Sin Liong gelagapan bangun. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang hebat sedang terjadi. Pemuda ini buru-buru menyeret tangan Kedasih dan Citra yang masih mengucek-ucek matanya, setelah melihat Raja tidak terlihat di sofa tempatnya tidur tadi.
Citra dan Kedasih terhuyung-huyung diseret sambil berlari seperti itu. Tapi sebentar saja kesadaran mereka kembali pulih total setelah Sin Liong berteriak.
"Raja tidak ada! Dia mungkin dalam bahaya!"
Setengah berlari dua wanita itu menyusul Sin Liong yang cepat sekali sudah sampai di depan ruang pusaka.
Hanya untuk menyaksikan keanehan luar biasa!
Seekor Harimau besar berwarna hitam legam sedang berhadapan dengan Panglima Gagak Hitam yang bersiaga sambil memegang tombak panjang dengan ujung yang berkilat-kilat saking tajamnya. Rupanya tadi Panglima Gagak Hitam berhasil masuk ke dalam ruang pusaka namun keluar lagi mendengar rintih kesakitan Putri Calon Arang dan jeritan dahsyat Puteri Merapi. Sebelum keluar, Panglima sakti ini sempat meraih pusaka yang terdekat dengannya. Sepucuk tombak.
"Astaga! Itu Kyai Turun Sih!" Kedasih membelalakkan mata. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Panglima musuh itu berhasil menyusup ke ruang pusaka! Jangan-jangan…..
Citra sudah pernah mendengar apa kehebatan Tombak Kyai Turun Sih yang sangat melegenda itu. Matanya kembali memperhatikan apa yang terjadi di hadapan mereka.
Harimau itu merundukkan tubuh besarnya sambil menggeram pelan. Terlihat bersiaga untuk menyerang Panglima Gagak Hitam yang juga sudah memasang kuda-kuda. Tidak jauh dari arena pertempuran, nampak Puteri Merapi terduduk menyandarkan tubuhnya ke tembok. Puteri yang mengerikan itu kelihatan sangat kesakitan. Disampingnya nampak tergeletak sesosok tubuh ramping tak bergerak. Entah pingsan atau mati. Di sebelah sosok itu juga terlihat sosok lain. Seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus sedang bersila dengan tubuh lemah.
Citra langsung paham apa yang sedang terjadi.
Sin Liong tidak. Pemuda itu mengeluarkan teriakan garang sambil menyerbu Panglima Gagak Hitam. Dia tidak tahu siapa dan kenapa ada Harimau besar di situ dan apakah hewan raksasa itu kawan atau lawan. Tapi Panglima Gagak Hitam jelas lawan. Ruang pusaka terbuka lebar. Itu bisa saja berarti panglima itu berhasil merampas Manuskrip!
Terjadilah pertarungan kelas tinggi antara Sin Liong melawan Panglima Gagak Hitam yang merasa sangat percaya diri karena menggenggam Tombak Kyai Turun Sih yang sakti.
Sin Liong langsung terdesak hebat begitu tombak itu menyambar-nyambar tubuhnya dengan dahsyat. Pemuda itu tidak bersenjata dan sekarang berhadapan dengan senjata pusaka yang punya sejarah dan kemampuan luar biasa, tentu saja dia tidak sanggup mengimbangi. Keadaan Sin Liong menjadi berbahaya. Hanya dalam hitungan detik saja, pemuda itu bisa terluka atau bahkan tewas terkena sambaran senjata mematikan itu.
Terdengar geraman hebat. Harimau itu menerjang ke depan. Menangkis tombak Kyai Turun Sih dengan kaki besarnya. Setelah itu dengan sekali gerakan, Harimau itu mendorong Sin Liong menjauh. Tenaga dorongan itu sangat kuat sehingga membuat Sin Liong terpelanting jatuh bergulingan. Tubuhnya sama sekali tidak terluka. Dorongan tadi memang tidak bermaksud melukai.
Tangkisan Harimau itu membuat lengan Panglima Gagak Hitam bergetar hebat. Nyaris tombak pusaka itu terlepas dari genggaman tangannya. Panglima sakti itu mendengus marah. Lagi-lagi pemuda itu menjadi ganjalan besar. Dia sama sekali tidak menyangka pemuda itu bisa malih rupa menjadi binatang perkasa seperti ini.
