Chereads / Wicked Kingdom / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

Sebagai seorang Maiden, ada beberapa hal yang tidak boleh aku lakukan.

Yang terlarang untukku.

Oke, baiklah. Bukan hanya beberapa, tapi ada banyak.

Aku dilarang untuk menunjukkan wajahku di depan umum, aku dilarang untuk berteman dengan orang orang lainnya selain orang orang yang ada didaftar yang sudah dibuat oleh Raja dan Ratu, aku tidak boleh keluar dari Istana, aku tidak boleh berlatih untuk membela diriku, aku tidak boleh berbicara sembarangan, aku tidak boleh membantah, berdekatan dengan pria, dan berhubungan badan.

Dan...masih banyak lagi. Yang kebanyakan sudah aku lupakan.

Tujuan utama larangan larangan itu adalah agar aku tidak mendapat hukuman dari dewa dan ditemukan tidak layak untuknya. Namun, itu tidak menghentikanku untuk...mengalami hidup yang sebenarnya, merasakan kebebasan walaupun hanya beberapa menit, bersenang senang, dan melakukan apa yang aku sukai. Selain Maya, dan Eden, tidak seorang pun kecuali para dewa tahu apa yang sudah aku lakukan. Dan sejauh menyangkut para dewa, aku sudah lama memutuskan kalau mereka memiliki urusan yang jauh lebih penting untuk mereka lakukan daripada menghabiskan waktu untuk mengawasiku. Lagi pula, jika mereka memperhatikanku selama ini, mereka pasti sudah berurusan denganku karena kebanyakan hal yang sudah aku lakukan adalah yang menjadi larangan untukku.

Seperti yang sedang aku lakukan sekarang.

Aku memeriksa tudung berwarna hitam di kepalaku agar tetap berada di kepalaku. Aku melangkah santai mengitari ruangan, dan menyesap minuman berwarna merah yang diberikan salah satu pelayan wanita padaku. Setengah bagian atas wajahku ditutupi oleh topeng domino hitam yang kutemukan dibuang di Taman, dan aku mengenakan jubah hijau gelap yang aku curi, eh, pinjam dari Hella, salah satu dari banyak pelayan kastil.

Mudah-mudahan, Hella tidak mencari mantelnya yang hilang sebelum aku mengembalikannya besok pagi.

Meskipun tanpa topeng, aku bisa menghitung dengan satu tangan berapa banyak orang di Alyesburry yang sudah melihat wajahku, dan tidak satu pun dari mereka akan berada di sini malam ini. Sebagai Maiden, Yang terpilih, kerudung, dan topeng berenda biasanya menutupi wajah dan rambutku setiap saat, kecuali bibir dan rahangku.

Aku ragu ada orang yang bisa mengenaliku hanya dengan ciri-ciri ini, dan jika salah satu dari mereka tahu, tidak satu pun dari mereka akan tetap duduk. Aku akan diseret kembali, meskipun dengan lembut, pada Eden, Duke dan Duchess.

Tidak ada alasan untuk panik.

"Bergabunglah bersama kami, Lady." Ucap salah satu pria dengan baju hitam pendek, dan celana pengawalnya. Dia dengan sopan tersenyum padaku, yang aku balas dengan anggukan. Dia membimbingku untuk duduk di salah satu permainan kartu yang sedang berlangsung.

Di sana ada satu Pengawal yang sering kulihat mondar-mandir di halaman Kastil untuk berlatih atau sekedar berjaga jaga, dan juga ada dua pengawal lainnya yang kutebak adalah pengawal dinding Stige. Aku duduk di salah satu kursi, beberapa dari mereka menunduk kecil untuk menunjukkan sikap sopan kepadaku. Mereka mengira aku adalah salah satu Lady, dan aku memilih untuk tetap membuat mereka berpikir seperti itu. Seorang Lady adalah alasan yang cukup aman untukku.

