Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Kisah yang akan membuatmu merasakan cinta dalam kebimbangan yang luar biasa. Di saat dia yang kamu cintai menggenggam salib tetapi kamu menadahkan tangan di atas sejadah. Manakah yang akan kamu pilih? Sang Pencipta atau ciptaan-Nya?
***
Semarang, 18 Januari 2016.
Berbekal tabungan seadanya dan juga berbagai bakat terpendam yang ia miliki selama ini, Naina keluar dari rumah saat sepi. Ia langsung berlari menyusuri gang sempit rumahnya menuju ke jalan utama.
Di sana Imanuel sudah menunggu bersama sepeda motornya. Naina yang akhirnya sampai pun cepat-cepat naik dan Imanuel langsung tancap gas meninggalkan kampung kecil tempat tinggal Naina.
Mereka berhenti di sebuah kedai kecil di pinggir jalanan Kota Semarang dan memesan minuman di sana. Keduanya duduk berhadapan dengan jantung yang sama-sama seperti genderang perang. Naina lalu merogoh tas berukuran sedang yang ia bawa dan mengeluarkan buku rekening pribadinya.
"Aku ada tabungan segini," ujar Naina seraya menunjuk saldo terakhir yang ia miliki. Totalnya Rp 7.255.000 dan itu adalah bekalnya untuk memulai hidup bersama Imanuel.
Imanuel melihat angka-angka itu kemudian menatap kekasihnya seraya tersenyum, "nggak papa, aku juga ada tabungan dari pekerjaanku selama ini, kita mulai dari nol dulu yang penting sekarang kita bisa bersama," jawabnya seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga Naina.
"Kamu yakin kita akan kawin lari?" tanya Naina.
"Kenapa kamu tanya itu lagi, kamu sendiri yakin atau tidak?" Imanuel balik bertanya.
Naina menggenggam jemari Imanuel dan menatap kekasihnya itu lekat-lekat, "selama kamu bersamaku, rintangan apa pun akan aku lalui," jawabnya mantap.
"Tapi, kamu yang akan pindah agama, kamu nggak papa?" tanya Imanuel yang juga tampak ragu.
Naina tertegun. Ia merasa mungkin kini ia adalah manusia paling berdosa karena dia sanggup meninggalkan agama yang selama ini dipeluknya demi seorang insan ciptaan Tuhan. Apakah dia lebih menyayangi ciptaan-Nya dari pada Sang Penciptanya?
"Naina?" Imanuel memecah lamunan Naina.
Naina menatap Imanuel penuh cinta berbalut sendu, "tapi, kita benar-benar akan menikah kan?"
"Tentu saja, aku juga sudah pergi dari rumah, meninggalkan keluargaku, demi kamu, masalahnya kita tidak bisa menikah kalau agama kita masih berbeda," jawab Imanuel.
Naina memejamkan mata seraya menarik napas panjang. Hari ini teramat sangat menegangkan dan ia tak pernah membayangkan ini akan terjadi dalam hidupnya. Ia berusaha meyakinkan dirinya lagi kemudian menganggukkan kepala, "ya, yang penting aku bersamamu," jawabnya.
Imanuel tersenyum seraya menyentuh wajah Naina, "mungkin sekarang tidak mudah, tapi aku yakin selama kita bersama kita bisa melewati ini semua," tuturnya.
"Lantas, kita akan pergi ke mana?" tanya Naina.
"Kita akan ke Ambarawa, di sana aku ada saudara yang juga pindah agama karena sebelumnya memiliki masalah seperti kita, dia mungkin bisa membantu kita," jawab Imanuel.
Naina menganggukkan kepala, "baiklah, lebih baik sekarang kita berangkat sebelum malam semakin larut," ujarnya.
"Baiklah, ayo!" jawab Imanuel mantap.
Tepat jam 9 malam mereka meninggalkan Kota Semarang menuju Kabupaten Ambarawa. Mereka berangkat dari daerah Semarang Barat tepatnya di Mangkang dan perjalanan mereka akan memakan waktu sekitar satu setengah jam untuk sampai ke Ambarawa.
Selama perjalanan Naina terus memeluk Imanuel yang mengendarai motor. Pria itu pun menggenggam jemarinya erat-erat. Entah kenapa Naina merasa ini adalah saat terakhirnya bisa memeluk kekasih yang sangat dicintainya itu.
"Kamu kenapa, tanganmu bergetar, kamu kedinginan?" tanya Imanuel.
"Enggak, aku takut," jawab Naina seraya mengeratkan pelukannya.
"Tenang, nggak perlu takut, kita akan memulai hidup kita yang baru sekarang," tutur Imanuel.
Naina menganggukkan kepala berusaha menenangkan dirinya. Tanpa terasa mereka sudah berjalan cukup jauh. Mereka sampai di Kabupaten Ungaran tepatnya di daerah Pasar Karangjati.
Tiba-tiba seorang pengendara motor melaju sangat kencang berusaha menyalip Imanuel dan Naina. Tetapi tampaknya pengendara motor itu sedang mabuk atau mengantuk karena dia tanpa sengaja menyenggol motor yang ditumpangi Imanuel dan Naina.
