[PRAMUDYA DHARMA WIJAYA]
Masa cutiku akan habis tiga hari lagi, dan sebelum itu berakhir aku harus berangkat kembali ke Papua. Ayah minta maaf karena sudah membuatku terpaksa mengambil cuti gara-gara masalah Dania. Dan Ibu, seperti biasa dengan penuh sayang beliau menasehatiku supaya makan yang teratur dan tetap berhati-hati dalam menjalankan tugas.
Sementara Dania ... Well, adik kecilku itu sedang tidak bisa diganggu. Dia sedang mengalami masa-masa sulit. Cinta bertepuk sebelah tangannya pada Keken, yang ternyata adalah seorang perempuan. Kehamilannya yang tidak diduga. Dan juga rencana pernikahannya dengan Praka Brawijaya, putera seorang pejabat ternama, yang ternyata adalah ayah dari anak yang dikandung Dania.
Praka dan Dania bukan pasangan yang romantis, mereka lebih cendrung aneh, sering bertengkar gara-gara hal-hal remeh. Dan ... Aku tidak tahu kenapa itu justru terlihat manis di mataku.
Sebenarnya aku bisa saja langsung pergi ke Papua menggunakan pesawat, tapi karena aku sudah berjanji kepada salah satu sahabatku--sesama anggota TNI, yang bertugas di Korem Mataram--untuk mengunjunginya. Aku akhirnya berangkat menggunakan bus agar bisa mampir di Mataram.
Sahabatku itu, namanya Letkol Damar Sasongko, dia berasal dari Jawa Tengah, dan kami bertemu saat sama-sama mengikuti pendidikan Akademi Angkatan Bersenjata Indonesia (AKABRI). Dia orangnya baik dan supel. Yang aku dengar saat ini dia sedang sibuk menjadi panita penyaringan calon anggota TNI/Kowad di jalur Secaba. Dan seleksi awal Secaba untuk administrasi memang sudah dimulai sejak kemarin.
***
"Calon kowadnya cakep-cakep ya?" Aku menggoda Damar yang sedari tadi sibuk memperhatikan gadis-gadis cantik calon anggota korps wanita angkatan darat, yang wara-wiri di kantin, memesan nasi bungkus saat istirahat makan siang.
Para gadis muda itu tampak berbaur akrab dengan para calon tamtama dan bintara, mengobrol tanpa peduli dengan asal-usul, kasta, dan tampang. Haha. Itulah yang aku suka dari TNI, mereka memupuk solidaritas dan keberasamaan sejak dini kepada para calon pelindung Negara ini. Tidak ada yang namanya orang kaya ataupun orang miskin dalam kesatuan TNI, semua sama rata.
"Iya sih mereka cakep-cakep. Cuma masih pada ABG," komentar Damar sembari mengunyah tempe gorengnya.
"Yang baru lulus tahun ini banyak yang ngedaftar ya?"
Damar mengangguk. "Lulusan 2012, 2013, 2014, cuma yang paling banyak ngedaftar yang lulusan 2014. Masih segar-segar. Sayangnya banyak yang gugur di pengukuran tinggi sama berat badan. Ada yang tingginya oke, tapi berat badannya terlalu ringan, jadi gugur. Ada juga yang proposi badannya bagus, cuma tingginya tidak memenuhi standar. Kurang beberapa centi dan bahkan mili." Damar kemudian menyesap the hangatnya.
Aku mengangguk, mengerti bahwa Damar menyampaikan semua informasi mengenai calon Tamtama dan Bintara TNI/Kowad tahun ini.
Melanjutkan acara mengobrolku dengan Damar, tak sengaja mataku menangkap sosok bayangan gadis yang sepertinya cukup familiar untukku. Dia duduk sendirian di pojok kantin, sambil cemberut memelototi tumpukan map yang ada di atas tas punggung--yang dia simpan di atas meja. Tak melepaskan pelototannya dari Map itu, si gadis manis calon kowad itu menyeruput teh botolnya seperti orang yang kesetanan.
Sepertinya aku pernah melihat dia, tapi ... Dimana ya?
Tinggi, kulit putih--yang berubah agak kecokelatan karena gosong terkena matahari, garis wajah tegas, hidung mancung, dan bibir mungil yang sepertinya doyan cemberut dan marah-marah.
Aku mengerutkan kening mencoba mengingat. Baru-baru ini sepertinya aku pernah melihat dia, tapi dimana?
ASTAGA, AKU INGAT! KEKEN!
Aku hampir saja tergelak saat menyadari siapa calon kowad yang sedari tadi kuperhatikan. Keken, mantan pujaan hati adikku yang ternyata adalah seorang perempuan. Ya Tuhan, dia benar-benar terlihat berbeda, pangling aku.
Wajah gadis itu seperti bunglon, bisa berubah-ubah. Saat memakai topi--dengan rambut digelung ke dalam--dia terlihat ganteng, ketika dimake-up dengan rambut digerai, dia tampak luar biasa cantik. Dan sekarang ... Saat rambutnya dipotong sebahu dengan poni disisir menyamping dia terlihat ... Fresh?
