"Surat Wasiat
untuk Princess Leonor"
"Untuk anakku tercinta, kalung berlian ini adalah kalung turun temurun dan hanya akan kami berikan kelak umur kamu sudah menginjak 17 tahun. Kami berharap kamu bisa mempergunakannya dengan sebaik mungkin dan tidak untuk disalahartikan. Kami mencintai kamu anakku."
Salam hangat dari orang tuamu tercinta.
"Jadi kalung ini buat aku? Cantik sekali kalungnya," puji Leonor.
Dari awal membuka kotak misterius tersebut Leonor sudah dibuat jatuh hati dengan bentuk dari sebuah kalung yang ada di dalamnya, rupanya kalung berlian tersebut hanya diberikan kepadanya. Leonor mengambilnya kemudian memakai di lehernya, melihat ke arah cermin dan begitu cocok untuknya.
Leonor memakai jaket untuk menyembunyikan kalungnya, agar paman dan bibi tak dapat mengetahuinya kalung berlian yang saat ini dipakainya.
"Ini apa, ya?" gumam Leonor begitu sudah kembali ke kamarnya dan meneliti kembali kalung berlian tersebut, di mana ia menemukan sebuah tombol yang berukuran sangat kecil di baliknya, karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya ia memberanikan diri untuk memecah tombol tersebut.
CKLIKK!!
"Hm? Kenapa tidak terjadi sesuatu? Padahal aku sudah memencet tombolnya, apa ini hanya sekedar mainan saja atau hanya untuk mempercantik kalungnya? Tapi kalau untuk mempercantik harusnya letaknya bukan di belakang melainkan di depan," heran Leonor.
Merasakan tiba-tiba kepalanya menjadi berat, akhirnya Leonor memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang, kemudian memejamkan matanya untuk sejenak. Baru saja hendak memasuki alam mimpi tiba-tiba sesuatu terjadi di pikirannya, membuat Leonor seketika membuka matanya ekspresi bingung.
"Apa tadi aku tidak salah lihat? Tapi tadi itu apa? Masa itu mimpi? Ah sepertinya aku belum tidur tapi kok udah bermimpi? Yang lebih anehnya lagi kenapa aku malah memimpikan paman dan bibi? Padahal sebelumnya aku tidak pernah memimpikan mereka, kenapa ya kok aku jadi bingung kayak gini?" bingung Leonor kemudian merubah posisinya menjadi duduk kembali dan mencoba untuk mengusir pikiran-pikiran buruk yang tiba-tiba hinggap di otaknya.
Kevin sedang memikirkan sebuah rencana untuk ke depannya, salah satu yang dipikirkannya adalah rencana untuk membuat Leonor tidak betah tinggal di istana dan memutuskan untuk pergi dari sini.
"Sudah cukup kita mendapatkan posisi paling tinggi di kerajaan ini, aku pikir biarkan saja Leonor tetap tinggal di sini. Aku tidak tega kalau sampai melihat dia luntang lantung di jalanan," bujuk Anjani mencoba untuk meluluhkan hati suaminya, agar tidak keterlaluan dalam terobsesi akan sesuatu.
"Tapi rasanya aku masih belum puas kalau dia belum keluar dari kerajaan ini, bayang-bayang anak itu yang nantinya akan merebut kembali posisiku jika sudah berusia lebih dari 20 tahun benar-benar membuatku resah dan aku tidak tenang dibuatnya. Kamu sebagai istriku harusnya mendukung suamimu ini dalam setiap apa yang aku inginkan, bukannya malah berpihak kepada keponakanmu itu," kesal Kevin sembari bersidekap di depan dada.
"Maafkan aku, karena aku hanya mengikuti hati nuraniku saja. Sudah cukup kita kehilangan anak satu-satunya kita, aku pikir aku tidak ingin kehilangan keponakanku juga," ujar sang istri.
"Kalau dengan dirinya yang tetap berada di istana ini malah membuat aku tidak tenang, tidak ada alasan untuk aku tidak membuatnya pergi dari sini. Sekalipun dia adalah keponakan kita, tapi dendamku di masa lalu harus segera terbalaskan. Biarkan saja Leonor merasakan apa yang dulunya pernah dilakukan orang tuanya terhadap kita," geram Kevin.