Dan akhirnya aku memerhatikan permainan kartu yang mereka lakukan, dan menyimak obrolan mereka tentang kejadian akhir akhir ini.

Aku pernah melihat permainan kartu, dan ikut bermain bersama mereka sesekali. Aku bisa bermain kartu karena belajar dari Jason. Dia adalah kakak lelakiku yang sudah berada di ibu kota setelah melakukan Sanctusing dan menjadi salah satu Lord ; anggota Kerajaan yang membantu Raja dan Ratu menjalankan pemerintahan.

Sanctusing adalah salah satu ritual yang tidak aku atau siapa pun ketahui selain para Raja, Ratu, Imam Imam besar, dan Athame itu sendiri. Raja, Ratu, dan para Imam melakukan ritual rahasia mereka di kuil pada anak anak bangsawan pertama saat umur mereka mencapai dua puluh lima tahun. Lalu, setelahnya mereka akan berubah menjadi sosok yang berbeda.

Kami menyebutnya Athame. Mereka meninggalkan beberapa sifat manusia mereka dan menjadi sosok dengan kemampuan yang melebihi manusia. Mereka cepat, mata mereka berwarna merah, dan terasa dingin bagi manusia mana pun yang berada di dekat mereka. Tidak semua Athame menjadi Lord dan Lady, beberapa nya menjadi bangsawan dengan kelas tertentu yang membantu perekonomian seluruh kota di Kerajaan dan ada beberapanya menjadi prajurit Athame yang hanya akan digunakan saat perang.

Aku belum pernah bertemu dengan Jason setelah Sanctusingnya. Kami hanya berkirim surat selama ini untuk menanyakan kabar dan bercerita banyak tentang hari hari yang kami habiskan di tempat yang berbeda.

Duchess berkata kalau para Lord dan Lady dari Ibu Kota tidak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan jauh. Alasannya adalah banyak dari mereka yang sudah diculik, dan dijadikan tebusan. Sisanya, mati. Penyebabnya mungkin adalah Lamia, namun melihat kemampuan mereka membuatku ragu kalau penyebab utamanya adalah Lamia.

"Aku sudah menang dua kali." Seruan pelan dan tawa dari salah satu pengawal yang kutahu bernama Alrick membuatku tersenyum.

"Jangan heboh seperti itu di hadapan Lady." Rekan satu timnya, Rio, menginterupsi sembari menatapku sekilas menyiratkan permintaan maaf di matanya.

Aku masih tersenyum, "Tidak apa apa. Kalian bebas melakukan apa pun di hadapanku." Aku berucap.

"Itu akan termasuk tindakan tidak sopan."

"Aku tidak akan memaksa kalian menahan apa yang kalian inginkan hanya untuk bertindak sopan." Balasku dengan pelan.

Wajah mereka tampak terkejut sebentar, dan kemudian santai kembali.

"Kalau begitu aku bisa melanjutkan selebrasiku?"

Aku terkekeh tanpa suara dan mengangguk.

"Kau bisa menang hanya karena Finley tidak ada...." suaranya memelan di akhir kata. Semua terjadi begitu cepat, wajah mereka berubah menjadi murung dan sedih.

Apa Finley adalah salah satu korban di hutan itu? Apa dia tidak ada di sini karena menjalankan misi?

"Siapa Finley?" aku selalu penasaran dengan apa yang terjadi. Dan itu sepertinya membuatku berada dalam kesalahan karena tidak sepatutnya aku mengulik ulik tentang orang yang tidak kukenali atau bertanya seperti itu pada orang orang yang terlihat sedih akan duka seperti mereka.

Keheningan yang mencekam berlangsung beberapa detik sebelum aku angkat suara, "Kalian tidak perlu menjawabnya, aku..."

"Dia adalah salah satu korban." Ucap Dorian, pengawal yang membawaku ke sini.

