Maria tertegun saat Wati menyatakan dugaan semacam itu dan berkaitan tentang hasil medical check up yang dilakukan Frans. Sejenak dia terpengaruh ucapan Wati dan tampak berpikir di mana Maria mendadak bungkam. Malahan kening klimisnya yang terawat itu kini harus berkerut seakan berpikir keras jika saja hal itu bisa terjadi. Diamnya Maria berlangsung sesaat karena dia segera sadar akan lamunan sendiri dan menatap serius pada Wati yang masih menunggu komentarnya.
"Kemungkinan itu sangat kecil, Wati. Lagipula mana mungkin tertukar sedangkan informasi yang kudapat kalau Frans melakukan pemeriksaan ulang di dua rumah sakit dan hasilnya tetap sama. Jadi tak mungkin kalau hasilnya tertukar!" beber Maria yang bisa mematahkan dugaan Wati barusan mengenai hasil pemeriksaan Frans dan divonis mandul.
Apa yang diutarakan Maria tentu masuk akal dan terasa kecil kemungkinan tersebut. Alhasil, Wati menarik nafas dalam dan menghembuskan nafas panjang seakan ada beban yang dirasakan mengenai kabar itu. Adapun Maria menatap reaksi Wati barusan dan tak sungkan berkomentar lagi.
"Ada apa? Kenapa kau tampak terbebani dengan penipuan yang dilakukan Frans?" tanya Maria yang ingin tahu kenapa Wati tampak murung akan fakta tersebut. Sebagai orang yang menyampaikan kabar itu, Maria tentu merasa aneh dengan reaksi Wati di mana tampak jelas dia sulit percaya.
"Rasanya sulit sekali untuk percaya kabar ini, Bu. Apalagi Den Frans terlihat begitu bugar secara fisik. Belum lagi dia tak ada riwayat perokok dan peminum juga. Hidupnya sangat sehat dan Ibu juga pasti tahu hal itu. Jadi sangat sulit bagi saya untuk percaya kalau dia mandul. Apalagi berusaha menipu. Bukan sifat Den Frans, Bu!" beber Wati apa adanya sesuai naluri yang dimiliki. Adapun Maria tetap memaklumi penuturan Wati karena cukup dekat dengan Frans. Maria menghela nafas kasar mendengar hal itu sebelum akhirnya membalas lagi.
"Dengar, Wati! Apa yang kudapatkan adalah apa yang ku sampaikan padamu barusan tanpa menutupi apapun kenyataan yang ada. Frans memang mandul dan divonis demikian oleh tiga rumah sakit. Ingat, tiga rumah sakit berkata hal yang sama dan tak ada lagi yang perlu diragukan. Parahnya, dia menutupi hal itu dari kami, termasuk keluarganya demi terlaksananya pernikahan dia dan Paola. Mana mau kami menikahkan Paola dengan pria mandul karena kami butuh penerus. Gilakan!" cicit Maria panjang lebar berusaha meyakinkan hal itu pada Wati yang mendengarkan tanpa memotong.
Apa yang dijelaskan Maria tentu dipahami Wati di mana sulit sekali menyangkal kebenaran tersebut dengan bukti yang sudah jelas juga. Namun, jauh di dasar hati, Wati tak yakin kalau Frans berusaha menipu seperti tuduhan Maria yang penuh amarah.
"Lantas, Ibu sudah yakin pernikahan ini batal?"
"Tentu saja batal dan siapa juga yang Sudi punya menantu cacat! Akan ku carikan pria lain yang sepadan untuk Paola!" balas Maria yakin akan rencana selanjutnya di mana Wati terlihat kaget. Wati terdiam di mana kerja keras yang dilakukan berakhir kacau dengan alasan tragis. Belum lagi Wati merasa iba sekaligus bingung memikirkan Frans karena pasti terpukul dengan hal yang tak pernah diharapkan.
