"Karena hal tersebut, Dewan Direksi akan mengadakan rapat darurat besok pagi pukul 10.00," lanjut Pak Jeremy.
"Baik, saya mengerti. Kalau begitu, tolong persiapkan semua data yang diperlukan untuk rapat nanti. Jangan sampai ada data yang tertinggal satu pun!" perintah Pak Husni kepada sang sekretaris. Pak Jeremy mengiyakan, kemudian dia mengakhiri teleponnya.
Tiba-tiba Pak Husni merasa pusing sekali. Kepalanya terasa berat, badannya jadi terhuyung-huyung. Melihat hal itu, Lidya segera menghampiri papanya. Dia memapah Pak Husni menuju sofa. Kemudian, mereka duduk. "Papa kenapa? Bagian mana yang sakit?" tanya Lidya penuh kekhawatiran.
"Papa baik-baik saja, Nak. Hanya sedikit pusing saja. Kamu tidak perlu khawatir." jawab Pak Husni dengan santainya.
"Bagaimana bisa aku tidak khawatir? Papa sudah tidak muda lagi, jangan terlalu kecapekan apalagi banyak pikiran. Aku akan menghubungi dokter sekarang. Papa istirahat saja di sini. Mengenai masalah perusahaan, biar aku yang tangani." ucap Lidya tergesa-gesa.
Pak Husni terkejut, "Bagaimana Lidya bisa tahu? Jangan-jangan, dia telah mendengar semuanya!" batinnya.
Pak Husni berusaha menyembunyikan permasalahannya itu. Dia segera menahan niatan Lidya, "Tidak perlu panggil dokter, Nak. Papa baik-baik saja, hanya perlu istirahat sejenak. Mengenai perusahaan, itu bukan masalah besar, papa masih bisa tangani sendiri."
Lidya pura-pura mengalah di depan papanya. Padahal, dia sedang menyiapkan sebuah rencana untuk membantu Pak Husni secara diam-diam. "Terpaksa, aku harus melakukan cara ini!" batinnya.
***
Malam harinya, sekitar pukul 07.00, Adrian menerima pesan singkat dari Lidya. "Kamu masih di kantor?" tanya Lidya di dalam pesan tersebut.
Seperti biasa, Adrian mengumpat ketika sang istri menghubunginya.
"Ya, aku masih di kantor. Memangnya kenapa?" balas Adrian dengan sinisnya.
"Kalau kamu sudah pulang, tolong temani aku minum! Aku sudah berada di The Back Room Thamrin sekarang. Aku butuh teman bicara, hanya kamu yang bisa kuandalkan, suamiku."
Adrian merasa heran. Karena baru pertama kali Lidya mengajaknya minum bersama. "Sepertinya, ada yang tidak beres." pikir Adrian. Merasa sedikit khawatir, Adrian menyanggupi permintaan istrinya itu, "Baiklah, dua jam lagi aku akan ke sana."
Lidya menyeringai ketika membaca balasan dari Adrian. Batinnya berkata, "Tak kusangka, begitu mudahnya kamu masuk ke dalam perangkapku. Saatnya pertunjukkan, Adrian!"
Saat menghubungi Adrian, Lidya sudah berada di tempat tujuan. Dia memoles pipinya dengan blush-on berwarna merah agar terlihat sedang mabuk berat. Agar aktingnya semakin maksimal, dia terpaksa meneguk satu seloki Kraken Black. Ini pertama kalinya dia meneguk minuman tersebut. Setelah meminumnya, tiba-tiba dia merasa sangat pusing. Dia merasa kepalanya seperti sedang berputar-putar dan juga terasa begitu berat.
Dia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak mabuk. Lama-lama, Lidya merasa kerongkongannya sangat kering. Dia segera meminta sebotol air mineral kepada sang bartender. Dirinya merasa lebih baik setelah menenggak air tersebut. Lambat laun, rasa peningnya pun hilang.
Satu jam kemudian, tepatnya pukul 21.00, Adrian tiba di The Back Room. Pria itu celingak celinguk mencari istrinya. Melihat suaminya telah datang, Lidya segera melancarkan aksinya. Wanita itu menghampiri dan berpura-pura menyambut hangat suaminya. "Eh suamiku sudah datang." Dia memeluk Adrian, kemudian mengecup pipi kanannya. "Ayo duduk di sini, Sayang!" ajak Lidya sembari mengarahkan.
Adrian pun duduk. Pertama-tama, dia bertanya, "Mengapa kamu ingin menemuiku di tempat seperti ini? Bukankah kamu tidak suka minum-minum?"
Lidya menjawab dengan entengnya, "Siapa bilang aku tidak suka minum-minum? Aku sering kok menghabiskan waktu di sini. Kamunya saja yang tidak tahu."
