Chereads / Nala : Aku dan Kamu di 2006 / Chapter 3 - Patner In Crime

Chapter 3 - Patner In Crime

Sejak anak-anak di kelas sebelah memberitahu bahwa pelajaran Sejarah akan ada ulangan tulis dadakan, sebagian besar murid di kelasku mulai menyiapkan jurus terjitu mereka masing-masing.

Ada yang menyembunyikan buku LKS dan buku catatan sejarah di laci meja, disamarkan dengan sampul buku LKS mata pelajaran lain.

Ada yang membuat ringkasan penting dari potongan-potongan kertas kecil yang kemudian dimasukkan ke dalam saku.

Dan bahkan ada beberapa anak yang mencorat-coret meja dengan materi, yang menurut mereka penting, menggunakan pulpen, agar kelihatan wajar dan pintar dan guru tidak akan curiga kalau si pemilik meja mencontek (Katanya ini salah satu teknik jitu buat mencontek, kemungkinan ketahuannya di bawah 50%. Tapi aku nggak percaya tuh! Aku pernah cobaa soalnya, sekalinya coba, langsung ketahuan guru dan masuk BK! Apes.)

"Nggak ada yang ke kantin ya?" Celetuk Asfhar, si cowok jangkung murah senyum, yang disebut anak-anak lain sebagai Glenn Alinskie kawe di kelasku.

"Kayaknya nggak," jawab Hari teman sebangku Ashfar.

"Jadi nggak ada yang laper? Bel istirahat udah bunyi dari tadi lho." Asfhar keheranan. Tidak biasanya makhluk-makhluk XI Bahasa, yang dikenal sebagai kelas yang dianaktirikan, mau repot-repot belajar (re : repot-repot membuat contekan) untuk sebuah ulangan harian.

"Urusan perut belakangan Far, urusan nyawa nomer satu," timpal si montok tomboy, Vivi, yang duduk di barisan terdepan. Dia memakai metode mencontek dengan 'corat-coret meja', "gue nggak mau kalau dapat nilai merah di ulangan ini. Lo ingat ancaman Pak Rabwan?"

Asfhar meringis. "Iya sih."

Pak Rabwan guru Sejarah kami, awal semester kemarin pernah berkata, kalau suatu saat beliau akan mengadakan ulangan harian dadakan. Dan kalau kami mendapatkan nilai merah dalam ulangan harian dadakan, nilai itu akan menjadi nilai rapor mata pelajaran sejarah semester ini. Pak Rabwan tidak percaya pada nilai ulangan mid dan ulangan semester yang diadakan sekolah, karena ... Yaaaah, keterampilan mencontek dari para siswa yang tidak perlu diragukan lagi. Hehehe.

"Kamu juga bikin contekan?" Aku melirik ke arah Kala yang tampak sibuk menulis poin-poin materi yang menurutnya penting dalam sebuah kertas ... Double Folio?

Ini anak mau nyontek atau ngapain sih?

"Iya aku bikin contekan," jujur Kala.

"Trus kenapa bikin contekannya pake follio?!" Aku hampir berteriak histeris.

"Biar ada seninya."

"Seni kepalamu! Itu gimana cara nyonteknya coba? Dan gimana cara kamu nyembunyiinnya."

Kala tertawa melihat kepanikanku. "Tenang aja Nal, serahkan urusan ini sama ahlinya. Dijamin nggak bakal ketahuan, aku udah puluhan kali praktek," katanya bangga.

"Ahli mencontek?" Cibirku.

Kala tertawa lagi. "Ngomong-ngomong kamu nggak bikin contekan?"

Aku menggeleng sambil menyeringai menatapnya.

"Wow. Berarti udah belajar dong?"

Aku menggeleng lagi. Seringai ku makin melebar.

Kala berhenti menulis contekan. Dia menatapku dengan kening berkerut, "Berarti kamu udah ngerasa diri pintar dan nggak bakal nyontek?" Tebaknya ragu, "Tapi Nal. Ini Sejarah. Walau nggak pakai rumus dan bentukannya hafalan, tapi ini nggak bisa pakai penalaran lho."

Aku tertawa, "Aku nggak ngerasa diri pintar, Kal. Aku sama aja kayak kalian kok, bakal nyontek kalau nggak bisa. Cuma untuk urusan contek-mencontek kayaknya aku lebih ahli dari kamu."

"Maksudnya?"

"Aku nggak perlu repot-repot bikin contekan buat mencontek."

