Dua sepeda motor trail itu melaju kencang di jalan raya Mojokerto-Jombang. Sin Liong dan Raja memilih untuk melalui jalan raya. Hari sudah terlalu malam untuk pulang menggunakan jalur 2. Lagipula mereka sudah terlalu lelah untuk berjibaku dengan jalan jelek dan tidak rata. Lapar sudah hilang. Mereka akhirnya memutuskan menghabiskan bekal dari Citra di pinggir sungai tadi. Rasa asin tidak lagi dirasakan oleh kedua pemuda yang belum makan sejak pagi itu. Semuanya tandas tak bersisa. Kali ini rasa bersalah Raja beralih ke kucing-kucing liar. Dia merasa telah menghabiskan jatah mereka.
Waktu tempuh yang biasanya 2-3 jam dilibas oleh Raja dan Sin Liong hanya dalam 1,5 jam. Mendekati pukul 9 malam mereka sudah sampai di Bunker. Citra dan Kedasih menyambut mereka di teras. Kedasih sudah hendak membuka mulut menanyakan hasil penyelidikan, namun membatalkannya karena dicubit oleh Citra.
"Biarkan mereka mandi dan makan dulu. Lihatlah muka kuyu dan perut kempis itu."
Kedasih nyengir. Dia benar-benar ingin tahu apa yang mereka temukan setelah menggunakan peta dari Babah Liong. Super penasaran.
Setelah mandi dan makan kedua kalinya hari ini, Raja dan Sin Liong duduk di ruang tengah bersama Citra dan Kedasih. Rasa lelah sudah punah terkena siraman air dingin dan 2 mangkuk sop ayam. Kali ini Kedasih yang memasak. Diam-diam Raja dan Sin Liong bersyukur.
"Jadi?" Kedasih menatap kedua pemuda itu dengan penuh harap.
Sin Liong sengaja berlama-lama menyesap kehangatan kopi tubruk di hadapannya. Sementara Raja sedang asik dengan pisang goreng yang masih mengepul panas. Kedasih menjadi kesal. Matanya melotot marah. Buru-buru Sin Liong memberikan jawaban.
"Kami menemukan sungai yang dimaksud Resi Saloko Gading. Bahkan beliaulah yang memberi petunjuk langsung tadi." Sin Liong menceritakan secara panjang lebar apa yang terjadi hingga petang tadi.
"Wah! Wah! Apa maksudnya aku dan Citra naik dari sungai di bawah sementara kalian tidak?" Kedasih mengejar.
Sin Liong menjawab tegas.
"Terlalu berbahaya jika kalian ikut naik dari sungai di goa. Arusnya sangat deras. Kalian menunggu di bawah bukit sementara kami berangkat dari sungai goa. Lagipula jauh dari kemungkinan ketahuan jika kami merakit kataraft dan perlengkapan lainnya di dalam goa dibanding di tempat terbuka."
Raja melanjutkan penjelasan Sin Liong.
"Mada mengirim patroli hingga ke tempat-tempat yang jauh dari Bukit Bubat. Mungkin dia sudah mencium gelagat tapi tidak tahu apa pastinya sehingga mengambil keputusan memperketat pengawasan."
"Apakah kalian yakin tidak berbahaya bagi kalian untuk memulainya dari sungai goa?" Citra bertanya.
"Kami yakin bisa mengatasinya. Jangan khawatir Putri, sungai di dalam goa itu memang deras bukan main tapi cukup aman karena dinding lebar dan langit-langitnya cukup tinggi."
Citra percaya. Tapi untuk memastikan dia menatap Raja. Meminta pendapatnya. Raja jadi gugup. Dia dan Sin Liong sebetulnya belum bersepakat apa-apa.
"Iya. Kami bisa melakukannya. Untuk membawa perlengkapan yang cukup banyak memang sebaiknya melewati goa di tebing itu. Tidak kentara dan menerbitkan kecurigaan bagi siapapun yang kebetulan melihat."
Citra mengangguk. Kedasih menimpali lagi dengan pertanyaan.
"Tapi apakah posisi menunggu kami di sungai bawah aman dan dijamin tidak akan ketahuan? Bukankah kalian bilang tadi tempat itu dekat dengan jalan setapak tempat patroli pasukan Mada?"
Sin Liong berdehem lirih. Benar juga.
"Oleh karena itu kalian harus dalam posisi bersembunyi sampai kami tiba di tempat kalian."
"Bukankah kamu bilang pinggiran sungai itu lapang dan tidak ada belukar dan pepohonan?" Kedasih menelisik dengan ketat. Ini kesempatan satu-satunya bagi mereka. Keberhasilan misi ini sangat bergantung pada rencana. Sedangkan rencana yang sempurna harus memiliki detil yang paripurna.
"Kalian bisa menunggu di tempat kami tadi. Di lereng bukit yang masih rimbun dengan pepohonan dan semak belukar." Raja membantu menjawab.
"Yup. Kita akan membawa HT sebagai alat komunikasi untuk memberitahu kalian jika kami hampir sampai supaya kalian juga cepat-cepat turun bersiap di pinggir sungai."
Sepertinya Kedasih dan Citra sudah puas dengan semua rencana. Tapi rasanya ada yang masih kurang dari rencana ini. Hal kecil namun sangat penting.
"Bagaimana kita bisa tahu lokasi yang tepat untuk mendarat di gua di Bukit Bubat? Bukankah sungai bawah tanah itu cukup panjang hingga jauh ke bawah Bukit Bubat?" Citra melemparkan pertanyaan yang sangat penting. Dilanjutkan dengan kekhawatiran Kedasih.
"Setelah mendarat pun apakah kita bisa memastikan tidak ada satupun dari Puteri Merapi dan kawan-kawannya telah menunggu kita di sana?"
Raja rupanya sudah siap dengan pertanyaan kedua.
"Mereka tidak punya akses ke sungai bawah tanah di goa tempat Gerbang Waktu berada. Aku sangat yakin tentang hal itu. Jika mereka punya akses tersebut, pasti sudah lama mereka mengantisipasi dan melakukan penjagaan ketat. Mereka tidak tahu sama sekali tentang jalur rahasia itu. Seperti yang telah disampaikan oleh Resi Saloko Gading kepadaku."
Sin Liong mengerutkan keningnya. Pertanyaan Citra sangat tepat. Bagaimana mereka bisa memastikan mendarat di tempat yang tepat nanti? Apakah mungkin ada tanda tertentu? Dan siapa yang tahu tanda itu?
"Seandainya kita bisa komunikasi dengan Resi Saloko Gading dan menanyakan hal ini, aku yakin masalah pendaratan akan bisa terpecahkan." Tercetus kalimat dari Raja yang juga sedang berpikir keras.
Sin Liong mengangkat kepalanya. Itu satu-satunya cara. Bertanya kepada orang yang tahu persis keadaan di sana.
"Tapi bagaimana cara menghubungi resi manjing itu? Semua pertemuan dengannya rasanya seperti kebetulan belaka." Sin Liong menatap Citra.
Citra tahu apa yang dimaksud oleh tatapan Sin Liong. Putri manjing itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak bisa melakukan telepati dengan orang yang tidak aku kenal Sin Liong."
Kedasih buru-buru menyela.
"Bagaimana dengan Raja? Bukankah dia mengenal resi itu?" Semua tatapan beralih kepada Raja.
Raja tersenyum getir.
"Aku sih mau saja melakukan kontak telepati dengan Resi Saloko Gading. Tapi kalian juga tahu persis aku tidak punya kemampuan seperti itu."
---*