Chapter 4 - Episode 4

Raka bergidik. Aura pemakaman ini begitu suram dan menegangkan. Nisan-nisan sudah tertutup lumut dan banyak sekali tanah kuburan yang amblas ke bumi. Menyisakan pemandangan mencekam dan muram meskipun tidak ada sama sekali sisa tulang-tulang berserakan di dalamnya.

Kompleks pemakaman terbagi dua. Di sisi mereka terdampar, nisan-nisan berukuran sama dengan tulisan seragam berbahasa sansekerta "Barya Kapila". Dan di sisi sebelah kanan yang terhalangi tembok batu rendah terdapat jajaran nisan-nisan dengan tulisan "Sembagi Arutala".

Raja mengerutkan kening. Ini seperti dua kuburan yang sengaja dipisah karena semasa hidupnya kedua kelompok ini saling berseteru dan bersitegang. Bahkan mungkin sampai terjadi peperangan di antara mereka.

Bagian mereka terdampar ini dirasakan Raja memiliki aura yang lembut dan sedih. Sedangkan di seberangnya Raka bisa merasakan sebuah aura kekerasan hati dan pantang menyerah yang membuat merinding bulu tengkuk.

Ketiga lelaki ini bersama-sama memandang dengan takjub dan baru menyadari bahwa mereka sekarang berada di sisi dalam candi. Kompleks pemakaman ini terletak di halaman belakang candi yang terlihat sangat megah dan menakjubkan.

Sebuah pintu gerbang tinggi dan lebar terbuka tidak jauh dari pemakaman. Pintu kayu tebal yang sama sekali tidak nampak busuk maupun rusak. Kokoh dan kuat. Dari pintu terbuka itu mereka bisa melihat bagian dalam candi yang sekelilingnya tertutup oleh tembok tinggi yang disusun dari batu-batu besar.

Candi yang luar biasa megah dan agung!

Raja berjalan menuju pintu gerbang diikuti Raka dan Bima. Tanpa berdiskusi untuk menyusun rencana terlebih dahulu, ketiganya yakin bahwa ini adalah puzzle selanjutnya yang mesti dipecahkan. Penemuan makam dengan dua macam tanda yang berbeda tadi adalah puzzle pertama. Raka bahkan sempat mencatat semua di buku jurnalnya.

Ketiganya memasuki lingkungan candi dengan langkah perlahan-lahan. Seolah takut siapapun penghuni candi itu akan terbangun. Terdapat 5 stupa besar yang di antaranya terdapat 2 stupa kecil. Candi ini mungkin dibangun di masa kerajaan Galuh Pakuan atau Pajajaran. Masa ketika agama Hindu masih merupakan agama terbesar di Jawa Dwipa.

Jantung Raja seperti menciut seketika saat matanya terbentur pada sebuah patung besar Dewa Syiwa di hadapannya. Patung yang dipahat dari batu seolah benar-benar hidup di mata Raja. Matanya menyala merah penuh amarah. Siap melahap siapa saja yang mengganggu kesucian candi ini.

Tanpa disadarinya tubuh Raja mundur teratur. Ada pintu di bawah patung besar itu. Terbuka. Padahal sedari tadi tak satupun dari mereka yang melihat pintu. Apalagi pintu yang terbuka.

Tidak jauh dari patung besar Dewa Syiwa, terdapat patung besar lain dengan pintu yang terbuka juga di bawahnya. Patung Dewa Wisnu.

Di mata Raja, berbeda dengan penampakan Dewa Syiwa yang penuh amarah, penampakan Dewa Wisnu ini ramah dan terlihat sangat bijaksana. Sepertinya mempersilahkan siapa saja yang telah sampai di sini untuk memasuki pintu yang telah dibukanya.

Bima sudah hendak memasuki pintu di bawah patung Dewa Wisnu saat Raja menyadari sesuatu.

"Tunggu dulu Bima!" Raja memegang tangan Bima lalu memejamkan mata. Memusatkan perhatian. Ketika Raja membuka mata, kali ini yang dilihatnya sungguh berbeda. Dibalik pintu Dewa Wisnu nampak jelas sekali kobaran api besar menyala-nyala. Memang itu api gaib. Tapi Raja yakin sekali bagi siapapun yang memasuki pintu itu akan menemui banyak perkara mengerikan, atau bahkan mungkin mematikan.

Raja menoleh ke pintu Dewa Syiwa. Tidak ada api di sana. Raja melangkahkan kaki memasuki pintu itu. Raka dan Bima saling pandang bertanya-tanya. Bukankah Dewa Syiwa adalah perlambang kemurkaan dan kemarahan? Kenapa Raja malah memilih pintu itu untuk dimasuki?

Namun keduanya maklum Raja pasti punya alasan yang mereka berdua sama sekali tidak mengetahuinya. Raka dan Bima saling mengangguk dan kemudian melangkah mengikuti Raja.

Hawa yang sangat dingin menyambut mereka di dalam. Tiba-tiba terdengar suara keras berderak.

Rrrrrrrtttt....brakkkkkk

Pintu di belakang mereka tertutup dengan sendirinya. Ketiga orang itu terpaku diam. Cemas dan waspada.

Tidak terjadi apa-apa.

Namun itu hanya untuk beberapa detik saja. Tiba-tiba dinding kanan kiri bergerak perlahan dari arah berlawanan. Kontan ketiganya mengambil langkah seribu. Pontang-panting berlarian ke depan. Tidak mungkin mereka membuka paksa pintu sebesar dan seberat itu.

Pada titik kritis dinding itu hampir menyatu menggencet gepeng tubuh mereka, sampailah mereka di sebuah ruangan besar yang mirip dengan ruang pemujaan. Selamat!

Dinding di belakang mereka mengeluarkan suara keras saat saling menyatu. Ketiganya saling berpandangan dengan keringat dingin mengucur deras. Terlambat sedikit saja, mereka akan menjadi segepeng serabi. Fiuuhh!

Setelah membetulkan letak jantungnya, Raja memeriksa ruangan pemujaan itu. Beberapa patung Dewa Syiwa berdiri di sudut-sudut ruangan. Sementara di tengah ruangan terdapat meja besar panjang tanpa kursi di sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan pintu. Ya ampuunn! Puzzle ini semakin rumit saja!

Aaahhhh!

Raka melompat mundur sambil berteriak pucat ketakutan!

Di atas meja panjang yang tadinya tidak ada apa-apa, kini tergeletak sesosok tubuh wanita berpakaian serba putih yang sedang tak sadarkan diri.

Bima mengenali sosok itu.

"Daraaa!" Lelaki tinggi besar itu melompat ke depan bermaksud membangunkan sosok yang dikiranya adalah Dara.

Raja masih sempat memegangi tangan Bima agar tidak berlaku gegabah. Dia berjalan perlahan mengitari tubuh wanita itu sambil mengamatinya dengan teliti. Tubuh ini memang seperti perawakan tubuh Dara. Tapi berhubung wajahnya belum terlihat karena tertutup kain putih tipis, Raja mesti meyakinkan diri. Menghadapi hal-hal aneh di tempat aneh mesti menyikapinya dengan hati-hati.

Terdengar suara lirih mengalun. Meskipun lirih, suara itu menggema di seluruh ruangan dengan intonasi mencekam. Wanita yang terbujur di atas meja itu menembang! Sebuah tembang berbahasa kuno yang diliputi oleh nuansa kesedihan!

------