Aku terkejut meskipun aku sudah menduga apa jawabannya. Tapi rasa duka dan kengerian itu masih ada, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka yang langsung berhadapan dengan sisa sisa tubuh dari korban itu saat dibakar tadi pagi. Yang pastinya, perasaan itu lebih mengerikan daripada milikku. Wajar jika mereka bersenang senang dan bermain kartu, itu dilakukan untuk melupakan apa yang sudah terjadi. Mereka tidak akan membiarkan diri mereka larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Semua orang di sini melakukannya demi merasakan itu.

"Aku turut berduka." Ucapku dengan tulus.

Mereka mengangguk singkat. "Sebenarnya itu tidak diperlukan, tapi Terima kasih banyak." Ucap Rio.

"Ini bukan pertama kali terjadi, sudah banyak kami kehilangan hidup teman teman seperjuangan kami.." Alrick melipat bibir, dan mendengus keras. "....hanya karena harus memberikan kehidupan pada rakyat lain yang bahkan tidak memedulikan apa pun selain harta dan makanan."

Aku juga setuju dengan itu. Seperti yang kukatakan, ada banyak hal mudah yang bisa membuat daftar korban berhenti jika saja rakyat dari distrik itu berhenti keras kepala dan bersikap angkuh. Mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka akan hidup dengan kemudahan, dan kami tidak akan kehilangan pengawal lagi. Tapi, semuanya sepertinya tidak akan berubah jika Duke dan Duchess tidak bersikap tegas dengan mereka.

"Turith berengsek." Rio mengumpat tajam dan kemudian menyesap botol berisi cairan emasnya.

Aku mengangguk setuju.

"Maafkan aku jika lancang, namun apa kau bisa, sebagai salah satu Lady, melakukan sesuatu? Seperti mengatakan pada Duke dan Duchess atau salah satu Lord untuk berhenti memberi mereka pasokan makanan dan berbuat tegas pada mereka agar mereka datang ke sini?" tanya Alrick yang membuatku mengerjap karena terkejut.

Jika aku benar benar menjadi Lady, mungkin aku akan melakukannya. Seingatku para anggota pemerintahan yang mengeluarkan pendapatnya dan saran, yang masuk akal, akan didengar dan dikabulkan saat sudah dirunding kan, namun sebagai Maiden....aku bahkan tidak diperbolehkan untuk berbicara banyak dan membantah.

Kemerdekaan yang siapa pun miliki adalah hal yang aku dambakan.

Dan aku...aku adalah Jasmine Morella dari Kastil Dorris, keluarga dari Morella, dan favorit Raja dan Ratu.

Aku adalah sang Maiden.

Yang Terpilih.

Dan dalam waktu kurang dari satu tahun, pada hari ulang tahunku yang ke dua puluh dua tahun, aku akan melakukan Sanctusing, seperti halnya semua anak anak bangsawan yang berusia tiga tahun di atasku. Sanctusing kami akan berbeda, namun acara itu akan menjadi yang terbesar sejak Berkah dewa Illbrus yang pertama, yang terjadi setelah berakhirnya Perang dua ribu tahun yang lalu.

"Aku tidak bisa menjanjikan apa apa pada kalian, tapi aku akan berusaha." Balasku dengan sungguh sungguh.

Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan untuk mewujudkan itu. Duke dan Duchess mungkin tidak akan memedulikanku, berpikir kalau selain aku yang merupakan Maiden yang terasa seperti tropi berjalan dan benda berharga, tidak ada lagi yang penting. Tapi jika aku tidak berusaha, maka itu akan tetap terjadi. Aku sudah muak mendengar korban korban yang selalu bertambah saat melakukan kegiatan rutin itu. Aku tidak bisa lagi. Siapa pun tidak mau merasakannya lagi. Beberapa menit kemudian, aku pamit dari sana.

Bergerak di antara meja meja, aku mengambil sampanye lagi yang ditawarkan oleh pelayan dengan tangan yang bersarung. Salah satu pengawal yang kutahu, bangkit dari duduknya dan menghampiri wanita yang memakai topeng sama sepertiku. Dia mendekat, membisikan sesuatu di telinga wanita itu, yang dibalas dengan anggukan. Pengawal itu menawarkan tangannya dan disambut dengan senyuman malu malu wanita itu.

