Raja membuka matanya. Dia sedang berdiri mematung di sebuah tempat asing. Seperti sebuah pasar namun tidak terlalu ramai. Tidak ada hiruk pikuk lalu lintas. Jalanan yang ada pun tidak beraspal. Hanya batu-batu yang ditata dengan rapi oleh tangan ahli. Tidak banyak orang melakukan jual beli. Raja yang dipandangi secara aneh oleh orang yang sedang berpapasan dengannya, melemparkan pertanyaan secara sopan.
"Boleh tahu ini daerah mana ya Ki?" Orang itu memandang heran. Selain berpakaian aneh, pemuda ini mungkin seorang pengelana yang tersesat jalan.
"Kau sedang berada di ibukota kerajaan Galuh Pakuan, Jang."
-----
Sin Liong membuka matanya. Pemuda ini langsung kebingungan karena sedang berdiri di gerbang sebuah padepokan yang bertuliskan huruf pallawa. Sin Liong dengan terbata-bata membacanya. Padepokan Maung Sakti.
Sebuah suara mengejutkan datang dari arah belakangnya, Sin Liong buru-buru membalikkan badan.
"Kisanak hendak bertamu ke padepokan? Mangga dihaturanan." Orang berbaju serba hitam dengan ikat kepala merah itu dengan ramah mengajak Sin Liong memasuki gerbang. Sin Liong dengan patuh mengikuti. Dia tidak tahu berada di mana dan teman-temannya juga menghilang entah kemana. Lebih baik dia mencari informasi sebanyak-banyaknya dengan mengenal orang yang terdekat saat ini.
-----
Kedasih membuka matanya. Doktor ahli sejarah ini gelagapan karena terminum air. Dia berada di antara para perempuan yang sedang asik mandi dan bercengkrama di sebuah sendang yang bening dan indah. Di lereng sebuah gunung yang dikenal betul sosoknya oleh dirinya yang ahli sejarah. Gunung Ciremai.
Dia sedang mandi di sebuah sendang di lereng Gunung Ciremai! Ya ampuun! Tapi bersama siapa? Para perempuan itu semuanya berwajah cantik dengan gerakan yang begitu gemulai di air. Apakah dia masuk Gerbang Waktu lalu tersesat ke negeri jin?
-----
Citra membuka matanya. Dia tahu sedang berada di mana. Duduk di taman istana sambil membaca buku sastra sedangkan di belakangnya para dayang dengan sangat hati-hati menyisir rambutnya yang panjang berkilauan.
Terdengar derap langkah beberapa orang menuju tempat ini. Seorang dayang berbisik di telinganya.
"Tuan Puteri, utusan Baginda Raja sepertinya ingin berbicara dengan Tuanku."
Citra menoleh dan mengerutkan keningnya. Dia paling tidak suka diganggu saat ingin sendirian seperti ini.
"Ampun Tuan Puteri. Ayahanda Baginda Raja memanggil Tuan Puteri ke Balairung Istana."
"Ada urusan apa?" meskipun ketus, suara Citra tetap halus.
"Ampun Tuan Puteri. Hamba tidak mengetahuinya secara rinci dan pasti. Tapi panglima menyampaikan kepada hamba tadi bahwa Tuan Puteri ditunggu untuk membahas surat dari Baginda Raja Majapahit."
Astaga! Citra hampir lupa! Dia sudah kembali ke masanya. Itu pasti surat lamaran. Aku harus menolaknya. Duh! Raja di mana ya?
-----
Mada membuka matanya. Alisnya yang tebal berkerut. Dia gagal menghalangi mereka membuka Gerbang Waktu. Sekarang dia sedang di atas kuda yang membawanya menuju istana Majapahit untuk menghadap Baginda Raja Hayam Wuruk. Ada rapat penting membahas surat permintaan Baginda Raja Hayam Wuruk kepada Baginda Raja Galuh Pakuan untuk melamar putrinya. Putri Dyah Pitaloka.
Bagaimana caraku mengatasi ini semua? Putri manjing yang sudah kembali ke masanya itu pasti akan merencanakan sesuatu untuk membatalkan lamaran ini. Mada menggaruk kepalanya. Tidak sadar bahwa pasukan pengawal di belakangnya memandang terheran-heran. Tidak biasanya Mahapatih Gajah Mada bertingkah aneh dengan menggaruk-garuk kepala seperti itu.