"Trus gimana cara nyonteknya kalau kayak gitu?" Tanya Kala penasaran.

"Ya tinggal nyontek jawaban dari kamulah. Udah jelas-jelas benar, karena kamu nyontek!"

Kala menganga. Dia menatapku sebal, "Semprul!" Ketusnya.

Aku tertawa lagi.

Aku akui Kala itu kreatif. Dia melakukan hal yang tidak terpikirkan orang lain. Contohnya ya dalam kasus mencontek yang sedang kami kerjakan.

Kertas double folio yang sudah dituliskannya materi penting sejarah tadi, diremas-remas dan diinjak-injaknya sampai tak berbentuk, lalu kertas itu direntangkan dan disimpan diantara kaki kami, di bawah meja, diantara kursi yang kamu duduki. Posisi Kala menyimpan kertas membuat tulisannya terbaca jelas oleh kami.

"I-ini nggak apa-apa?" Aku berbisik pelan pada Kala.

"Nggak. Palingan Pak Rabwan sama anak-anak lain bakal ngira ini sampah."

"Nggak bakal ketahuan?"

"Nggak kok. Tenang aja, dan kalaupun ketahuan, aku bakal bilang kalau itu kertas contekan punya kamu."

'Kamu mau mati ya?" Aku melotot sebal, sementara Kala tertawa puas karena berhasil menggodaku.

***

Ulangan harian sejarah berlangsung menegangkan dan seru, tak ubahnya seperti acara uji nyali yang ada di televisi. Pak Rabwan yang tegas dan galak benar-benar tipe pengawas ulangan yang menyebalkan. Mata tuanya benar-benar teliti mengawasi tindak-tanduk kami. Gerak sedikit, langsung disambut bentakan, "Kamu keluar!"

Ulangan harian baru berjalan sepuluh menit, tapi sudah enam siswa teman sekelasku yang diusir keluar.

Di ulangan harian ini bukan cuma Pak Rabwan yang harus diwaspadai, ada satu atau dua teman sekelasku yang hobi cari muka depan guru, padahal sudah punya muka.

Contohnya ....

"Ih si Nala nyontek!" Suara cempreng Si Arab pesek Nadia membuat perhatian teman-teman sekelas, termasuk Pak Rabwan, teralihkan padaku.

Grrrr. Dasar Arab palsu.

"Juara kelas kok nyontek?" Sindirnya pedas.

Aku menyipitkan mata menatapnya yang duduk dua bangku di depanku dan Kala.

"Santai aja, Nal. Jangan gugup," bisik Kala perlahan kakinya mendorong bukti contekan kami ke kolong bangku di depan kami.

"Jangan sembarang ngomong ya!" Ketusku memelototi Nadia, "Tas sama buku catatanku sudah dikumpulkan di depan kelas," aku membela diri

"Siapa tahu masih ada di laci mejamu, dari tadi aku ngeliat kamu nunduk terus."

"Memangnya nggak boleh nunduk baca soal?*

"Ya boleh sih, asal nggak nyontek."

"Kamu ...." Kala menepuk pundakku menyuruhku untuk tenang.

"Udahlah, daripada bertengkar terus nggak ada juntrungannya, mending kalian periksa sendiri laci meja Nala apa ada kertas contekannya atau nggak."

Pak Rabwan datang memeriksa laci mejaku dan Kala. Beliau mengangguk-angguk dan menyuruh kami melanjutkan mengisi ulangan saat melihat laci meja kami kosong.

Aku mencibir ke arah Nadia yang tampak kebingungan melihat aku dan Kala yang lolos inspeksi dari Pak Rabwan.

"Selamat. Selamat," bisikku.

Kala tertawa geli.

Beberapa menit sebelum jam sejarah berakhir, Kala tiba-tiba menyikutku.

"Apa?" Tanyaku bingung.

Kala tak menjawab. Dia hanya menggedikan dagunya ke depan, merujuk pada seseorang yang duduk di bangku depan kami. Aku mengikuti arah tunjukan dagu Kala, dan langsung menyeringai saat melihat pemandangan di depan.

Seorang murid yang duduk dua bangku depan kami diam-diam mengeluarkan buku LKS dari lacinya, dan membacanya di bawah meja.

"Uhuk-uhuk!" Kala pura-pura batuk.

"Lempar batu sembunyi tangan

Kalau sendirinya mau nyontek, jangan nyalahin teman."

Nadia langsung berbalik dan melotot ketika mendengar pantun absurd-ku. Sementara Kala tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar.