"Kau bukan manusia, Putri Ileana. Kau adalah Ellion terakhir, harapan kami yang tersisa. Nyawa kaum penyihir ada di tanganmu sekarang."
Aku berdecak kesal. Omong kosong macam apa itu? Bahkan hari ini adalah hari pertamanya menyandang status guru di sekolah tempatku belajar, bagaimana bisa dia mengatakan hal yang tidak masuk di akal seperti itu?
Namanya Pak Erlon. Lihat, namanya saja sudah aneh. Sama seperti wajah dan juga kepribadiannya. Seperti yang kukatakan tadi, Pak Erlon adalah guru baru di sekolahku. Dia resmi mengajar di sini, menggantikan Pak Kelvin yang meninggal satu bulan lalu akibat kecelakaan. Wajahnya seram, sorot matanya tajam bak mata elang, di keningnya ada bekas jahitan yang cukup panjang. Kutaksir kira-kira tujuh sampai delapan jahitan. Suaranya terdengar berat dan berwibawa.
Saat jam istirahat, Pak Erlon mengutus seorang murid laki-laki untuk memanggilku ke ruangannya. Dan di sanalah dia membual.
"Pak, nama saya Alana, bukan Putri Ileana."
"Saya tahu, tapi itu bukan namamu yang sesungguhnya. Namamu Putri Ileana."
Aku memutar bola mata malas. Aku akui penampakan Pak Erlon memang seram, tapi setelah dia membicarakan omong kosong itu, rasa takutku hilang. Di mataku sekarang Pak Erlon sama sekali tidak menyeramkan. Atau jangan-jangan sebenarnya Pak Erlon adalah seorang pelawak?
"Para pemburu penyihir sedang memburumu sekarang. Kami tidak bisa membiarkanmu mati begitu saja di tangan mereka. Jika kau mati, maka kaum kita akan mati. Kaum penyihir akan musnah dari dunia ini. Maka tolong, ikutlah denganku. Kau harus menolong kami. Selamatkan kaummu."
Aku berdiri dari sofa. Ruangan Pak Erlon cukup besar. 4x4 meter. Ruangannya rapi, rak buku di bagian kanan ruangan. Satu set sofa di tengah. Di pojok kiri ruangan terdapat meja dan kursi tempat Pak Erlon bekerja. AC di dinding menyala, tetapi aku merasa kepanasan. Aku hendak keluar. Kupingku panas dan gatal mendengar bualan Pak Erlon yang sangat melantur.
"Kau kenapa, Alana?" Bella mendengar decakanku. Dia adalah sahabatku sejak SMP. Kami bersahabat hingga sekarang.
"Kau tahu kalau sekolah kita kedatangan guru baru?" tanyaku.
Bella mengangguk. Ternyata berita soal Pak Erlon sudah terdengar di telinga seluruh siswa SMA Hilton
"Kenapa? Apa kau dimarahinya? Aku dengar wajahnya seram."
"Aku tidak takut padanya. Kau tahu, aku rasa dia terkena penyakit gangguan jiwa."
"Gangguan jiwa? Maksudmu gila?"
Aku mengangguk.
Terdengar suara dehaman. Itu Bu Berta. Guru fisika yang tengah mengajar saat ini. Para murid yang lain tengah fokus mencatat materi yang sudah ditulis Bu Berta di papan tulis. Aku dan Bella sudah selesai mencatat. Bu Berta mendengar suara bisik-bisik kami.
"Kita sambung di rumah," kataku, waspada kalau-kalau Bu Berta marah dan menghukum kami.
***
Bella terkekeh setelah mendengar ceritaku.
"Di zaman sekarang masih ada penyihir? Di tahun 2022?" Bella tergelak lagi.
"Itulah yang aku tidak mengerti. Bagaimana bisa laki-laki dengan wajah seram itu mengatakan hal yang tidak masuk di akal padaku. Dia kira aku bodoh apa?"
Pulang sekolah Bella tidak langsung pulang ke rumahnya. Dan biasanya memang seperti itu. Bella lebih sering berada di rumahku ketimbang rumahnya sejak kami menjadi sahabat. Ayah dan ibunya telah bercerai sejak Bella masuk SMP. Bella memilih ikut bersama ayahnya ketimbang ibunya. Setahun setelah berpisah, ayahnya menikah lagi. Bella tidak suka dengan wanita pilihan ayahnya. Bukannya lebih baik dari ibunya, malah lebih buruk. Karena Bella tidak mau ikut campur, maka dia lebih memilih untuk membiarkan saja. Lagi pula itu pilihan ayahnya. Bella bersikap bodoh amat. Yang penting uang jajannya tetap berjalan.
