"LUCU." Nicho berkomentar soal rambutku yang baru dipotong.
Aku merasa kikuk, sementara dia masih memperhatikan. Kenapa dia bilang ini lucu? Dan, tidak pernah-pernahnya aku melihat dia begitu semringah.
"Nggak pantas, ya?"
"Kata siapa?" Dua alisnya terangkat naik. "Kamu kelihatan imut."
Aku jadi salah tingkah dipuji begini. Jantungku rasanya baru melewatkan satu detakan.
"Ya sudah, Bang, aku mau pulang."
Dia tersenyum padaku. "Sekolah yang bener."
Barusan dia bilang apa?
Sekolah yang bener?
Bukannya dia, yang bolak-balik dikeluarkan dari sekolah? Pergi sana-sini tidak jelas.
Nicho tersenyum. "Jangan kayak Abang." Seolah tahu apa yang aku pikirkan.
Aku mengangguk. "Ya, Bang. Aku pulang dulu."
"Sebentar, An!" Nicho menahan.
Baru saja mau tanya kenapa, kudengar suara seseorang memanggil nama Nicho. Bukan hanya Nicho saja yang menoleh, tapi aku juga.
Dia mendekat, aku malah terpaku di tempat.
"Buruan! Katanya lo mau ikut job kita malam ini," beonya saat sudah di depan kami.
"Yang lain datang juga?"
"Dateng, dong!" Dia menjawab dengan yakin.
Aku dengar percakapan mereka dengan jelas. Tiba-tiba saja, teman Nicho itu beralih menatapku.
"Eh, ada adik manis." Lelaki yang tidak kuketahui namanya itu mencoba mendekat ke arahku.
Nicho menahannya dengan menekan tepat di bagian perut. "Nggak usah ganggu dia!"
Dia kelihatan mengalah. Sambil tertawa dia berkata, "Oke deh, Nik, itu cewek punya lo."
Aku tidak mengerti dengan yang mereka maksud 'punya lo'.
Nicho itu bukan siapa-siapa. Aku adalah cucu dari orang yang bertugas untuk mencuci dan menyetrika baju keluarga di rumahnya. Kalau sudah selesai, aku antarkan.
Hubungan kami hanya sebatas tuan dan pesuruh. Sudah lama aku melakukan ini--sejak masih SD dan sekarang sudah kelas 12 SMA.
Tadinya, Nenek bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Nicho. Lantaran fisiknya sudah melemah, beliau tidak bisa lagi. Meski begitu, Nicho tetap ingin nenek bekerja. Maka dari itu, tugasnya sekarang diganti hanya cuci-gosok. Itu pun, dikerjakan dari rumah.
Nicho? Jangan lihat dari tampilannya yang urakan dengan celana jeans sobek-sobek serta jaketnya yang lusuh. Bahkan rambut silk back-nya sudah tidak terurus lagi.
Dia anak orang berada. Namun, memilih untuk hidup di jalanan. Keluyuran ke sana-kemari tidak jelas dan jarang pulang. Sesekali, kalau waktunya pas, aku bisa bertemu dengannya. Seperti saat ini.
Berhubung sudah tidak ada urusan. Aku mau pergi.
"An!" Nicho mencegah.
"Kenapa, Bang?"
Dia merogoh kantung jaketnya. "Nih, buat kamu."
Aku menautkan alis. "Uang apa ini?"
"Uang Abang, buat kamu." Dia menyodorkan uang berwarna biru padaku. Bukan satu, tapi ada beberapa lembar.
"Upah cuci-gosoknya, masih minggu depan, Bang."
Nicho menarik tanganku. "Ambil!" Dia memaksa untuk menerima. "Ini, Abang kasih ke kamu. Nggak boleh nolak!" desaknya.
Aku ragu untuk menerima uang pemberian darinya.
"Tenang. Ini halal, kok. Abang nggak ambil uang orang atau ngerampok toko."
Aku menelan saliva. Bingung menolak atau menerima uang ini.
Dari dulu lelaki bernetra hitam tersebut memang baik padaku. Mungkin karena dia tahu kondisi keuangan keluargaku yang buruk.
Aku anak yatim piatu dan diasuh oleh Nenek--yang hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci. Kadang, pulang sekolah aku tidak sempat bersantai. Biasanya, selesai makan siang langsung membantu beliau. Kalau sudah selesai, aku antarkan baju ke rumah Nicho.
Tapi, belakangan ini Nichole semakin baik padaku. Ada apa, ya?
"Kok, masih bengong?" tegurnya.
"Bukan, ini ...." Aku masih galau soal uang.
"Uang yang ini kamu simpan, siapa tahu kamu ada keperluan untuk sekolah."
Sebetulnya, memang benar aku butuh uang. Cuma, masa iya aku terima begitu saja?
Nicho tersenyum padaku. "Hati-hati di jalan. Salam ya, buat nenek."
Aku mengangguk.
Dia menuju temannya, lalu mereka berdua naik motor. Sebelum pergi, Nicho sempat menoleh.
Aku langsung balik badan dan mempercepat langkah supaya bisa segera sampai di rumah. Ada PR yang harus dikerjakan. Sebisa mungkin aku menyelesaikannya tidak sampai larut malam, mengingat besok pagi-pagi buta sudah harus bangun membantu Nenek.