Wanita itu berdiri, rok gaun ungunya jatuh seperti air di kakinya, dan pria itu membawanya keluar dari ruangan ini ke satu-satunya pintu yang terbuka untuk para tamu di kedua ujung kamar yang terhubung. Kanan keluar. Pintu di sebelah kiri mengarah ke kamar yang lebih pribadi di mana segala macam hal bisa terjadi. Pengawal itu menuntun wanita bertopeng itu ke kiri. Dia bertanya. Wanita itu berkata ya. Apa pun yang mereka lakukan di lantai atas, mereka akan disambut dan sesuai pilihan mereka, apakah itu berlangsung beberapa jam atau seumur hidup.

Perhatianku tertuju pada pintu lama setelah pintu itu tertutup.

Apa itu alasan lain aku ada di sini?

Untuk...merasakan kesenangan bersama dengan seseorang yang kupilih?

Aku bisa jika aku menginginkannya.

Aku sudah mendengarkan percakapan antara para pelayan, yang seharusnya dilarang untuk terus kudengarkan. Menurut mereka, ada… banyak hal yang bisa dilakukan wanita untuk mendatangkan kebahagiaan sekaligus menjaga kesuciannya.

Kesuciannya?

Aku benci kata itu dan makna dibaliknya. Seolah olah keperawananku menentukan bagaimana sucinya diriku, bagaimana baiknya diriku, bagaimana kepolosanku dan bagaimana layaknya aku atau ketiadaannya entah bagaimana lebih penting daripada sepuluh pilihan yang kubuat setiap hari. Bahkan aku bertanya tanya, apa yang akan dilakukan Dewa Illbrus jika aku datang padanya saat aku tidak perawan lagi? Apa mereka akan mengabaikan semua yang aku lakukan atau yang tidak lakukan hanya karena aku tidak perawan lagi?

Aku tidak yakin, tapi aku harap tidak. Bukan karena aku berencana bercinta malam ini atau minggu depan… atau selamanya, tapi karena aku ingin bisa memilih.

Jantungku berdebar kencang saat aku memaksakan diri untuk menyesap sampanye lagi. Gelembung lembut menggelitik bagian belakang tenggorokanku, menenangkan sensasi kering yang tiba-tiba di mulutku.

Aku menarik napas dalam-dalam dan melihat ke tempat yang kulihat sebelumnya. Kini, seorang wanita berbaju merah sudah berada di pangkuan salah satu pengawal. Dia sedang memeriksa kartu-kartunya, tapi tangannya terselip di antara kedua paha si wanita.

Demi Dewa yang suci.

Aku menggigit bibir, dan memalingkan muka. Aku menyelinap ke ruangan lain yang dipisahkan oleh dinding parsial di mana putaran permainan lain sedang dimainkan. Ada lebih banyak pengawal di sini, aku bahkan mengenal ada beberapa dari mereka adalah sebagai Pengawal pribadi beberapa Lord Istana.

Aku menyenderkan lenganku di dinding. Sampai saat ini, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bisa berpartisipasi dalam permainan kartu lain atau berbicara dengan salah satu dari banyak orang yang duduk di sekitar meja, tetapi aku tidak pandai berbicara dengan orang asing. Tidak diragukan lagi aku akan mengatakan sesuatu yang aneh atau mengajukan pertanyaan yang aneh.

Jadi itu bukan menjadi pertimbangan. Mungkin, ini sudah waktunya bagiku untuk kembali ke kamar. Waktu semakin menuju tengah malam, dan—

Sesuatu terjadi padaku. Kesadaran aneh menyapu diriku, dimulai dari sensasi kesemutan di sepanjang bagian belakang leher dan kemudian meningkat setiap detik.

Rasanya seperti ... seperti aku sedang diawasi.

