Chapter 4 - CHAPTER 3 - Hari itu... (あの日)

Setelah aku sampai, aku kembali melihatnya disana. Namun, kali ini dia hanya duduk tertidur di bawah pohon itu. Perlahan tapi pasti, aku mendekatinya. Dengan diriku yang bercucuran keringat dingin, hatiku yang berdegup cukup cepat, muka menunduk ke bawah, aku berkata padanya.

"Halo, namaku Gou Akira! Aku siswa pindahan di sekolah ini. Namamu siapa? Salam kenal..." ujarku dengan gugup.

Setelahnya, dia membuka matanya dengan perlahan.

"Hah..." balasnya sembari menghembuskan nafas.

"Hah?", ujarku kebingungan.

Di bawah pohon yang rindang itu. Dengan angin yang kencang itu. Dengan daun yang sedang berjatuhan itu. Dia menatapku dengan tatapan yang kosong. Tatapan seseorang seperti sehabis bangkit dari kematian.

"Hm.. Padahal ini adalah hari pertamaku sekolah. Namun aku malah ketiduran disini. Bahkan aku hampir tidak bisa bangun karena tertidur dengan nyenyaknya."

Baru saja dia bangun dari tidurnya, dan sekarang dia berbicara apa pula ini.

"Sa-salam ken-", ujarku terpotong.

"Sepertinya tadi ada seseorang yang memanggilku. Apakah kamu orangnya?", tanyanya sembari melihat ke arahku.

"Iya," ujarku.

Setelah aku menjawabnya, dia memalingkan pandangannya dari aku dan tampaknya kali ini dia sedang merenungi sesuatu.

"Sudah berapa lama aku tertidur?", tanyanya kembali.

"Sedari jaman batu.", jawabku sembari bercanda.

"Huh?", ujarnya dengan ekspresi datar.

Aku hanya bisa terdiam menanggapinya. Disini, aku tidak mau berkomentar apakah dia pura-pura tidak tahu atau apa.

Lalu, dia menepuk pahanya dua kali. Kemudian dia mengatakan sesuatu padaku.

"Duduklah disini. Di samping kananku," pintanya.

"Oke," jawabku.

Aku langsung menuruti apa yang dia minta.

Setelah aku duduk di sampingnya, aku baru sadar bahwa ada pertanyaanku yang sampai sekarang masih belum terjawab.

"Ngomong-ngomong, daritadi aku belum tahu namamu. Siapa-"

"Sepertinya bekal satu lagi yang ada di tanganmu, diperuntukkan untuk diriku. Apakah itu benar?", ujarnya menginterupsi.

Dia memotong ucapanku lagi!

"Iya..." ucapku sembari memendam kesal.

"Sini?" pintanya sembari menjulurkan kedua tangannya ke arahku.

Ah... Aku tidak punya pilihan lain selain memberikan 'itu' padanya. Bekal tersebut aku beli saat dalam perjalanan menuju ke sini. Aku khawatir bahwa bisa jadi dia belum ada makan apa-apa sejak pagi tadi.

"Terima kasih." Ujarnya sembari menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan denganku.

"Ya..." ucapku sembari mengikuti perintahnya seperti anak kecil yang baru saja diajarkan bagaimana cara berjabat tangan.

Aku hanya terheran-heran dengan sikapnya. Apa-apaan sih yang dia lakukan ini?

"Selamat makan..." ucapnya sembari membuka sendok dan garpu yang masih terbungkus di dalam bekalnya.

"Selamat makan..." ucapku sembari melakukan hal yang sama namun sembari melihat ke arahnya.

Sepertinya dia tidak menghiraukan lirikanku. Dia memakan bekal dengan pelan, santai, dan elegan. Harusnya jika tebakanku benar, dia sedang kelaparan saat ini, namun dia tidak tampak menunjukkan kalau dia sedang kelaparan. Ekspresinya saat makan juga masih sama datarnya.

Oh ya, bekal yang aku belikan untuknya adalah nasi dengan telur mata sapi dan tempe orek. Sedangkan bekal untukku hanya nasi dengan tempe dan tahu saja. Bukannya karena aku tidak mampu membeli bekal yang sama dengan dia! Aku hanya lagi tidak mau saja makan-makan seperti itu. Sebentar, aku menyangkal ke siapa?

