Suara bising sirine polisi makin mendekat. Raja dan Sin Liong melompat mundur. Berdiri bersisian dengan para abdi keraton yang dipimpin oleh Kedasih. Citra paham bahwa para abdi keraton ini meskipun masih muda-muda dan kelihatan kuat, tidaklah sebanding dengan para penyerang yang terdiri dari orang-orang berkemampuan tinggi. Oleh karena itu Citra telah membisiki Kedasih agar para abdi ini jangan ikut bertarung. Akibatnya bisa mematikan bagi mereka.
Kedasih memberi isyarat agar semuanya mundur ke arah gerbang yang terbuka. Di dalam keraton mereka tidak akan bisa seenaknya mengeluarkan serangan mistis. Banyak pusaka pinilih yang punya kemampuan mementahkan segala bentuk ilmu hitam, sihir, maupun hal-hal mistis lainnya. Kecuali bagi orang-orang yang masih punya darah Mataram. Pusaka-pusaka hebat itu tidak akan bisa ikut campur.
Mobil polisi berdecit-decit memasuki halaman gerbang selatan. Belasan polisi bersenjata lengkap turun dan bersiaga. Informasi yang diterima menyebutkan bahwa terjadi perkelahian massal yang melibatkan puluhan orang bersenjata tajam. Puteri Merapi mengebutkan lengan bajunya. Asap hitam membubung tinggi. Saat asap itu memudar, Puteri Merapi dan rombongannya sudah lenyap tak berbekas.
Kedasih mengajak semua kawannya memasuki lingkup keraton. Gerbang ditutup kembali oleh para abdi keraton yang masih saling berbisik keheranan dengan apa yang terjadi. Polisi meminta keterangan beberapa orang saksi di lokasi kejadian. Semua menyebutkan peperangan antar geng. Tanpa sedikitpun menyinggung Raja dan kawan-kawan. Mereka semua tahu siapa Raden Ayu Kedasih. Putri baik hati dari keraton Yogykarta yang suka menolong dan selalu melindungi mereka.
Raja bernafas lega. Pertarungan demi pertarungan sangat melelahkan. Setidaknya mereka aman sementara ini di dalam keraton.
"Tidak Raja. Kita tidak sepenuhnya aman. Panglima Gagak Hitam dan Puteri Merapi masih bisa menimbulkan ontran-ontran dalam keraton. Mereka berdarah Mataram sehingga semua sikep kandel yang ada di keraton tidak akan berpengaruh bagi mereka."
Raja hanya bisa melongo. Urat syaraf di tubuhnya yang mengendur kembali menegang. Kapan saja mereka bisa menyatroni keraton dan mencegah mereka menyatukan Manuskrip. Apalagi kedua tokoh hebat itu ternyata punya ilmu Panglimunan yang sangat langka. Bisa menghilang begitu saja. Kapan saja. Kemana saja. Gila!
Kedasih mengajak semua orang masuk lebih dalam. Mereka menuju ruang pusaka. Kedasih sudah meminta izin kepada Sri Sultan bahwa mereka perlu masuk ke ruang pusaka untuk melakukan sebuah ritual khusus. Kedasih menceritakan latar belakang permohonan tersebut berikut semua peristiwa seringkas mungkin. Sri Sultan hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Sepertinya keturunan Raja-Raja Agung Mataram itu tahu apa yang sedang terjadi.
Ruang pusaka dibuka oleh abdi dalem yang bertanggung jawab di sana. Hawa dingin langsung menguar keluar ruangan. Bergantian dengan hawa panas yang juga terasa begitu keras. Ruangan itu seperti kutub utara yang sedang dibakar badai matahari. Bahkan terdengar suara dengung lirih mirip geraman yang menakutkan dari dalam ruangan.
Tidak ada satupun yang berani masuk. Menunggu perintah Kedasih yang paling tahu mesti berbuat apa. Kedasih tercenung sejenak. Ini aneh. Ruang pusaka ini seolah sedang berusaha mempertahankan diri dari serangan mistis. Kedasih memberi isyarat Raja untuk menjauh. Suara raungan dan hawa menakutkan itu tetap saja ada. Kedasih melambai ke arah Raja untuk mendekat dan meminta Citra agar menjauh. Citra menurut.
