Raja memeriksa kelengkapannya. Teropong, buku catatan, beras kuning, caping, sabit dan…. nasi bekal. Ini kali terakhir dia melakukan pengintaian. Kali ini jalur 3 akan ditempuhnya untuk ketiga kalinya. Sin Liong bersikeras untuk ikut tapi Raja mencegahnya. Belum saatnya. Sin Liong belum sepenuhnya pulih. Dokter bilang Sin Liong baru bisa beraktifitas "normal" sekitar paling cepat 2 minggu lagi. Tentu saja yang dimaksud normal adalah berpetualang kemana-mana beserta semua aktifitas berantemnya.
Sepeda motor yang dipakainya kali ini sangat klasik. Honda 70. Kendaraan roda dua yang hanya punya 3 level kecepatan. Tapi Raja tidak khawatir. Dia tidak perlu kendaraan yang cepat. Setelah beberapa kali melakukan pengintaian, Raja paham bahwa paling penting adalah menjaga perilaku agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dia akan melalui rute jalan raya biasa. Dia sudah tahu nanti harus parkir di sebuah pasar lalu melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki melewati ladang-ladang penduduk. Dia akan memerankan diri sebagai petani yang sedang berladang tidak jauh di belakang Bukit Bubat.
Saat ini sedang musim berladang. Bertanam Singkong, Ubi dan Palawija. Lahan di belakang Bukit Bubat dipenuhi dengan areal perladangan. Setiap harinya ramai orang melakukan kegiatan berladang. Penyamaran yang sempurna.
Lalu lintas sangat padat seperti biasa. Raja tak mau terburu-buru. Lagipula kalaupun dipaksa mengebut, sepeda motor ini hanya sanggup melaju maksimum 50 km/jam dan itupun pasti terseok-seok. Raja berusaha menyamankan diri dengan menikmati semua pemandangan yang dilewatinya.
Perjalanan menuju pasar Bubat memakan waktu kurang lebih 3 jam. Raja melirik parkiran yang sudah hampir penuh. Untunglah masih ada beberapa slot kosong. Honda 70 terparkir dengan manis di parkiran paling pojok. Raja menyandang ransel dan bergerak santai.
Perjalanan ke areal perladangan menanjak dengan jarak yang cukup lumayan. Dia pasti akan kelaparan di jalan. Raja mampir sebentar di warung nasi. Membeli seperangkat lauk pauk yang nampak menggiurkan. Lalu membongkar bekal lauk dari Citra. Raja mencicipi sedikit. Wajahnya langsung nyengir parah.
Di pasar ini banyak berkeliaran kucing liar. Raja menghampar ikan dan ayam goreng yang langsung diperebutkan dengan kasar. Raja menyaksikan sejenak pertarungan survival itu. Setelah itu masing-masing kucing sudah mendapatkan jatahnya. Tidak satupun yang protes betapa asinnya ikan dan ayam goreng itu. Mereka makan dengan lahap. Raja tersenyum kecil. Kasihan juga Citra. Lauknya tak pernah aku makan. Tapi setidaknya putri istana itu memberi makan banyak kucing kelaparan selama dia melakukan pengintaian ini. Hati Raja merasa sangat bersalah. Tapi bibirnya tersenyum geli. Habis, asin banget sih!
Tak lama kemudian Raja sudah memasuki area berbukit-bukit yang dipenuhi ladang dengan beraneka tanaman. Ketela Pohon, Ubi Rambat, Jagung, dan berbagai jenis Palawija lainnya. Raja membatin betapa orang-orang di sini adalah pekerja keras. Lansekap di daerah ini cukup berbukit-bukit. Pasti butuh tenaga dan energi yang berlimpah untuk bercocok tanam di sini. Gawai di sakunya bergetar. Kedasih.
"Raja, hati-hati. Pagi tadi Babah Liong memberikan informasi bahwa Putri Calon Arang dan Mpu Candikala memasuki wilayah Trowulan. Saat ini keberadaan mereka tidak bisa lagi dideteksi. Kemungkin sudah berada di Bukit Bubat."
Raja mengetik pesan.