"Apakah kamu keberatan jika aku menanyakan sesuatu?" katanya.

"Boleh, silahkan!" jawabku setelah tadi melamun.

"Mengapa kamu kesini?", tanyanya penasaran.

"Hah? Maksudmu?" ujarku.

"Kenapa kamu tidak makan di kantin seperti pada umumnya, dan memilih makan disini bersamaku?", tanyanya kembali.

"Entahlah... Aku hanya tergerak sendiri untuk kesini. Mungkin aku lagi malas makan disana.", ujarku sembari merenung.

Tumben sekali aku hari ini, biasanya aku tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan orang lain. Wanita atau pria, tindakan yang mereka lakukan sama saja menurutku. Namun, kenapa hari ini aku mengubah rutinitas makan siangku hanya karena melihat dia di bawah pohon tadi pagi? Kenapa?

"Setiap orang punya motif tersendiri dalam melaksanakan tindakannya. Baik tindakan yang ia sadari atau tidak, direncanakan atau tidak. Semua orang ada," jawabnya.

"Jadi, menurutmu apa motifku?" tanyaku bernada menguji.

"Entahlah... Aku tidak tahu. Yang tahu motifmu hanyalah dirimu. Hanya dirimu seorang.", ujarnya dingin.

Kutipan itu sedikit mengejutkanku dan menyadarkanku dalam beberapa hal yang bahkan aku tidak sadari sebelumnya...

.

..

...

"Terima kasih untuk makanannya," ujarnya.

"Terima kasih untuk makanannya," ujarku.

Akupun kemudian mulai merapihkan bekal makananku dan bekalnya.

Saat aku mulai merapikan bekalnya, aku melihat bahwa gadis itu seperti sedang menatap sesuatu. Namun, ketika aku mencoba melihat apa yang dia lihat dari posisinya, nyatanya hanya bangunan sekolah yang terlihat. Yah.. Memang jelas sih pandangan itu yang akan terlihat. Tapi kenapa ke arah sana?

"Hei... Ke arah mana kamu melihat? Hmm.. Bangunan sekolah. Apa ada yang salah dengannya?", tanyaku.

Namun dia tidak menjawab.

Tatapannya kosong melihat ke arah bangunan sekolah. Seolah jiwanya hanyut terbawa oleh bangunan itu.

"Ahem.. Kamu tidak mau menjawab? Ya sudah.. Kalau gitu aku mau bal-", ujarku sembari ingin berjalan kembali ke sekolah namun baju belakangku ditarik halus oleh dia.

"???"

"Sebentar...", lirihnya.

"Ada apa?", tanyaku.

"Nanti... Setelah selesai pelajaran... Dari gerbang sekolah... Kita pulang bareng...", ujarnya terbata-bata.

Akhirnya kesempatan emasku datang! Akhirnya datang juga di saat-saat terakhir!

"Boleh. Kalau gitu sampai jumpa nanti ya", ujarku sembari senyum.

Setelahnya, aku perlahan pergi meninggalkannya disana sendirian.

Namun, aku merasakan seperti dia tersenyum kecil nan hangat sebagai respons baliknya. Atau ini hanya perasaanku saja?

.

..

...

Jam selesai sekolahpun akhirnya berbunyi. Jam 3.

Sudah waktunya aku bangun dari tidurku. Pelajarannya membosankan sih, makanya aku sampai tertidur dari jam mulai pelajaran setelah istirahat hingga jam akhir. Bayangkan saja hari pertama setelah istirhat, langsung dikasih pelajaran fisika! Kenapa tidak disimpan untuk besok atau lusa saja sih? Umm... Sekarang, mari kita lihat apa yang ada di mejaku. Buku pelajaran, buku catatan, pulpen, dan tip-ex. Ah, betapa kacaunya mejaku. Aku harus segera merapikan ini dan pulang.

"Hei! Mau main ke warnet gak?" ujar Isamu.

"Tidak. Aku mau langsung pulang saja," ujarku.

"Eh... Aku kesepian nih di warnet.", ujarnya kecewa.