Aku melihat sekeliling ruangan dan tidak melihat ada orang yang memperhatikan, tetapi aku berharap melihat seseorang berdiri di sampingku. Membayangkan betapa kuatnya perasaan itu. Ketakutan tumbuh di ulu hatiku.

Aku melangkah pelan menelusuri lorong lorong, namun kemudian berhenti di sebuah ruangan yang hanya tertutup oleh kain kasa. Aku terpaku saat melihat Lord Chambrey datang dari arah berlawanan bersama dengan satu lelaki yang kutahu adalah tangan kanannya. Untungnya mereka sedang berbicara, dan tidak memperhatikan aku yang berdiri terpaku seperti orang bodoh dengan mata membesar yang terkejut.

Dia masuk ke salah satu ruangan di samping ruangan yang hanya ditutupi oleh kain kasa. Apa yang dia lakukan? Kenapa, daripada bekerja, dia memilih bersenang senang?

Aku melangkah maju dengan pelan, dan berhenti di sisi pintu masuk ke ruangan. Aku mengedarkan pandangan dan melihat kalau sama sekali tidak ada orang di sini. Mungkin itu karena keberuntunganku atau mungkin tempat tempat ini adalah termasuk tempat privat juga.

Aku memejamkan mata, aku berusaha untuk menahan rasa penasaranku—yang kebanyakan—membuatku selalu berada dalam masalah.

Lord Chambrey adalah salah satu Lord yang aku hormati. Saat tidak sengaja bertemu dengannya, dia akan melemparkan senyum kepadaku, dan bersikap ramah padaku dibalik sifat sifat Athamenya yang dingin. Berbeda dengan salah satu temannya, yang merupakan Lord juga, yang sering melemparkan tatapan dingin padaku, yang kadang membuatku tidak nyaman.

Aku tidak menyangka kalau dia akan berada di sini, dengan perempuan dengan gaun berpotongan dada rendah dan bongkahannya yang menyembul, menantang. Bukannya para Lord, Lady atau Athame lainnya tidak diperbolehkan untuk bersenang senang, tapi mereka tampak seperti anggota yang tidak pernah menyisakan waktu untuk melakukan itu. Kupikir pekerjaan adalah salah satu kesenangan mereka.

Kebetulan juga, Lord Chambrey bersama dengan prajurit Athame, yang akan turun tangan untuk menyelidiki peristiwa kemarin. Mereka yang juga akan menggantikan para pengawal, yang kebanyakan hanya manusia biasa, untuk mengirim semua pasokan bahan makanan kepada rakyat Turith. Mengingat bagaimana kemampuan Athame, aku yakin mereka akan mudah menghabisi ancaman apa saja yang datang di hadapan mereka.

Dan, seharusnya dia tidak ada di sini, bukankah harusnya mereka menyusun rencana di Istana. Mereka seharusnya tidak menyenangkan diri.

Dan juga.... seharusnya aku pergi, dan berhenti penasaran.

Apa yang Lord Chambrey lakukan bukanlah urusanku. Aku seharusnya pergi ke kamarku. Tapi, aku masih berdiri di sini. Mencoba untuk mencari tahu apa yang Lord Chambrey lakukan. Walaupun aku tidak berjanji pada teman teman Finley, aku masih tetap ingin membantu mereka. Mungkin saja..Mungkin saja jika ada sesuatu yang janggal dari apa yang Lord lakukan malam ini, yang berkaitan tentang para mendiang itu, aku mungkin bisa melakukan sesuatu.

Aku mengangkat tanganku, menempelkannya di dinding merah gelap. Memejamkan mata dan mulai berkonsentrasi untuk membuka indraku.

Sesuatu yang sudah terselip di balik kulitku sejak lahir. Sebuah gema yang sudah kusembunyikan dan tersimpan dengan baik dan hidup di baik kulitku. Sesuatu yang sudah kulatih, sendirian, dengan baik.

