Chereads / DIAGNOSA PALSU UNTUK TUAN MUDA / Chapter 5 - Bab 5 Sakit Hati

Chapter 5 - Bab 5 Sakit Hati

Dua pasang mata membulat sempurna seolah ingin keluar dari tempatnya setelah melihat sosok wanita dengan tubuh lebih tinggi sedang berdiri tepat di hadapannya. Bahkan, wanita itu begitu tajam melihat wajah Siti yang tak menduga kalau perbuatannya dilihat orang lain. Apa yang dilakukan tak bisa dia elak dan percuma saja mencari alasan, sedangkan dirinya memang sedang menguping saat ini. Siti yang sudah bekerja di rumah itu cukup lama sudah tahu kalau sosok yang berada di depannya saat ini begitu setia pada Yosef.

"Eh, Mbak Wati. Mengagetkan saja!" ucap Siti akhirnya karena ada Wati yang tiba-tiba muncul dan menemukan aksi menguping barusan.

Tanpa menjawab, Wati langsung menarik tangan Siti dengan kasar dan membawanya menuruni anak tangga. Sedangkan Siti hanya bisa pasrah karena sudah tertangkap basah dan pasti akan terdengar ceramah panjang dari Wati. Ketika menuruni anak tangga, nyatanya terlihat Imam baru saja masuk dan tampak bingung karena Siti ditarik oleh Wati. Tak sungkan Imam segera menyusul untuk mengetahui apa yang terjadi. Sesampainya di dapur, barulah Wati melepas tangannya dan terlihat Siti yang mengelus sambil meringis karena merasakan sakit karena dicekal amat kuat.

"Kenapa kau suka sekali menguping urusan majikan, huh? Apa kau ingin dipecat oleh Pak Yosef? Kalau benar itu maumu, maka akan kusampaikan pada mereka agar memecatmu hari ini juga!" Ocehan cukup panjang akhirnya keluar dari mulut Wati yang terlihat begitu serius saat mengatakan. Adapun Siti masih meringis sambil mengelus pergelangan tangan bersamaan dengan munculnya Imam yang segera menyusul setelah melihat mereka menuruni tangga dengan tergesa. Namun, wajah kesal Wati tetap terlihat, meskipun menyadari kedatangan Imam. Tentunya Siti sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Wati barusan karena mengatakan tentang pemecatan akibat ulahnya yang sudah lancang menguping pembicaraan majikan. Namun, dia tidak menyangka kalau apa yang diperbuat dilihat oleh Wati dan segera menepis.

"Jangan, Mbak! Aku tak ini dipecat. Aku butuh pekerjaan ini. Jangan adukan apa yang kulakukan pada mereka, Mbak. Aku mohon." Suara Siti akhirnya terdengar sambil merengek kepada Wati untuk tidak mengadukan apa yang dilakukan barusan, sedangkan Wati terlihat begitu jengkel karena apa yang dilakukannya telah berulang kali serta sering diperingatkan olehnya agar tak ikut campur urusan orang lain. Sayangnya Siti seakan menulikan pendengaran karena selalu saja ingin tahu. Wati menghela nafas kasar dan menatap gemas pada Situ yang lagi-lagi merengek untuk memohon belas kasih. Belum sempat Wati mengatakan apapun akhirnya terdengar suara Imam yang ingin tahu ada perkara apa antara mereka.

"Ini ada apa, sih!? Kayaknya serius betul!" celetuk Imam ingin tahu sekiranya apa yang terjadi. Sontak mata mereka langsung tertuju pada Imam yang telah berdiri di antara mereka dan memasang wajah penasaran. Didahulukan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan, Wati bersiap untuk menjelaskan apa yang terjadi pada Imam.

"Biasalah penyakitnya sedang kumat karena dia baru saja ketahuan menguping di depan kamar Bapak!" Itulah jawaban yang bisa diberikan oleh Wati dan seketika membuat mata Imam melotot disertai dengan kepala menggeleng berulang kali. Dari reaksinya yang demikian terlihat jelas kalau Imam tak menyangka Siti melakukan hal tersebut dan pasti dipicu dengan apa yang sempat dia tanyakan di depan rumah, tapi tak dijawab olehnya.

"Apa kau sudah gila, Siti? Segitu penasarannya kau sampai nekad menguping karena pertanyaan yang kau berikan padaku tidak kujawab? Kurasa otakmu sudah tak beres karena selalu ingin tahu urusan majikan. Jika Pak Yosef tahu, aku yakin dia akan memarahi dan mungkin memecatmu!" Begitulah sekiranya komentar yang keluar dari mulut Imam di mana kepalanya terus menggeleng seolah tak habis pikir dengan segala perbuatan Siti dan berulang kali diperingatkan oleh mereka untuk tak ikut campur. Namun, sebanyak apapun mereka bicara, tapi Situ tak kunjung berubah dan terus mengulang kebiasaan tersebut.

