintang. Salah satu selimut yang menjadi favoritnya meskipun terbuat dari bahan yang tipis tetapi mampu menghangatkan tubuhnya.
Semenjak lulus dari bangku sekolah menengah pertama, bangun tidur Citra menjadi tidak terlalu pagi seperti saat masih sekolah. Seperti saat ini saja contohnya, matahari yang sudah menampakkan sinarnya, ayam yang sudah berkokok menandakan pagi hari telah tiba tetapi seorang perempuan masih nyaman berada di atas ranjang empuknya, bergelung dengan selimut dengan mata yang terpejam rapat masih menikmati alam mimpi.
"Citra." Panggilan yang berasal dari luar kamarnya seperti suara dari Nadin — sang ibu.
"Cit, kamu udah bangun?" Tak ada tanggapan juga dari dalam kamar anak bungsunya.
"Pasti belum bangun," cetus Nadin yang sudah pasti benar adanya.
"Dek, ayo bangun! Udah siang, nggak baik anak perempuan bangunnya selalu siang terus." Lantaran tak kunjung mendapat balasan dari sang anak bungsu di dalam sana. Nadin segera membuka pintu kamar sang anak bungsu yang ternyata tidak terkunci.
Melihat sebuah buntalan kain yang membungkus rapat tubuh Citra, Nadin pun tersenyum lembut. Berjalan pelan menuju ranjang sang anak. Tangan kanannya tergerak untuk mengelus lembut rambut hitam Citra.
"Ung," lenguh Citra ketika merasa ada seseorang yang menggerayangi tubuhnya. Tubuh Citra memang tercipta sangat sensitif terhadap sentuhan. Bukan hanya itu tetapi juga sensitif terhadap suara.
Masih menampilkan senyuman lembutnya, "Bangun, udah siang," ucap Nadin.
Menganggukkan kepalanya beberapa kali sembari merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Perlahan Citra membuka matanya dan membiasakan cahaya yang masuk.
"Jam berapa, Bun?" tanya Citra dengan suara serak khas bangun tidur.
"Hampir jam tujuh." Mendengar hal itu Citra biasa saja. Ia sudah sering bangun lebih siang daripada sekarang ini.
"Cepat bangun, cuci muka habis itu bersih-bersih."
"Bunda nggak kerja?" tanya Citra sedikit melirik ke arah sang ibu.
"Nggak," jawab sang ibu. "Mau bantuin kamu 'kan nanti buat persiapin barang yang mau dibawa ke asrama," lanjutnya.
Oh, Citra bahkan hampir lupa jika ia harus mulai mempersiapkan barang apa saja yang akan ia bawa untuk di asrama.
Menjelang siang hari atau saat ini waktu telah menunjukkan pukul sebelas siang, Citra yang telah selesai dengan berbagai kegiatannya di rumah baik itu, mencuci piring dan baju pun kini berganti untuk mulai mempersiapkan barang yang akan ia bawa nantinya dan tentu dibantu oleh sang ibu.
"Bawa beberapa baju sama celana, dek."
"Jadi, nggak perlu terlalu banyak bawanya?" Citra bertanya.
"Nggak usah, bawa barang yang sekiranya adek butuhin aja nanti."
Bukan, itu bukan suara dari Nadin melainkan suara itu datang dari Ian — sang ayah yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu kamar Citra.
Berjalan masuk, Ian sempat melihat-lihat barang bawaan yang sedang si bungsu persiapkan dibantu oleh istrinya yang sibuk memilah dan memasukan beberapa barang.
"Barangnya masukkin semua ke dalam tas? Nggak di koper aja?" tanya Ian. Ia merasa kurang yakin dengan Nadin yang terus mencoba memasukkan barang-barang Citra hanya di dalam satu tas yang ukurannya saja tidak terlalu besar.
"Nggak usah pakai koper lah, yah. Paling juga barangnya nggak seberapa banyak." Sang istri menjawab.
Anggukan kepala Citra berikan, "Dan juga, aku cuma tinggal di asrama," tambahnya lagi.
Tak ada kalimat ataupun saran lagi yang Ian coba berikan karena ia pasti akan kalah juga nantinya. Sebagai suami merangkap ayah dan kepala keluarga ia yakin jika keputusan dan apapun yang sudah diurus langsung oleh istirnya pasti sudah dipikirkan secara matang dan baik. Jadi, pada akhirnya ia setuju saja.
Malam harinya, makan malam seperti biasa pun kembali terjadi di keluarga Citra. Empat orang dengan perbedaan usia juga status mereka yang berbeda tengah berkumpul bersama di satu ruang yang sama. Fokus menikmati dan menghabiskan hidangan makan malam hari ini.
"Citra, udah yakin mau tinggal di asrama?"
Menganggukkan kepalanya beberapa kali Citra berikan sebagai tanggapan. Tak menjawab dengan kalimat apapun karena mulutnya sibuk untuk mengunyah.
"Belajar mandiri, jauh dari Ayah sama Bunda," cetus sang ayah.
Citra hanya diam dan tetap menikmati makanannya. Enggan rasanya untuk menimpali pembicaraan yang sedang terjadi antara sang ayah dengan kakaknya.
'Gue takut, gue nggak mau tinggal di asrama tapi gue pengen coba. Gue pengen mandiri dan jauh dari keluarga.' Citra membatin dalam hatinya.
Menghembuskan napasnya perlahan, berusaha menenangkan diri, hati dan pikirannya yang sedang tidak sejalan meskipun ia merasa takut dan ragu untuk berangkat tapi Citra ingin mencobanya.
"Gue yakin, ini pasti yang terbaik dan gue bisa lakuinnya," gumam Citra pelan yang tanpa sadar didengar oleh Nadin yang duduk berdekatan dengan sang anak bungsu.