Sesuatu bersenandung di balik kulitku, gema itu terdengar dan hanya aku yang bisa mendengarnya. Di dalam bayanganku yang gelap gulita, aku menciptakan sulur sulur emas. Sulur sulur yang tidak bisa dilihat siapa pun. Dia hadir tepat di sampingku, dan kemudian menembus masuk pintu merah yang baru saja dimasuki oleh Lord Chambrey. Aku mendengar gumaman percakapan Lord Chambrey dan tangan kanannya itu. Bukan hanya itu saja, aku juga mendengar suara percikan air yang berasal dari kamar mandi. Mungkinkah yang ada di kamar mandi adalah salah seorang wanita yang dia sewa?

Sulur sulur emas itu merambat di dinding, aku menjalankannya sembari memindai isi ruangan itu. Sebuah ranjang yang berantakkan, meja kecil di sudut ruangan dengan banyak kertas, sofa kecil dan botol alkohol di atasnya, kamar mandi di sisinya, jendela dengan kaca kusam, dan sisa kosong. Hanya patung patung kuno hiasan.

Aku menemukan Lord Chambrey duduk di sofa, dengan tangan kanannya tadi. Aku membuat sulur sulur itu merambat di atap berwarna hitam, dan kemudian turun ke dinding cokelat gelap yang berada tepat di atas mereka.

"Semua rencana itu bodoh, Luce." Suara Lord Chambrey terdengar kesal. "Prajurit bisa juga mati. Mereka bukan hanya hama pengerat, mereka juga monster. Kemampuan Athame tidak ada tandingannya dari mereka."

Luce itu menggeleng. "Jika saja prajurit selama ini berlatih dengan baik, maka kalian tidak akan dimangsa juga."

"Kau dan siapa pun tolol jika berpikir seperti itu."

"Ayolah, Tuanku. Itu hanya Lamia dan Aaret. Kemungkinan buruk apa yang akan terjadi memangnya?"

Aku bisa melihat fitur-fitur Lord Chambrey mengeras, mata merah khas Athame itu mendingin. "Bukan hanya Lamia, tapi Hutan itu adalah gudangnya monster monster mengerikan." Dia mendesah dengan kasar, "Dan, aku yakin, mereka yang diberi penghormatan tadi pagi bukanlah korban dari Lamia atau Aaret. Monster lain...yang pintar."

Oke, jadi di sini bukan hanya aku yang berpikir seperti itu.

"Sial..kau masih menyelidiki teori dan mitos konyol itu?"

"Itu—"

"itu bukan mitos konyol, Luce." Suara berat memotong mereka, aku menatap seorang pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia hanya muncul dengan kaos hitam pendek yang membuat tinta hitam di kulit bagian lengan atasnya mengintip, dan dia menggunakan celana panjang berwarna cokelat. Otot otot bisepnya tercetak di balik kaos tipis itu, rambut hitam kebiruannya yang basah berkilau dibawah sinar lampu mentega. Aku menelan ludah, dan hampir saja menarik indraku kembali saat melihat siapa yang berdiri dan melangkah ke sofa, dan duduk di sofa kecil di hadapan mereka.

Lord Damon.

Salah satu Lord, yang selalu terlihat dekat dengan Lord Chambrey. Dialah yang selalu menatapku dengan dingin, dan membuatku tidak nyaman. Aura tajam yang berada di dalam dirinya terkadang membuatku memilih menjauh saat tidak sengaja bertemunya. Bahkan ketampanannya yang tidak masuk akal, yang selalu membuat para Lady atau para pelayan tergila gila, tidak membuatku lengah. Itu malah membuat ketakutanku semakin bertambah.

Dia adalah salah satu Lord dengan mata hijau yang bercampur dengan warna cokelat keemasan, bukan merah seperti Athame kebanyakan. Duchess pernah berkata bahwa Athame dengan warna mata emas seperti itu adalah keturunan dari Athame pertama di dunia, dan dia berada di tingkatan yang sama dengan Duke Dorris. Kemampuannya juga jauh dibanding Athame lainnya. Melihat keangkuhan dan betapa sombongnya dia, aku tidak terkejut lagi.