Sekitar belasan tahun yang lalu Felix pernah mengusir Kevin dan juga istrinya dari kerajaan setelah melakukan suatu kesalahan yang fatal, karena kesalahan tersebut sudah tidak bisa termaafkan lagi, maka dari itu petingg dari kerajaan memutuskan untuk mengusir mereka dari sekitar istana.
Rupanya dendam itulah yang membuat Kevin nekat untuk menyingkirkan semua yang menghalangi rencananya, walaupun Leonor tidak ikut campur dalam permasalahan mereka di masa lalu akan tetapi, anak perempuan berusia 17 tahun tersebut adalah keturunan dari Felix yang artinya adalah anak itu juga harus merasakan akibat yang dilakukan oleh mendiang orang tuanya.
Sejauh ini Anjani masih sering bimbang setiap kali mengikuti rencana dari suaminya, sedangkan hati nuraninya berkata bahwa keponakannya adalah bagian dari keluarga dan juga sudah dianggapnya sebagai anak. Akan tetapi balik lagi ia tidak bisa menentang keinginan suaminya.
Mayang sudah beberapa hari tinggal di rumah orang yang sudah menyelamatkannya, sejauh ini ia merasa cukup betah karena suasananya yang nyaman dan ia tidak merasa kesepian karena sendirian.
"Tante? Ayo kita makan dulu, itu bibi sudah menyiapkan makanannya untuk kita," ajak Dinda menghampiri Mayang atau mereka memanggilnya Laila.
"Tapi aku masih belum lapar," ucap Laila.
"Ini sudah waktunya jam makan malam, nanti kalau tante tidak makan dengan teratur bisa-bisa tante tidak cepat sembuh. Memangnya tante tidak mau dapat mengingat kembali seperti sebelumnya?" bujuk Dinda akhirnya membuat Laila menurut.
"Sejak hari pertama tante tinggal di rumah ini, Tante tidak pernah melihat orang tua kamu? Apa mereka tidak marah kalau tante ikut tinggal di sini?" tanya Laila membuat Dinda tersenyum menggeleng.
"Mereka tidak akan marah tante tenang saja, justru .ereka senang kalau ada sosok pengganti yang menemani kita di rumah ini," ujar Dinda membuat Laila mengerutkan keningnya.
"Maksudnya bagaimana?" herannya.
"Hm orang tua kami sudah tiada dan sudah beberapa tahun ini kami hanya tinggal berdua saja di rumah ini, makanya kami senang banget kalau tante ikut tinggal di sini dan menjadi pelengkap kebahagiaan kami," ujar Dinda membuat Laila ketika diserang rasa bersalah karena sudah menanyakan hal yang sensitif.
"Maafkan tante ya sudah menanyakan hal yang lancang, tapi kalian tidak perlu merasa sedih karena tante juga senang tinggal di sini dan menjadi pengganti obat orang tua kalian." Laila memeluk wanita muda yang berjalan di sampingnya.
"Terimakasih ya tante," ucap Dinda ikut membalas pelukan tersebut.
Tak lama kemudian Sean pulang dari kantor dan langsung ikut makan malam bersama dengan dua wanita yang sudah menunggunya di rumah. Entah kenapa semenjak kehadiran wanita yang diberi nama Laila tersebut, dirinya selalu ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan bertemu dengannya.
"Bagaimana kuliah kamu hari ini?" tanya Sean kepada adiknya.
"Seperti biasa semuanya membosankan," jawab Dinda membuat Laila merasa penasaran ingin ikut bertanya juga.
"Kenapa membosankan? Bukankah kuliah itu enak karena bisa bertemu dengan banyak teman-teman di sana?" sahut Laila.
"Tidak, sejujur aku paling tidak suka dengan keramaian makanya dulu waktu aku disuruh kuliah akunya enggak mau." Adinda mengadu.
"Tapi kalau kamu tidak kuliah, terus nantinya yang bakalan bantuin aku buat aku nerusin perusahaan, siapa?" tanya sang kakak membuat Dinda mengerucutkan bibirnya.