Suara dengungan berhenti dan hawa di ruang pusaka kembali normal seperti sediakala. Kedasih paham. Ruang pusaka menganggap Citra adalah ancaman sedangkan Raja tidak. Citra tidak nampak terpukul. Wajar saja dia dianggap sebagai ancaman. Darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah darah Pasundan. Semua juga tahu kalau semenjak dahulu kedua trah besar itu tidak pernah akur. Terutama saat Majapahit berkuasa. Kerajaan besar itu tidak pernah bisa menguasai kerajaan dari Tlatah Pasundan.
Kedasih memasuki ruangan diikuti oleh Raja dan Sin Liong. Citra memilih berjalan-jalan di sekitar taman yang ada di dekat Balairung. Dia hanya berharap semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja di ruang pusaka.
Kedasih membuka sebuah kotak kaca yang di dalamnya terlihat sebuah peti kecil berwarna emas dengan ukiran naga. Peti dibuka dengan hati-hati setelah sebelumnya Kedasih menghaturkan sembah takzim. Sin Liong dengan wajah super penasaran melongok ke dalam peti. Nampak sebuah kain emas membungkus sesuatu di sana. Sin Liong menduga di dalam gulungan kain itulah potongan Manuskrip ketiga berada.
Kedasih kembali menghaturkan sembah sebelum membuka gulungan kain emas itu. Sin Liong kecelik. Tidak ada potongan Manuskrip. Di genggaman tangan Kedasih adalah sebuah kunci kecil yang juga berwarna emas. Kedasih berjalan menuju sebuah lemari dari kayu Jati di sudut ruangan. Dibukanya lemari bagian atas menggunakan kunci emas. Diraihnya sesuatu dari dalam lemari. Lagi-lagi Sin Liong kecelik. Dikiranya potongan Manuskrip yang diambil Kedasih. Namun ternyata adalah sebuah peti yang sangat kecil berwarna hitam.
Kedasih dengan khidmat perlahan-lahan membuka peti tidak berkunci itu. Diambilnya potongan Manuskrip ketiga dari sana dengan lebih khidmat lagi. Kedasih melambai ke arah Raja. Raja mengangsurkan kedua potongan Manuskrip yang diambilnya dari Museum Tiga Ngarai.
Kedasih meletakkan ketiga potongan Manuskrip itu di dalam peti hitam. Meletakkannya kembali ke dalam lemari lalu melangkah pergi. Diikuti dengan terheran-heran oleh Raja dan Sin Liong. Sin Liong bahkan mulai menaruh curiga. Jangan-jangan Kedasih….
Sesampainya di luar dan setelah Kedasih menutup kembali pintu ruang pusaka, barulah kecurigaan Sin Liong pecah menjadi pertanyaan.
"Kita jauh-jauh datang kesini untuk menyatukan Manuskrip. Kenapa malah kita tinggalkan di ruang pusaka ini Kedasih." Sorot mata Sin Liong terang-terangan menyatakan prasangka.
Kedasih hanya tersenyum tipis. Dia memberi isyarat kepada keduanya agar mengikutinya ke Balairung di mana Citra masih asyik memandangi gamelan kuno yang berjajar di sana.
"Kita tidak bisa begitu saja menyatukan dan membawa Manuskrip itu keluar ruang pusaka sebelum direstui oleh pusaka-pusaka yang ada di situ. Sangat berbahaya. Kalau kita ceroboh, bisa saja pusaka-pusaka itu akan mengurung kita selamanya di sana."
Raja dan Sin Liong terperangah. Tidak menyangka bahwa semua tidak sesederhana yang dikira.
"Biarkan Manuskrip itu menyatukan dirinya sendiri di dalam peti. Apabila kita direstui, maka besok Manuskrip itu pasti sudah menyatu. Tapi jika tidak, maka Manuskrip itu masih berupa potongan-potongan. Kita tidak bisa memaksa atau mengubahnya."
Waaahh. Secara bersamaan seruan itu keluar dari mulut Raja dan Citra. Keduanya saling berpandangan. Sungguh rumit.
Citra menghela nafas panjang.
"Aku pasrah saja dengan apa yang akan terjadi besok terhadap penyatuan Manuskrip itu Kedasih. Jika memang aku tidak diizinkan untuk membelokkan arah sejarah, maka biarlah. Biarlah aku dengan segala kepedihanku." Suara itu sungguh memelas. Raja mendekati Citra. Memeluknya lembut sambil membisikkan sesuatu di telinga Citra.
"Tenanglah. Takdir memang sudah ditentukan. Tapi kita punya hak untuk berikhtiar. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia bagi Dia."
Citra mengangguk pelan. Menghapus dua bulir airmata yang sempat melompat dari pelupuk matanya. Dia harus tetap semangat!
*********