"Heuh ... untuk apa aku tahu? Itu bukan urusanku!" ucap Adrian dengan sinisnya. Lidya tidak merespons ucapan suaminya itu. Selain sudah terbiasa, dia juga tidak mau berdebat panjang lebar karena hal tersebut bisa merusak semua rencananya. Dia pun segera mengalihkan topik pembicaraan.
Lidya berusaha sekuat tenaga untuk tetap ramah kepada Adrian, meskipun dirinya sedang dalam keadaan emosi. Dia pura-pura tersenyum sambil bertanya, "Oh ya, bagaimana kerjaanmu di kantor? Apakah ada kendala?"
"Tidak, semua baik-baik saja. Memangnya kenapa?" tanya Adrian mencurigai.
"Tidak apa-apa. Hanya tanya saja. Sebelum berbincang lebih jauh, bagaimana kalau kamu pesan minuman terlebih dahulu?" tawar Lidya
"Ide bagus. Berhubung kita sama-sama suka minum, aku mau pesan sebotol Drambuie 15 Year Old untuk kita berdua." pinta Adrian. Lidya pun memanggil pelayan untuk memesan minuman tersebut.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawakan pesanan. Lalu, Adrian menuangkan Drambuie ke dalam gelas miliknya dan juga ke dalam gelas milik Lidya. Sontak, Lidya terkejut. Dia baru saja sadar dari mabuknya, sekarang malah disuruh mabuk lagi.
"Tak perlu berlama-lama, kamu mau cerita apa?" tanya Adrian sambil meneguk seseloki Drambuie. "Papa sudah mulai sakit-sakitan. Kemarin, dia pingsan setelah mendapat telepon dari sekretarisnya. Entah berita apa yang dia dapat. Yang jelas ... aku sebagai anaknya merasa gagal karena tidak bisa mengurusnya dengan baik." Seketika, air mata Lidya mengalir begitu saja.
Baru kali ini, Adrian merasa iba melihat istrinya menangis. Dia mencoba menenangkannya. Adrian menepuk-nepuk pelan bahu istrinya, agar dia merasa tenang. Dalam hati, Lidya sorak-sorak bergembira karena dia berhasil menjebak suaminya itu. Sementara, Adrian sama sekali tidak curiga kalau Lidya sedang berakting.
Setelah tangisnya reda, Lidya memberikan pertanyaan jebakan kepada Adrian, "Berhubung papa sudah mulai sakit-sakitan, bagaimana kalau kamu saja yang mengambil alih perusahaan? Karena aku tidak tahu caranya mengelola perusahaan itu harus seperti apa."
"Mengapa harus aku?" tanya Adrian.
"Karena kamu bisa diandalkan. Oleh karena itu, aku memilihmu." jawab Lidya.
"Baiklah kalau kamu menginginkannya, aku akan penuhi permintaanmu."
Lagi-lagi, Adrian masuk ke dalam perangkap Lidya untuk yang kedua kalinya.
"Kalau begitu, mari kita bersulang!" ajak Lidya. Adrian menuangkan lagi minuman ke dalam gelasnya. Mereka pun bersulang. Lidya pura-pura meminumnya.
Adrian merasa kepalanya sedikit berputar. Dia mengejapkan mata sambil memijit-mijit dahinya. Sepertinya, dia sudah mulai mabuk. Melihat situasi tersebut, Lidya bergegas mengambil langkah selanjutnya. Dia mengeluarkan selembar dokumen, lalu menyodorkannya kepada Adrian.
Adrian memicingkan kedua matanya ketika melihat Lidya menyodorkan selembar kertas, "Apa ini, Lidya?"
"Ini adalah dokumen penyerahan kepemimpinan perusahaan papa. Jadi, kamu harus tanda tangan di dokumen ini sebagai bukti bahwa kita berdua sudah sepakat!"
Adrian tidak bisa melihat dengan jelas isi dokumen tersebut. Penglihatannya agak kabur setelah meminum whiskey. Selain itu, kepalanya lama-kelamaan semakin terasa pusing.
"Kamu kenapa?" tanya Lidya pura-pura khawatir.
"Entahlah, kepalaku terasa sakit sekali." Adrian meringis sambil memegang dahinya.
"Lalu, bagaimana dengan dokumennya?"
"Bagaimana kalau besok saja tanda tangannya? Aku tidak bisa tanda tangan begitu saja sebelum aku baca dokumennya."
"Oh, jadi kamu meragukanku? Baiklah, kalau begitu, aku akan perintahkan orang lain saja untuk menggantikan posisi papa." Lidya mengambil kembali dokumen tersebut dari hadapan Adrian.
Seketika, Adrian pun langsung menahan Lidya, "Eh eh tunggu Lidya! Baik, aku akan tanda tangan sekarang." Adrian mengambil pena dari dalam kantung jasnya, kemudian membubuhkan tanda tangan di atas dokumen tersebut. Melihat hal tersebut, Lidya tersenyum penuh dengan kemenangan. Akhirnya, rencana yang sudah disusun berjalan dengan baik, walaupun ada sedikit hambatan.