Malam menjelang dengan cepat. Setengah harian berlalu tanpa sedikitpun kejadian. Mereka sengaja mengurung diri dalam rumah Kedasih. Lebih aman dibanding di luaran. Apalagi Babah Liong sempat menghubungi siang tadi.
"Hati-hati. Siang ini ada titik biru memasuki Yogyakarta. Aku curiga itu adalah agen China yang dulu sempat merampas potongan Manuskrip. Titik biru yang lain juga sudah bergerak dari Bali. Kalian harus ekstra waspada."
"Berapa tepatnya titik biru dan merah yang merapat ke Yogyakarta, Babah?" Kedasih bertanya.
"2 titik biru dan 4 titik merah." Babah Liong menjawab singkat.
Tidak banyak. Tapi tetap saja berbahaya bagi kelancaran misi mereka. Apalagi Manuskrip itu masih berupa wujud aslinya. Mudah dicari dan ditemukan. Mereka juga pasti punya sebuah cara bagaimana melacak keberadaan benda kuno tersebut.
Oleh karena itu, semua yang sedang duduk melingkar di pendopo rumah Kedasih menunggu dengan hati berdebar upacara malih rupa nanti malam. Uba rampe sudah lengkap. Termasuk sesajian berupa kembang 7 rupa, jajanan pasar 7 jenis, dan pucuk daun Beringin 7 helai. Citra akan melakukan ritual tepat pukul 12 tengah malam.
Tidak ada seorangpun yang berniat untuk tidur sampai upacara itu terlaksana. Besok mereka sudah mempunyai rencana. Berangkat bersama-sama menuju perbatasan Jombang-Mojokerto. Mereka akan berbasis di sana untuk beberapa lama.
Babah Liong sedang menyiapkan sebuah rumah tua peninggalan zaman Belanda sebagai markas mereka. Babah Liong juga menyiapkan penjagaan ekstra dengan meminta Trah Pakuan mengirimkan orang-orang terbaiknya. Para penjaga itu akan ditempatkan di rumah-rumah Magersari yang berada di sekitar rumah utama. Kompleks perumahan itu sudah beberapa lama tidak dihuni karena pemiliknya berniat untuk melakukan renovasi dan merombaknya menjadi hotel.
Babah Liong menyewa tempat itu selama setahun dan mengatakan bahwa orang-orang yang akan menempati adalah crew film yang akan melakukan shooting di sana selama setahun penuh.
Trah Pakuan akan mengirimkan 10 orang yang semuanya sedang dalam perjalanan menuju Jombang. Pasukan kecil itu bersenjata lengkap dan dikirim dari markas Trah Pakuan di lereng Gunung Salak yang pernah disatroni Giancarlo waktu itu.
Citra sangat menghargai upaya Babah Liong yang all out memberikan dukungan. Meskipun gadis ini juga tahu kesepuluh orang itu tidak akan berdaya jika harus berhadapan dengan Puteri Merapi dan kawan-kawannya. Tapi mereka akan sangat berguna untuk mengantisipasi penyusup atau penyerang dari agen-agen China dan para pemburu harta karun dari luar negeri.
Sin Liong yang akan memimpin perjalanan ke Jombang meminta Kedasih menyewa mobil yang tangguh dan cepat. Kedasih yang paham Yogyakarta secara detail sudah mengontak beberapa kawannya. Besok pagi mobil akan tersedia di gerbang keraton sebelah utara.
Waktu seolah berlari cepat. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kedasih bersiap-siap. Begitu juga yang lain. Mengambil tempat masing-masing. Citra mengatakan upacara ini harus dalam keadaan sangat hening. Ruang tengah rumah Kedasih ini cukup memadai.
Kedasih meminta bantuan beberapa abdi dalem yang berusia muda untuk berjaga-jaga di sekitar rumahnya. Mereka menyanggupi tanpa banyak bertanya. Raja dan Sin Liong akan selalu waspada dan tidak akan sepenuhnya mengikuti upacara. Mereka akan mengawasi keadaan dengan ketat sekitar rumah. Kemungkinan serangan Puteri Merapi dan kawan-kawan hanya di atas tengah malam. Ilmu sirep sangat manjur setelah lewat waktu tengah malam.