Berbeda denganku, ibu dan ayahku sangat dekat. Keluarga kami harmonis. Bella iri melihat keluarga kami. Ayahku bekerja sebagai direktur keuangan di sebuah perusahaan yang lumayan besar dan ibuku punya usaha laundry. Di jam seperti ini rumah kosong, hanya aku dan dua pekerja saja di rumah. Dengan adanya Bella di rumah, aku bisa dibilang bersyukur karena ada teman.
Aku sempat menasihati Bella agar jangan bersikap bodoh amat tentang keluarganya. Akan tetapi Bella bilang bahwa dia sudah tidak memikirkan itu lagi. Biar itu semua menjadi urusan ayahnya.
"Lalu apa yang kau lakukan saat Pak Erlon berbicara melantur seperti itu?"
"Aku langsung keluar dari ruangannnya, Bella. Kupingku panas dan gatal mendengar omong kosongnya. Bagaimana bisa dia bilang aku bukan manusia dan aku bukanlah anak kandung ayah dan ibuku." Aku menunjuk foto keluarga yang tertempel di dinding di ruang tengah. Ada tiga foto yang terpajang di sana, salah satunya foto ayah dan ibu menggendongku saat masih bayi. "Aku jelas-jelas anak ayah dan ibuku, bukan?"
Bella mengambil beberapa potong kentang goreng di atas meja, memakannya. "Tapi, Alana, bisa saja yang Pak Erlon katakan itu benar, kan?"
Aku melempar Bella dengan kentang goreng yang ada di tanganku. "Ayolah. Kau sama saja seperti Pak Erlon!"
Bella terkekeh.
Bel rumah berbunyi. Ada tamu di depan.
Saat aku hendak bangkit, Bi Inem—pembantu kami—lebih dulu berjalan ke arah pintu. "Biar saya saja, Non."
Aku duduk kembali. Pandangan mataku mengarah ke pintu. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Hanya sepatu kulit hitam kilat dengan celana bahan berwarna hitam juga. Alisku bertaut, sepertinya aku pernah melihat seseorang memakai itu. Lagi pula biasanya setiap kali ada teman sekelas yang mau bertamu ke rumah, mereka bilang saat di kelas atau minimal mengirim pesan.
"Alana, sini. Ada yang ingin bertemu denganmu," panggil Bi Inem.
Aku pun bangkit, berjalan menuju pintu. Bella bertanya siapa yang mencariku, aku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu. Kalau itu teman sekelasku, tidak mungkin dia mengenakan sepatu semacam itu.
Wajah yang kelihatannya sudah lupa bagaimana cara tersenyum itu mengarah ke depan, menatapku. Pandangan mataku dan mata Pak Erlon bertemu. Aku menghela napas kesal. Buat apa orang gila itu datang ke rumahku?
"Tutup saja pintunya, Bi. Saya tidak mau bertemu dengannya."
"Tapi, Non, ini gurumu lho."
"Tutup saja, Bi!"
Aku kembali lagi ke sofa. Bella kaget saat tahu bahwa yang datang adalah Pak Erlon.
Bi Inem meminta maaf pada Pak Erlon karena harus menutup pintu, tidak mempersilakannya masuk terlebih dahulu. Bi Inem tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah anak majikannya.
"Mau apa Pak Erlon datang ke rumahmu, Alana?"
Aku menenggak jus jerukku kasar. Aku kesal melihatnya. Bagaimana bisa Pak Erlon tahu alamat rumahku? Dan untuk apa pula dia datang?
"Apa lagi? Pasti ingin mengatakan hal aneh itu lagi."
Tampaknya aku tidak bisa tinggal diam sekarang. Aku sama sekali tidak takut padanya, tapi aku harus tetap waspada. Dia laki-laki, tubuhnya besar dan tegap. Meski aku bisa bela diri, aku tetap tidak bisa memberikan perlawanan yang tangguh. Aku kalah tenaga. Kalau Pak Erlon masih terus menggangguku, aku akan melaporkannya ke kepala sekolah. Atau bila perlu ke rumah sakit jiwa sekalian!