Panglima Gagak Hitam melompat. Mendekati ketiga sekutunya yang terluka dan tak berdaya. Mengebutkan lengan jubahnya. Keempat sosok itu lenyap tanpa bekas. Mereka gagal untuk kesekian kalinya.
Citra berjalan perlahan menghampiri Harimau hitam legam yang termangu setelah semua lawannya pergi. Putri manjing yang jelita itu mengelus leher si Harimau dengan elusan halus. Harimau itu menggeram rendah. Citra melanjutkan aksinya dengan mencium lembut kepala Harimau. Geraman itu semakin rendah dan mendadak situasi berubah gelap gulita seolah mereka semua sedang terperangkap kabut super tebal.
Tapi peristiwa itu hanya terjadi sepersekian detik karena dalam kedipan mata berikutnya suasana gelap gulita itu sudah kembali normal. Terlihat Citra sedang memegang leher Raja sembari mencium pipi pemuda itu dengan syahdu.
Citra sama sekali tidak kelihatan kikuk saat melepaskan pelukannya. Rajalah yang terlihat gugup. Apalagi ciuman mesra itu disaksikan oleh Sin Liong dan Kedasih.
"Raja, kau..kau bisa berubah menjadi Harimau? Luar biasa!" Sin Liong menggeleng-geleng kagum.
Kedasih tidak bisa berkata apa-apa. Wanita itu kehabisan kosakata saking takjubnya. Ini dunia yang sangat aneh!
Raja hanya tertunduk diam. Sesuatu berkecamuk di benaknya. Rentetan pertanyaan yang dia sendiri tidak bisa menjawabnya.
Dinihari perlahan pergi. Malam berbenah diri. Subuh akan datang menjelang. Tak lama lagi seruan-seruan menyejukkan akan terdengar berkumandang. Kedasih melangkah ke arah pintu ruang pusaka yang terbuka lebar. Bibirnya komat-kamit seperti menggumamkan sesuatu.
"Ada apa Kedasih?" Citra menjajari langkah Kedasih dengan rasa khawatir. Raut muka Kedasih nampak tak menentu.
Kedasih menoleh cepat-cepat sambil nyengir getir.
"Aku mohon izin ke Sri Sultan untuk menggunakan ruang pusaka dan sekarang ada satu pusaka penting yang dicuri orang. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan ini?"
Citra memegang bahu Kedasih. Berusaha menentramkan hatinya.
"Kita akan ambil kembali pusaka yang dicuri itu. Percayalah."
Kedasih mengangguk pendek. Tombak Kyai Turun Sih adalah salah satu dari pusaka keraton yang dijaga baik-baik agar tidak jatuh ke tangan orang tak bertanggung jawab karena tombak itu punya daya magis yang bisa mempengaruhi orang awam dalam jumlah besar jika tahu cara menggunakannya. Kedasih tidak yakin Panglima Gagak Hitam tahu itu. Tapi jika tokoh itu tahu, akibatnya tidak akan sepele. Berbahaya.
"Apakah kau akan memeriksa Manuskrip Kedasih?"
Pertanyaan Citra membuat Kedasih tersentak. Benar. Urusan yang ini jauh lebih penting dibanding Panglima Gagak Hitam dan curiannya.
Buru-buru Kedasih masuk ruang pusaka setelah Citra pergi menjauh. Diikuti oleh Sin Liong yang ikut memperhatikan sedari tadi.
Peti itu masih ada di tempatnya. Setelah memberikan sembah, dengan tangan gemetar Kedasih membuka kain pembungkus potongan-potongan Manuskrip. Manuskrip itu aman dan tetap berada dalam bungkusnya. Tapi masih berupa potongan!
Kedasih menangkupkan kedua tangan ke mukanya. Kekhawatirannya terbukti. Mereka belum direstui. Sin Liong menengok ke dalam peti sambil menggosok-gosok matanya. Tak percaya melihat keajaiban yang terjadi.
Potongan-potongan Manuskrip itu bergeser dengan sendirinya kemudian menempatkan diri masing-masing pada posisi yang tepat. Dalam hitungan sepersekian detik, ketiga potongan itu telah menyambung dengan rapi menjadi sebuah Manuskrip utuh!
Sin Liong menyentuh bahu Kedasih yang masih menutup mukanya karena kecewa. Kedasih mengangkat muka dan mengikuti arah mata Sin Liong memandang. Kali ini Kedasih yang mengucek-ucek kedua matanya. Wanita itu nyaris menjerit kegirangan.
-**