"Sebelumnya-sebelumnya pun kamu main sendiri kan. Tidak usah sok kecewa dah. Sudah aku mau pulang dulu," balasku..

"Eh..." ujar Isamu sembari menghela nafas.

Akupun kemudian bergegas pergi setelah dirasa semua barang tidak ketinggalan.

Sebelum pulang, aku ambil rute belakang sekolah. Tujuannya agar bisa lihat pohon dan memastikan apakah gadis itu masih disana atau tidak.

"Oh, tidak ada disana..." ujarku datar.

Setelahnya aku berjalan lurus, sekalian melewati ruangan OSIS. Sekilas aku melihat ketua OSIS memegang dan membaca satu berkas dengan serius. Tapi, aku tidak mau terlalu ikut campur dan pergi langsung.

***Sementara itu di ruang OSIS.

POV: Ketua Osis

"Nama... Gou Akira.

Umur... 16 Tahun.

Alamat...

Favorit...

Hobi...

...", monologku ketika berbicara sendiri saat membaca suatu formulir pendaftaran.

...

"Huh? Keinginan terbesar... Membuat klub detektif?

Alasan... memiliki ketertarikan besar terhadap kasus misteri beserta pemecahannya. Banyak sekolah yang menolak berdirinya klub detektif tanpa alasan yang jelas."

"Aku harus cek dulu syarat pembuatan klub. Apakah ini diperbolehkan?" ujarku kebingungan.

Ketua OSIS itu kemudian bangkit dari duduknya dan memeriksa beberapa arsip di lemari. Satu-persatu ia cari, dari bagian atas hingga bagian bawah.

"Hm mana ya...

Klub... Klub.. Klub..

Ah, ketemu di bagian nomor 3 dari atas! Arsipnya berjudul... Klub dan segala persyaratannya", ungkapku dengan nada senang.

.

..

...

"Sepertinya ini bukan hal baik... Aku harus berkonsultasi dengan kepala sekolah dulu mengenai hal ini..." ujarku ketakutan.

***

Gerbang sekolah (15.10)

POV: Gou Akira

"Huh.. Apa benar dia bakal menungguku di gerbang sekolah hanya untuk pulang bareng denganku?" Ucapku pesimis dalam hati.

Aku terus berjalan dengan kepala tertunduk. Berjalan normal, tidak cepat dan juga tidak begitu lambat. Aku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan negatif yang sebenarnya bisa saja itu tidak terjadi, kan?

"Hei! Akhirnya kau datang," ucap suara itu dengan nada pelan.

"Hah?" ujarku sedikit mengangkat kepalaku.

Ya, dia tepat ada di depanku. Dia benar-benar menungguku. Melihatnya seperti itu, membuat sebagian prasangka negatifku hilang. Tapi... Ah sudahlah, simpan saja buat nanti.

"Tidak apa-apakah bagiku, untuk pulang bareng bersamamu? Apa kamu keberatan?" tanyanya dengan nada pelan.

"T... Tidak apa-apa," jawabku sembari memalingkan muka.

"Kalau begitu, mari kita jalan sekarang," ujarnya.

"Iya..." ujarku.

.

..

...

Sudah berapa menit ini berjalan? 5 menit? 10 menit? atau baru hanya 2 menit?

Ini terasa sangat lama bagiku. Kecanggungan ini... Keheningan ini... Ini semua menyakitkanku!

Aku harus mengajaknya dia berbicara untuk menghilangkan semua ini.

Tapi apa? Aku tidak terbiasa akan hal ini. Ini pertama kalinya bagiku, berjalan berduaan dengan gadis. Apa yang harus bincangkan dengan dia? Aku tidak tahu!!!

"Hei..." ujarnya.

"Y... Ya!", jawabku gugup.

"Kenapa kamu pindah ke sekolah ini?" tanyanya.

"Hm?", ujarku bingung.

"Padahal sudah semester 2, tapi kamu memutuskan untuk pindah sekolah secara tiba-tiba. Kenapa?" jelasnya.

"Um... masalah pribadi," ujarku sembari menunduk.

"Seperti?" tanyanya kembali.