Citra memejamkan matanya. Upacara dimulai dengan khidmat. Asap dupa mengepul halus. Menari-nari di udara yang berdiam diri. Bau harum kembang 7 rupa berpadu dengan wangi dupa, menciptakan suasana mistis yang cukup mencekam bagi siapapun yang awam.
Suara lirih Citra merapal mantra pemanggilan arwah Eyang Halimun menembus kepekatan malam. Menjadi suara satu-satunya di tengah kesenyapan. Cincin Umpak Mataram diletakkan di tengah sesajen bersama dengan Manuskrip. Bercampur dengan kembang 7 rupa dan yang lainnya. Suara Citra semakin pelan. Nyaris berupa bisikan. Kedasih memandang semua proses dengan mata hampir tak berkedip. Super penasaran.
Asap dupa tiba-tiba lenyap tak berbekas. Padahal jelas-jelas dupa itu masih menyala. Baranya terlihat jelas karena lampu ruangan dimatikan. Wangi kembang menguar habis-habisan. Ruangan itu seolah disiram dengan kembang setaman. Kedasih sampai-sampai berpikir ruangan itu disiram dengan parfum 1 botol penuh.
Citra menghentikan mantranya. Memulai sebuah percakapan melalui bisikan tapi jelas terdengar oleh Kedasih.
"Eyang, mohon izin menjadi perantara. Kami sedang mengadakan upacara malih rupa bagi sebuah Manuskrip kuno. Cincin Umpak Mataram ini adalah perwujudannya."
Kedasih nyaris terjengkang ke belakang saking kagetnya. Terdengar suara tanpa rupa menjawab permintaan Citra. Serak dan berat.
"Aku terima permintaanmu Putri. Terimakasih untuk sesajianmu."
Kedasih melihat dengan jelas betapa Manuskrip itu melayang menutupi cincin Umpak Mataram. Mata Kedasih tidak beralih kemana-mana. Menahan nafas dan memperhatikan dengan seksama. Apa yang dilihatnya kemudian seperti sebuah trik sulap. Manuskrip perlahan-lahan menghilang. Menjadi seperti sebuah hologram yang memperlihatkan cincin di bawahnya. Sepersekian detik berikutnya Manuskrip menghilang total. Hanya tersisa cincin Umpak Mataram yang tergeletak di sana. Kedasih sampai lupa berkedip. Manuskrip itu benar-benar hilang tanpa bekas sama sekali!
Citra menangkupkan kedua tangan di dada. Membaca mantra lalu menyudahi prosesi. Diambilnya cincin Umpak Mataram dan diberikannya kepada Kedasih.
"Sudah selesai."
Kedasih membolak-balik cincin itu dengan wajah yang masih dipenuhi keterkejutan. Cincin itu masih dengan berat yang sama. Bentuk yang sama. Sama sekali tidak ada perubahan sedikitpun. Dari bibirnya yang gemetar keluar suara lirih bergetar.
"Jadi cincin ini adalah rumah bagi Manuskrip yang disembunyikan?" Matanya menatap Citra dengan penuh tanda tanya.
Citra mengangguk ringan. Mengambil cincin lalu berseru memanggil Raja yang masuk ruangan bersama Sin Liong. Diambilnya tangan pemuda reinkarnasi itu dan dipakaikannya Cincin Umpak Mataram di jari manis Raja sebelah kanan. Raja merasakan hawa hangat mengalir ke seluruh tubuhnya begitu cincin itu melingkar di jarinya.
"Sudah aman sekarang. Cincin yang ditempa kawah Merapi ini tidak akan bisa dideteksi sebagai rumah persembunyian Manuskrip." Citra berkata dengan lega.
Kedasih memegang lengan Citra.
"Tadi teka-teki dari Eyang Halimun apakah sudah terjawab? Apa sih teka-tekinya?" Kedasih tidak bisa menutupi rasa penasarannya yang membuncah. Syarat teka-teki itu sungguh membuatnya tidak bisa tidur.
Citra mengikik geli. Bahkan lalu terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
"Eyang Halimun sama sekali tidak mengenal teka-teki, Kedasih. Di zamannya belum ada TTS. Hi hi hi."
Kedasih terperangah. Menyadari sesuatu lalu cemberut. Sialan! Putri manjing ini telah mempermainkannya. Tak urung Kedasih akhirnya tersenyum. Kecut.
_****