Motor Imanuel pun oleng dan Imanuel juga tidak bisa menjaga keseimbangan. Sungguh sial si pengendara tadi jatuh tepat di depan mereka dan tergeletak di tengah jalan. Imanuel pun berusaha menghindar hingga motornya berbalik arah.
Sebuah mobil mini bus tiba-tiba saja muncul di hadapan sepasang kekasih itu dan menabrak keduanya hingga terpental cukup jauh. Motor mereka ringsek di pinggir jalan. Imanuel jatuh dan kepalanya terbentur trotoar hingga darah langsung mengucur deras membasahi jalanan.
Sementara Naina tergeletak tak jauh darinya, masih bisa membuka matanya walau darah segar mengucur deras dari lubang hidungnya. Ia melihat Imanuel di depan matanya. Bersimbah darah dengan mata terbuka. Ia tahu saat Imanuel telah tiada.
Naina pun mengulurkan tangannya. Dengan terseok berusaha meraih kekasihnya yang sangat ia cintai tak peduli seluruh tubuh terasa sakit karena baru saja terbanting ke jalanan. Air matanya mengalir deras tak kuasa melihat kekasih yang teramat sangat ia cintai pergi tepat di depan matanya.
"Imanuel..." Naina meratap dengan suaranya yang lemah setelah ia berhasil meraih jemari Imanuel yang berlumuran darah. Orang-orang di sekitar tempat kejadian pun langsung berkerumun dan sayup-sayup mulai terdengar sirine ambulance dan polisi.
Jasad Imanuel langsung ditutup menggunakan beberapa lembar koran sementara Naina dibawa orang-orang untuk segera ditolong karena dia masih hidup. Saat tubuhnya diangkat Naina masih erat menggenggam jemari Imanuel.
Tidak. Naina tidak ingin melepasnya bahkan sampai ia mati. Tetapi ia terlalu lemah dan genggaman itu akhirnya terlepas juga. Naina melihat dengan tidak jelas orang-orang yang menolongnya. Rasanya ada kabut tebal yang menghalangi pandangannya hingga akhirnya ia tak bisa melihat apa pun.
Naina terbangun di rumah sakit dan kedua orang tuanya sudah duduk di sisi ranjang dengan muka cemasnya. "Bapak, ibu..." gumamnya dengan suara lemah.
"Naina, Ya, Allah, akhirnya kamu sadar," sang ibu langsung memeluk Naina dengan tangis harunya, "ibu takut ada apa-apa sama kamu," ujarnya.
Ingatan saat kecelakaan itu terjadi kini berputar dalam kepala Naina. Ia ingat dengan jelas Imanuel yang bersimbah darah dengan mata terbuka di depan matanya. "Imanuel mana?" tanyanya seraya menahan air mata karena ia sudah tahu apa yang terjadi pada Imanuel.
Ibu dan bapak Naina saling pandang kemudian dengan terbata si ibu menjawab, "sabar, nak, mungkin kalian tidak berjodoh."
Air mata langsung meleleh dari sudut mata Naina. Tidak mungkin. Ia sangat berharap Imanuel masih bisa selamat. "Apa maksud ibu, Imanuel mana?" tanyanya lagi.
Si ibu ikut menangis, "Imanuel sudah ada surga, nak, pagi ini dia dimakamkan," jawabnya tak kemudian memeluk Naina lagi.
"Enggak! Nggak mungkin! Imanuel nggak mungkin pergi secepat ini," ratap Naina dengan air mata yang semakin deras membasahi wajahnya.
"Sabar, nak, ini sudah kehendak Tuhan," ujar si bapak yang sedari tadi duduk di kursinya.
"Nggak mungkin, aku ketemu dia, mana dia, bu, aku harus ketemu, nggak mungkin dia meninggal, nggak mungkin!" Tiba-tiba kepala Naina terasa sakit dan dengan cepat pandangannya menjadi gelap dan ia tak sadarkan diri.
***
Naina membuka matanya lagi. Ia melihat langit-langit kamarnya dan cahaya matahari menyelinap masuk dari celah-celah jendelanya. Naina bangun seraya memegangi kepalanya yang pusing.
Tetapi kemudian ia terkejut karena tak merasakan adanya luka di kepalanya atau di seluruh bagian wajahnya. Naina lalu membuka selimutnya cepat. Tangan dan kakinya mulus tanpa cela padahal ia ingat dengan jelas seluruh tubuhnya mengalami luka yang cukup berat dan bahkan rasa sakit itu masih bisa ia rasakan. Lantas, ke mana semua luka-lukanya itu.
Tiba-tiba ponsel Naina berdering. Naina mengambil ponsel yang ia letakkan di meja kecil di sisi ranjangnya. Tertera nama Imanuel di sana. Mata Naina terbelalak dan ia membekap mulutnya.
Dengan gemetar Naina mengangkat telepon itu, "ha-halo?"
"Halo, sayang!" terdengar suara Imanuel di seberang sana yang membuat Naina semakin terkejut. Apakah kecelakaan itu hanya mimpi? Tapi, jika itu mimpi kenapa terasa nyata sekali? Apa ini sebenarnya?