"..." heningku sembari memikirkan sesuatu.

"Seperti apa?"

"Aku kan tadi sudah bilang kalau itu masalah pribadi. Hanya itu saja yang kau perlu tahu. Jadi, diam saja lah!" tegasku.

Dia terdiam dengan ekspresi kagetnya.

"Hah! Maaf... Aku tak bermaksud-" ujarku menyadari kesalahan spontan.

Tidak ada respon.

"Begitu..." sambungku.

Kitapun kembali ke kecanggungan panjang lagi. Bedanya kali ini dipenuhi rasa bersalah sesaatku. Andai aku bisa merevisi ucapanku tadi sebelumnya. Kondisinya tidak akan seperti sekarang ini. Sial, sekarang untuk membuka topik pembicaraan baru akan menjadi berat.

"Maaf juga... Karena mencoba tahu lebih banyak... Perihal masalah pribadimu," ujarnya sembari memalingkan kepala.

"T...Tidak! Itu salahku. Seharusnya aku bisa menolak itu lebih halus lagi. Tidak dengan membentak," balasku.

"Oke..." ujarnya menunduk dengan tangan kanan memegang tangan kirinya.

"Maaf, jika itu membuatmu tersinggung," ujarku.

"Tidak apa-apa..." balasnya.

.

..

...

"Ngomong-ngomong. Apa kamu merasa sedikit tegang ketika berjalan denganku?" Tanyanya.

"Tidak!" balasku yang kaget atas pertanyaan itu.

"Jadi begitu. Kamu memang tampak sedikit tegang. Apa kamu... merasa tidak nyaman berjalan bersama seorang gadis yang bahkan kehadirannya di sekolah tampak tidak diperdulikan?" Tanyanya kembali.

"M...Maksudmu tidak diperdulikan?" ujarku penasaran.

"Um... Tidak usah dibahas." balasnya.

Setelah itu dia mempercepat tempo jalannya sedikit, seolah dia tidak ingin membicarakan masalah ini lebih lanjut. Jika aku mencoba bertanya kembali perihal hal itu apalagi mencecarinya, maka dia akan melakukan hal yang sama seperti yang ku lakukan sebelumnya. Hmm... Apa maksudnya tampak tidak dipedulikan?

Tampak tidak diperdulikan...

Tampak...

Tidak diperdulikan...

Tunggu... Jangan-jangan!

"Apa... Kamu merasa seperti itu karena kamu selalu berada di bawah pohon beringin itu?" ujarku.

"Hah! K... Kamu tahu kejadian itu?!" Ujarnya tersentak kaget.

"Tahu apa?" balasku bingung.

"L... Lupakan!" ujarnya kembali diam sembari mempercepat jalannya.

"Hei! Jangan cepat-cepat jalannya..." teriakku.

.

..

Sesaat kemudian dia melambatkan tempo jalannya lagi menjadi normal.

"Hah.. Hah.. Bagus... Bagus... Akhirnya normal kembali..." Ucapku sembari terengah-engah.

"..."

Sial, lari sebentar begitu saja sudah bikin aku kecapekan. Air... Aduh, tidak ada yang jual air putih lagi sekitaran sini. Sudah capek, haus. Lengkap sudah.

"I... Ini," ujarnya sembari memberiku sebotol kecil air minum.

"Kamu kapan belinya?" tanyaku.

"Tadi, selagi menunggu kamu di depan gerbang sekolah," jawabnya.

"Apa aku selama itu sampai-sampai kamu bisa membeli air putih dulu?" Tanyaku kembali.

"Tidak juga," balasnya.

Tanpa pikir panjang aku langsung menenggak air minum itu. Setelah air itu habis setengahnya, aku baru terpikir.

"Apa dia lagi haus juga, sama sepertiku?" gumamku dalam hati.

Jika iya, aku harus memberinya air itu.

"Ini. Kamu pasti kehausan juga," ujarku sembari menyodorkan botolnya.

"Tidak usah. Buat dirimu saja," balasnya.

"Aku bersikukuh. Mohon terimalah," ujarku.

"Oke..." balasnya sembari menerima botol yang ku berikan.