Aku baru tahu kalau Keken--Srikandi Kusuma Dewi, ternyata calon kowad. Dia mengenakan celana hitam ukuran pas, dan kemeja putih seperti para calon tamtama dan bintara lain.
"Mau kemana?" Sebelah alis Damar terangkat tinggi ketika melihatku bangun dari kursi.
"Mau nemuin temannya adikku dulu," jawabku sekenanya sembari menggedikan kepala ke arah Keken Srikandi.
Damar mengangguk dan tak bertanya lagi.
***
"Hai."
Keken mendongak, matanya membulat tampak terkejut melihatku berada di sana, dalam balutan training olah raga hijau TNI.
"Kamu ..." Gadis gahar itu megap-megap lucu seperti ikan koi.
"Boleh saya duduk?" Berusaha bersikap ramah dan formal.
"S-silakan," Keken mengangguk kikuk. Raut keterkejutan masih terlihat jelas di wajah cantiknya.
Aku menarik kursi kemudian duduk berhadapan dengan Keken. Dia tampak lelah, tidak enerjik dan cerewet seperti pertemuan kami waktu itu. "Bagaimana khabarmu?" Tanyaku mulai berbasa-basi. Sudah empat hari kami tidak bertemu, setelah insiden pengakuan Keken terhadap Dania di Rumah orang tuaku.
"Pusing dan capek, Pak," jawabnya murung.
Pak? Memangnya nggak ketemu empat hari bisa bikin umurku bertambah sepuluh tahun lebih tua di mata dia ya?
"Administrasi ada yang salah?" Tebakku sembari mengerling ke arah berkas-berkas yang ada di atas meja.
Keken mengangguk. "RH, KTP Mama, sama Rapor SMA," sahut Keken singkat.
Haah. Aku mengerti kenapa Keken jadi murung, ngurusin administrasi beginian repot. Serius. Kalau bahan ada yang salah, bahan yang kurang, atau bahan yang belum dilegalisi, mesti bolak-balik kantor pos buat ngirim bahan itu ke kampung halaman di Rumah Orang tua. Dan orang tua juga harus ikhlas berepot ria untuk mengurus semua itu.
"Yang sabar ya?"
Dia kembali mengangguk. Baru empat hari nggak ketemu, Keken udah agak kurusan. Dan ...
"Tunggu!"
... Aku melihat bekas luka samar yang ada di kedua sikunya. Aku tidak tahu kenapa aku merasa sedih--bukan karena iba, tapi karena sesuatu yang lain--saat melihat bekas luka itu. Tak perlu bertanya aku tahu penyebabnya.
"Kamu kenapa?" Tanyaku pelan.
Dia tampak geli. "Jatuh pas mungut berkas salah yang dilempar, Pak!"
Dipanggil Pak lagi!
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya. Dia juga tanpa sadar ikut memajukan tubuhnya. "Kamu nggak apa-apa jatuh gitu?"
Keken tertawa kecil. "Ya nggak apa-apa lah, Pak, cuma jatuh doang. Luka kecil juga. Udah risiko cita-cita. Calon kowad* kan harus kuat," dia nyengir.
Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum.
"Tahun lalu juga saya jatuhnya lebih parah pas mungut berkas administrasi!" Katanya bangga.
Jadi tahun lalu juga dia ikut? Sempat ada yang salah di berkas administrasi? Dan dia nggak lulus? Tapi kok bangga?
"Tapi saya nggak nyangka kalau Bapak Tentara," dia berkata takjub.
Aku nyengir bangga. Jadi dia manggil aku Bapak karena dia menghormatiku dan pekerjaanku.
"Padahal Bapak badannya gede gitu, apa berat badan Bapak sama tinggi badan Bapak sesuai?" Kampret! "Timbangannya nggak rusak?" Kalau nggak ada banyak saksi mata di sini, udah kukarungin nih anak! Tadi kupikir muji, tapi ujung-ujungnya ngehina Badan dan tinggiku yang emang gede--bukan gembrot--gedeku ini lebih ke berotot dan perut six pack ramping.
Aku mengobrol banyak hal dengan Keken, mulai dari sejak kapan dia mulai tertarik untuk masuk militer, dan apa alasan dia gugur di secaba dan secatam tahun lalu. Keken juga menanyakan kabar tentang Dania, dia sangat gembira saat mendengar bahwa kami sudah menemukan lelaki yang menghamili Dania dan mereka akan segera menikah. Setelah itu aku tidak bisa lagi berbicara dengannya. Para calon tamtama dan Bintara TNI/kowad, diminta untuk segera berkumpul di tengah lapangan.
Keken berpamitan padaku, dia bilang semoga suatu saat nanti kami bisa bertemu lagi--dia sudah tahu bahwa aku berdinas di pebatasan Papua.
Dan ... Ah sudahlah. Aku juga berharap suatu saat kita bisa bertemu lagi, Srikandi. Sangat berharap malah.
----------------------SELESAI-------------------------------------------