*
Malam harinya, aku terlalu serius mengerjakan PR sampai lupa makan.
"Makan dulu, An." Nenek mengejutkanku.
"Makan." Tunjuknya pada sepiring nasi yang baru diletakkan, ketika aku menoleh.
Aku lihat jam, ternyata sudah pukul delapan malam.
"Makasih, Nek." Kuraih piring yang ada di hadapan.
Nenek duduk di kursi yang sofa yang busanya sudah menyembur keluar ketika aku bertanya apa dia sudah makan atau belum.
Nenek meluruskan dua kakinya di atas kursi. Jangan bayangkan bagaimana rasanya di sana, tentu saja tidak nyaman.
"Nenek udah makan," jawabnya seraya menggosokkan minyak sereh di kaki. Baunya cukup menyengat. Awal-awal, aku tidak tahan. Tapi, semakin ke sini semakin terbiasa.
"Nenek perhatiin, kamu kayaknya serius banget. Sampe lupa makan. Kalau sakit, nanti malah Nenek yang repot."
Aku menarik sudut bibir. "Makasih." Tanpa menunda lagi langsung menyantap sepiring nasi dengan lauk tahu goreng dan sayur tumis kangkung tersebut. Menu yang cukup lumayan bagi kami.
Kenapa kami harus sangat irit? Karena kami tidak punya rumah sendiri. Rumah yang kami tempati adalah rumah sewa. Satu tahunnya kami harus membayar enam juta.
Rumah kontrakan ini kecil, hanya terdiri dari empat ruangan--ruang tamu, ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Tidak ada kamar tidur. Aku dengan Nenek sama-sama tidur di ruang tengah, tanpa spring bed ataupun dipan. Hanya menggelar kasur di lantai.
Aku pikir, mungkin ini alasan kenapa Nichole selalu baik padaku.
Lelaki itu, empat tahun di atasku. Kalau dia masih sekolah, mungkin sekarang dia sudah kuliah semester empat.
Beginilah hidup. Untuk orang yang mampu, justru menyia-nyiakan kesempatan. Sementara aku, harus berjuang mati-matian untuk bisa bertahan di sekolah.
*
Pukul 06.30, mau berangkat sekolah. Betapa terkejutnya aku, saat tahu Nichole sudah ada di depan rumah. Kelihatannya dia tidak pulang semalaman. Bajunya masih sama, wajahnya juga kelihatan kusut. Mungkin dia habis begadang semalaman.
Dia melihatku. "Mau berangkat sekolah, 'kan?" tanyanya setelah membuang puntung rokok, lalu menginjak puntung tersebut.
"Abang nggak pulang semalam?"
Nicho membersit hidung, lalu tanpa menjawab pertanyaanku dia menyuruh naik.
"Naik!" Dia menepuk jok belakang motornya karena aku diam saja.
"Nggak usah, Bang, jalan aja."
"Abang antar, kalau jalan lama. Nanti kamu terlambat. Udah jangan nolak!"
Karena tahu bagaimana perangai Nichole, aku takut dengannya. Meskipun sejauh ini, dia tidak pernah berbuat kasar padaku.
Dia sering berkelahi, ada banyak bekas pukulan di wajahnya. Entah dengan siapa dia bertarung. Kalau menolak terang-terangan, aku takut dia marah dan keluar sifat aslinya.
Nicho mendecakkan lidah. "Mau sampai kapan bengong?"
Apa boleh buat. "Ya udah, Bang. Bentar aku pamit dulu dengan Nenek."
"Abang tunggu."
Aku masuk ke dalam rumah, menemui Nenek.
"Nggak jadi berangkat?"
Aku menengok ke arah Nichole sebentar. "Mau berangkat sama Bang Nichole."
"Nicho?" Nenek keheranan.
"Tuh, di depan," tunjukku pada Nicho yang sedang duduk di motor.
"Hati-hati, bilang sama dia jangan ngebut."
Aku mendesah. "Iya." Sejujurnya, tidak akan berani bilang itu ke Nicho.
Kucium tangan Nenek untuk berpamitan. Selanjutnya menemui Nicho yang sudah menunggu di depan.
Nicho menoleh ke belakang setelah aku duduk, dia mengoper helm untuk kupakai.
Belum juga jalan ....
"Pegangan!"
"Udah."
Dia menoleh lagi. Dilihatnya tanganku menggenggam besi belakang bagian motor.
"Di sini aja." Nicho menarik tanganku, lalu memindahkan ke perutnya.
Aku merasakan perut Nicho sangat keras. Mungkin otot-ototnya sudah biasa dilatih, sampai bisa seperti ini.
Terkejut, aku segera menarik tangan ke belakang. "Di belakang aja, Bang, pegangannya."
Nicho menghela napas. "Ya sudah, terserah, yang penting hati-hati. Pegangan jangan sampai jatuh."
"Iya." Nada bicaraku bergetar.
Nicho menarik gas motornya, mengendarai dengan kecepatan tinggi. Ya Tuhan ... aku merasa takut begini dengan dia. Apa aku bisa sampai di sekolah dengan selamat?
Apa, Nicho benar-benar mengantarku ke sekolah?