"Apakah Babah Liong sempat juga memonitor Puteri Merapi, Panglima Gagak Hitam dan yang lainnya?" Raja tidak menyebutkan Nyi Blorong. Masih terbayang betapa tidak nyamannya kehilangan separuh jiwa akibat gendam wanita ular itu.
Jawaban Kedasih kontan.
"Tidak. Babah Liong juga sampaikan bahwa dia tidak bisa memonitor orang-orang yang mempunyai Ajian Panglimunan. Vektor pergerakan mereka terlalu cepat sehingga pasti lepas dari surveillance mystical tool yang dipunyai Babah Liong."
Ebuseet, Raja ngedumel dalam hati dengan istilah yang campur aduk itu. Tapi sekaligus geli juga.
Raja memasukkan gawai dan melanjutkan perjalanan. Ini artinya Bukit Bubat semakin berbahaya untuk didekati. Raja meraba saku bajunya yang berisi beras kuning dari Citra. Gadis itu tadi pagi sempat berterus terang bahwa selain untuk mengetahui level kekuatan magis yang melindungi Bukit Bubat, beras kuning itu juga bisa menyamarkan keberadaan Raja dari pantauan magis orang-orang seperti Mada dan Putri Calon Arang.
Raja melangkah dengan perasaan percaya diri yang tinggi. Ternyata Citra juga berusaha keras untuk melindunginya. Ah, harusnya kumakan saja bekal dari gadis manjing yang dicintainya itu. Raja kembali diliputi rasa bersalah. Namun selang sedetik kemudian pemuda itu bergidik. Asinnya itu lho yang tidak ketulungan. Hihihi.
Raja berhenti sejenak. Di balik bukit tinggi di hadapannya inilah Bukit Bubat berada. Mulai sekarang aku harus super waspada. Raja mengenakan caping dan melilitkan kain sarung di pinggang lalu mengeluarkan sabit dari tas. Tasnya kemudian disembunyikan di tumpukan karung-karung bekas pupuk. Dia sudah berganti baju tadi di pinggir sungai. Raja sekarang nampak seperti seorang petani muda yang sangat bersemangat.
Sambil bersiul-siul kecil, Raja terus mendaki bukit yang lumayan tinggi itu. Dari pinggang hingga puncak bukit yang cukup luas itu hanya terdapat pohon-pohon Jati yang menyambung hingga ke belakang Bukit Bubat. Ini sebetulnya pintu masuk jalur 2. Tapi jalur 3 pun muaranya juga tetap sama. Di rerimbunan hutan Jati milik Perhutani yang terbentang luas di daerah Jombang hingga Nganjuk dan Mojokerto.
Raja sampai di puncak bukit hutan Jati. Pemandangan dari sini selain memukau juga sangat leluasa untuk memantau Bukit Bubat dari kejauhan. Raja mengeluarkan binokuler berkekuatan tinggi milik Sin Liong.
Bukit yang cukup luas itu dikelilingi oleh pagar beton tinggi yang juga dilengkapi dengan ujung baja tajam terlilit kawat listrik di atasnya. Siapapun yang berusaha menyusup tidak akan lolos dari bilah-bilah tajam berupa mata tombak. Belum lagi kawat terbuka yang dililitkan secara brutal sehingga menyerupai barikade listrik yang siap untuk menyengat dan membakar siapa saja yang berani mencoba.
Raja geleng-geleng kepala. Bukit Bubat sekarang benar-benar mirip Benteng Alamo. Kecil tapi kokoh bukan main. Mata Raja menangkap pergerakan di sudut-sudut tembok tinggi. Dari 4 menara pengawas terlihat masing-masing 2 penjaga standby dan mengawasi secara ketat keadaan sekitar. Bahkan mata Raja sempat bersirobok dengan penjaga di sudut kiri belakang tengah menggunakan binokuler juga. Raja buru-buru menarik tubuhnya di balik batang Jati besar.
Untunglah dia teringat pesan Sin Liong untuk memberikan kamuflase daun-daunan yang cukup tebal pada teropongnya tadi. Raja mengusap setitik peluh di dahinya. Gila! Ini sih bukan Alamo tapi lebih mirip Guantanamo!
--***