Kebanyakan dari mereka tinggal di Latveria. Lord Damon adalah satu satunya keturunan Athame kuno yang memilih berada di sini.

"Cobalah untuk datang ke dalam hutan, dan lihat apa yang terjadi padamu selanjutnya. Otak tololmu akan berpikir dengan pintar kembali." Lanjutnya.

Luce hanya melipat bibir dan anehnya tidak berani melawan seperti yang dia lakukan pada Lord Chambrey tadi, sedangkan Lord Chambrey tersenyum miring.

Oke, jadi selama ini bukan hanya aku saja yang mengetahui kalau ada monster lainnya selain Lamia dan Aaret di dalam Hutan Nifl...itu wajar. Mereka adalah Athame yang sudah hidup beratus ratus tahun dan masih dianugerahi dengan wajah yang sama mudanya seperti terakhir kali mereka menjadi manusia.

"Kenapa kalian mengganggu waktu istirahatku?" tanyanya, menyender ke arah sofa.

"Kita harus berbicara tentang tugas tugasku."

"Itu bukan urusanku, Chambrey." Lord Damon memiringkan kepala, dia menyeringai dengan mengerikan, yang membuat indraku bergidik. Mata kehijauan dan keemasan itu bergerak ke arah lain, naik ke atas, dan berhenti tepat di tempat sulur tak kasat mataku berada.

Seluruh tubuhku bergerak tidak nyaman saat arah mata itu seperti menembus sulur sulurku.

Tidak mungkin dia menyadarinya, bukan?

Sama sekali tidak ada anggota Istana yang menyadari kekuatanku ini. Bahkan Duke sekali pun. Itu yang membuatku selalu berhasil mengetahui apa yang dia lakukan sehingga aku bisa menyelinap pergi saat dia repot atau lengah.

Duke jauh lebih tua dari Lord Damon.

Dia berusia dua ratus tahun, dan Lord Damon lebih muda darinya seratus tahun. Jadi, tidak mungkin ada kekuatan yang menyayingi Duke Dorris.

Lalu...kenapa dia terasa seperti bisa menembus indraku?

Aku menarik napas tajam, semakin mengeratkan telapak tanganku di dinding saat matanya kembali mengarah ke dua orang di depannya.

"Kita teman, Damon. Kau harus membantuku, setidaknya biarkan aku lolos dari Hutan—"

"Apa kau sadar kalau itu adalah misi yang penting?" potong Damon dengan nada merdu dan santai tetapi aku masih bisa mendengar ketajamannya dibalik suaranya itu.

Lord Chambrey mengangguk.

"Jangan bicarakan itu di sini."

"Ini ruangan kedap suara, siapa pun tidak akan ada yang mendengar kekacauan apa apu yang terjadi di dalam sini." Balas Chambrey.

Lord Damon tidak menjawab apa apa. Ruangan itu hening dengan rasa mencekam yang tiba tiba datang dan membuat bulu bulu kecil di bagian belakang leherku bergerak.

"Tidakkah kalian sadar..." suara Lord Damon sekeras batu. "...dinding dinding pun bisa menjadi telinga dan mata untuk seseorang."

Setelah itu, sesuatu terjadi padaku.

Jendela terbuka dengan kuatnya, angin masuk dengan brutal dan menerbangkan kertas kertas di atas meja. Sesuatu menghantam sulur sulur emasku sehingga aku menarik indraku kembali dengan brutalnya.

Tersentak, aku hampir saja menghantam dinding di belakangku dengan kuat. Jika saja aku tidak menahan diri, mungkin dentuman itu akan menarik perhatian beberapa orang di sini.

Napasku terengah engah, jantungku berdegup kencang dengan ketakutan.

Apa...

Apa itu tadi?