-----
Putri Calon Arang membuka matanya. Hawa dingin menusuk sekaligus rasa panas yang diiringi bau menyengat belerang langsung menyambut kehadirannya. Putri Calon Arang berusaha menebak dia sedang berada di mana. Jika melihat kepundan di hadapannya yang mengepulkan asap dengan puncak Merapi yang dikenalnya nampak dari kejauhan, dia sedang berada di puncak Merbabu.
Aku harus segera ke Ibukota Majapahit. Mada pasti membutuhkannya di sana. Terutama karena putri manjing itu sudah kembali ke Galuh Pakuan dan pasti akan berbuat sesuatu dibantu teman-temannya untuk membelokkan sejarah dengan merubah peristiwa yang memulainya saat ini.
Putri Calon Arang menggerakkan kakinya. Tubuhnya melesat seperti kilat turun dari puncak Gunung Merbabu.
----
Puteri Merapi membuka matanya. Wanita ini nyaris terpeleset jatuh jika tidak segera melompat ke belakang. Di hadapannya terlihat jurang dalam menganga lebar. Puteri sakti ini mengarahkan pandang matanya ke puncak gunung yang berdiri kokoh di hadapannya. Puncak Merapi. Puteri Merapi nyaris melompat kegirangan kalau tidak ingat bahwa dia sedang berada di pinggir jurang di atas Pasar Bubrah.
Dia tidak akan kemana-mana. Inilah yang diidam-idamkannya sampai mau membantu Mada. Menjadi penguasa Merapi yang agung. Sebelum para Eyang itu hadir dan mengusirnya dari sini beberapa puluh tahun lagi. Puteri Merapi melengkingkan tawa yang menakutkan sambil mengayunkan langkah menuju puncak Merapi.
-----
Hoa Lie membuka matanya. Dia tengah berada di tengah hiruk pikuk yang menguarkan aroma asin di udara. Gadis tangguh dari China ini memejamkan matanya setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kenapa dia tiba-tiba berada di sebuah pelabuhan yang ramai dengan kapal-kapal kayu banyak bersandar di hadapannya. Tidak ada kantor Syahbandar. Tidak ada terminal kargo. Tidak ada satupun kapal bermesin yang nampak di antara puluhan kapal yang ada. Hoa Lie menghela nafas panjang. Dia ikut terseret masuk ke dalam Gerbang waktu. Dia akan mencari tahu sedang berada di pelabuhan mana. Dia hanya yakin satu hal. Dia berada di abad ke-14 dan sedang berdiri di sebuah pelabuhan dari banyak pelabuhan di Nusantara.
Hoa Lie melangkah menuju sebuah warung kecil yang menjajakan jajanan pasar. Perutnya juga sudah lapar. Tapi bagaimana caranya membayar nanti? Gadis itu melambaikan tangan. Ah, itu urusan nanti. Paling penting makan dulu sebelum mulai menelisik situasi dan membuat rencana.
-----
Giancarlo membuka mata. Apa yang terbersit dalam pikirannya adalah dia berhasil masuk ke masa lalu lewat Gerbang Waktu. Tubuh lelaki tinggi kurus berkebangsaan Eropa ini terayun-ayun kesana kemari karena gelombang tinggi sedang menghantam kapal yang dinaikinya. Giancarlo memeriksa keadaan sekeliling. Dia berada di geladak kapal kayu berukuran besar yang sedang berusaha mengikuti arah gelombang untuk melakukan pendaratan di pelabuhan. Pelabuhan itu sudah dekat. Giancarlo bisa membaca papan nama besar yang bisa dibaca dari jarak tempatnya berdiri. Tuban.
Giancarlo menghela nafas berulang-ulang. Tubuhnya sedikit gemetar. Dia berhasil masuk ke masa lalu yang penuh dengan benda antik dan kuno yang selalu diburunya. Dia berada di zaman ketika emas dan perak ditukar kuda. Dia harus mencari harta sebanyak-banyaknya di sini sebelum kembali.
Kembali? Giancarlo tertegun. Bagaimana caranya kembali ke masanya sendiri?
T A M A T