Dia kemudian meminum air itu secara perlahan. Namun setelah air itu habis, dia tersedak dan batuk-batuk. Dia seperti orang yang baru menyadari suatu hal penting yang aku tidak sadari.

"Kamu tidak apa-apa?!" Tanyaku khawatir.

"T...Tidak apa-apa. Hah.. Hah.. Hah..." Balasnya sembari menghela nafas.

"Em...?" ujarku bingung.

.

..

...

"Hei, rumahmu dimana sih? Perjalanan masih lama kah?" tanyaku mengeluh.

"Tidak lama lagi. 200 meter dari sini, kemudian belok ke kanan 100 meter," jawabnya detail.

"Oh gitu. Berarti rumah kita dekat dong," ujarku.

"Kenapa bisa?" Tanyanya penasaran.

"Kalau arah rumahmu ke kanan, sedangkan arah rumahku ke kiri. Mungkin sekitar 200 meter ke kiri," jawabku sembari mengira-ngira jarak.

"Oh gitu..." ujarnya.

.

..

Sesaat setelah sampai di perempatan.

"Hei, karena rumahmu dekat, kamu temani aku pulang sampai depan rumah ya?" tanyanya.

"Kenapa aku harus menemanimu pulang sampai depan rumah? Lebih baik aku langsung pulang ke rumah dari sini-" ujarnya sembari berbalik arah namun baju belakangnya ditarik paksa. Eh?!

"Ayo..." pintanya.

"Okelah. Toh, ini juga tidak bisa aku hindari kan?" ujarku mengeluh.

"Lagipula, rumahmu sudah dekat dari sini, kenapa masih minta ditemani? Oh... Jangan-jangan kau takut ya? Takut? Takut? Penakut kah?..." Ujarku mencandainya.

"..." Tatapnya serius. Sebaiknya aku tidak usah mencandai dia lebih lanjut, kalau aku masih sayang nyawaku.

.

..

"Oke, sudah sampai rumah ya. Aku sudah menyelesaikan tugasku kan? Jadi biarkan aku pulang," ujarku.

"I...Iya," jawabnya pelan.

"Kalau gitu, aku pulang dulu-" ujarku dan bajuku kembali ditarik dari belakang.

"Tunggu, aku ingin mengatakan sesuatu," ujarnya.

"Apa itu?" tanyaku.

"Tidak begitu penting sebenarnya, tapi ..." ujarnya.

"Hmm?" ujarku.

"Aku ingin kamu tahu tentang namaku. Namaku adalah Akiko Seira. Salam kenal..." jawabnya elegan.

"Um? Uhm... Sa..Salam kenal juga..." ujarku terpana akan pesona kecantikannya yang meluap-luap saat mengucapkan itu.

"Kalau begitu, sampai juga lagi esok di tempat yang sama!" ujarnya sebelum membuka pintu rumahnya.

"Uhm..." ujarku tertunduk.

Dan diapun akhirnya masuk ke rumahnya. Akupun kini kembali ke rumahku seolah tidak ada kejadian apa-apa sebelumnya. Tapi... ada satu hal yang mengganjal. Saat di jalan, dia tidak menyadarinya. Namun saat sampai di depan rumahnya...

"Hm? Perasaan aku seperti melupakan akan sesuatu. Seperti sesuatu yang harus ditanya, tetapi apa itu..." ujarku bingung.

"Ha! Nomor telepon! Aku tahu namanya, tapi tidak tahu nomor teleponnya. Andai aku tahu nomornya, aku kan bisa mengajaknya pulang bareng nanti! Sial...." ujarku kesal.

Sembariku menggerutu disana tentang betapa bodohnya aku yang tidak bertanya itu ke Seira, ada seseorang datang dari jauh sembari menyaut-nyaut.

"Hei!!! Kau yang disana! Ada berita untukmu!" ujar orang itu.

"Hm? Ketua OSIS?" ujarku sembari menengok ke kiri.

Dia berlari dengan tergesa-gesa. Wajahnya tidak bisa ditebak. Apakah itu berita baik? Berita buruk? Tentang apa?

"Klub... Keinginanmu... Semuanya...", ujarnya terengah-engah.

"?!", ujarku bingung menanti jawabannya.