Dirasa tak ada hal yang perlu dibahas lagi, bincang itu harus berakhir di susul Maria masuk ke kamar dan Wati memilih menuju teras depan di mana biasanya dia mengistirahatkan diri dan menjernihkan pikiran. Namun, Wati lebih dulu melihat ke dapur sekadar mengecek keadaan para pembantu apakah pekerjaannya berjalan dengan lancar. Hanya sejenak Wati di sana dan segera membawa langkahnya menuju teras dengan perasaan campur aduk. Dalam waktu singkat Wati sampai di teras dan melihat gazebo kosong, lalu menuju ke sana. Setelah sampai Wati segera duduk di sebuah kursi besi dan merogoh saku celana hitam yang dikenakan saat jam kerja. Dia menyalakan handphone dan menatap serius pada layar guna mencari kontak Frans. Setelahnya dia menatap kontak itu di mana foto Frans yang terlihat tampan menjadi profil. Wati menatap tak berkedip diikuti helaan nafas berulang.
"Aku tetap tak percaya kalau kau mandul dan niat menipu, Den. Aku yakin kalau kau orang baik dan tulus mencintai keluarga ini yang sudah seperti keluarga sendiri. Aku yakin ada yang salah dengan kejadian ini, tapi apa?" oceh Wati dengan segala keraguan di hati dan tak bisa ditepis oleh fakta yang disampaikan Maria.
Wati mengatur nafasnya yang terasa sesak mendengar kabar itu dan mendongak. Amat jelas langit begitu cerah bersama angin bertiup sepoi-sepoi dan terasa dingin karena dari kejauhan terlihat awan mendung pertanda akan hujan. Di saat dia sedang bingung dengan semuanya, tiba-tiba handphone di tangan berdering dan menghancurkan lamunan sesaatnya. Wati segera menatap pada layar dan menemukan sebuah nama yang membuatnya tersenyum. Segera dia menekan tombol hijau dan mendekatkan benda itu ke telinga sebelah kanan.
"Hallo, Mbak. Aku sudah sampai di rumah, nih!"
"Syukurlah kalau begitu. Macet, ya?"
"Iya, ada kecelakaan tadi saat di jalan tol. Capek harus tertahan selama dua jam dan untung sempat mampir ke mall untuk makan."
"Ya sudah, yang penting selamat sampai rumah."
"Oya, Mbak. Saat di mall tadi aku lihat Kak Paola sama cowok. Mesra banget!"
"Oya? Kau yakin itu Non Paola?"
"Yakinlah, Mbak. Aku hafal dengan wajahnya, tapi cowok yang bersamanya tampak beda dan kuperhatikan bukan Kak Frans!"
"Hush, hati-hati kalau bicara, Lita!"
"Ih, aku serius, Kak. Malahan aku sengaja foto, loh! Mau lihat?"
"Ya sudah, cepat kirimkan!"
"Ok. Aku matikan, ya!"
"Ya."
Sambungan itu harus diputus di mana Wati baru saja ditelpon oleh adiknya yang kini duduk di bangku kuliah. Mendadak Wati mulai ketar-ketir sekiranya pengakuan Lita hanya guyonan. Duduknya kini tak tenang dan menatap sekeliling dan terhenti pada pos jaga di mana seorang penjaga rumah sedang duduk sambil menikmati rokok di tangan kanan. Tak berapa lama sebuah notif terdengar dan secepat kilat Wati segera membuka pesan dari Lita untuk membuktikan kebenaran yang dilihat. Dengan jantung yang berdebar, Wati harus memberanikan diri membuka pesan itu di mana ada satu buah foto yang harus dia lihat. Dalam diam Wati memperhatikan foto tersebut dan seketika matanya membulat seolah ingin copot. Jantungnya kian berdegup kencang bersama gelengan kepala setelah melihat siapa yang ada di foto tersebut. Terpampang nyata sosok Paola yang bergandengan tangan amat mesra layaknya pasang kekasih dengan seorang pria yang tak dia kenal. Wati merasa nafasnya sesak akan apa yang dilihat diikuti mulutnya yang bergumam.
"Ya Tuhan, jangan katakan kalau semua ini adalah rekayasa Non Paola dengan pria itu!" Wati melotot ketika menyimpulkan hal yang terbesit di benaknya. Bahkan, dia harus mengulang untuk sekadar memastikan apa yang dilihat adalah Paola. Hati kecilnya berharap kalau dia salah lihat, tapi semua amat nyata hingga membuat kepalanya sakit. Mendadak dia ingat pada Lita yang mengirimkan foto itu dan segera menghubunginya. Cukup satu kali panggilan dilakukan dan terdengar suara Lita di seberang sana disusul suara Wati terdengar panik.
"Lita, cepat hapus foto itu!"