Mendengar Imam yang ikut memarahi perbuatannya, Siti hanya bisa menekuk wajah sambil merutuki apa yang telah diperbuat. Namun apa boleh buat karena rasa penasaran begitu besar di hati sehingga nekad menguping, meskipun dia sempat mendengar apa yang dibicarakan dan tahu apa yang sebenarnya membuat wajah Yosef terlihat menyeramkan saat pulang tadi. Nasi sudah menjadi bubur dan yang bisa dilakukan oleh Siti hanya meminta maaf sebagai tanda kalau dia menyesali perbuatannya juga berharap Wati tak mengadukan kesalahan itu kepada Yosef atau Maria.

"Iya iya ... aku minta maaf karena sudah melakukan hal bodoh barusan. Aku mohon jangan adukan pada Pak Yosef atau Bu Maria. Aku tak mau dipecat, Mbak. Berikan aku kesempatan dan aku janji tak akan seperti itu lagi!" Sebuah janji kembali diutarakan oleh Siti untuk kesekian kali. Wati dan Imam justru membuang nafas kasar seolah merasa jenuh dengan kalimat seperti itu karena terbukti selalu dilanggar. Rasa tak tega tentu dimiliki oleh Wati yang tahu betul kalau Siti membutuhkan pekerjaan tersebut. Apalagi dia memang sudah lama bekerja dengan Yosef, meskipun kebiasaannya menguping dianggap sangat mengganggu. Maka, Wati harus mengurungkan niatnya mengadukan perbuatan itu kepada mereka demi menyelamatkan Situ agar tetap bekerja di rumah itu.

"Dengar, Siti! Untuk kali ini aku tak akan mengadukan perbuatanmu pada mereka, tapi selanjutnya aku tak bisa pastikan kau akan bisa bertahan di rumah ini jika terulang lagi. Kita bekerja di rumah ini sesuai porsi yang ada dan jangan ikut campur urusan orang lain, terutama majikan. Paham?" Dengan cepat, Siti membalasnya dengan anggukan berulangkali di mana dia sadar betul jika orang lain yang melihatnya saat menguping pasti akan berakhir dengan pemecatan. Apalagi dia juga sadar kalau yang didengar barusan merupakan kabar tidak enak. Dirasa tak ada keperluan lagi akhirnya Wati pun meninggalkan Siti, sedangkan Imam masih berada di sana dan menatap ke arahnya penuh saksama. Hal tersebut disadari oleh Siti yang masih memasang wajah menyesal disusul suara Imam akhirnya terdengar.

"Siti ... Siti ... sudah kukatakan kalau jangan ikut campur urusan majikan, tapi masih saja bandel. Pak Yosef paling tak suka kalau ada orang yang ikut campur atau menyebar urusan keluarganya. Cari perkara terus kau ini dan untung Mbak Wati yang melihatmu. Kalau orang lain, pasti tamat riwayatmu karena sudah tahu masalah keluarga ini!" ucap Imam dengan kalimat panjang lebar dan justru membuat mata Siti melotot seraya menimpali.

"Jadi kau juga tahu masalah yang terjadi saat ini, Mam? Kaget sekali aku saat mendengarnya. Batal semua karena calon mantu ternyata man—"

"Cukup, Siti! Tutup mulutmu atau kusumbat dengan keset dapur kalau kau terus mengoceh!" Dengan gerakan cepat, Imam membekap mulut Situ yang terus mengoceh di mana mata menatap sekitar dan berharap tak ada yang dengar. Rasa kesal dirasakan Imam dan segera melepas bekapan.

"Cepat buatkan kopi dan antarkan ke pos depan! Sekali lagi kuingatkan untuk diam atau kami akan menontonmu dipecat tanpa ada pembelaan!"

Siti bungkam dan sedikit tegang karena luput mengontrol mulutnya yang sempat mengoceh barusan. Bahkan, dia memukul mulut lemes miliknya dan bergegas mematuhi apa yang Imam minta. Dalam diam, Siti berjanji akan memperbaiki semua agar tak dipecat dan mematuhi apa yang dikatakan oleh Wati juga Imam demi kebaikannya sendiri.

Sedangkan di kamar akhirnya Yosef sedikit lebih tenang setelah meluapkan emosi dan menceritakan apa yang telah dia perbuat di rumah Reynold. Bahkan, tangan kanan Maria mengelus punggung Yosef sekadar coba menenangkan dirinya yang terbakar emosi akibat kekecewaan yang dia rasakan. Keduanya duduk berdampingan di pinggir ranjang bersama pikiran kacau setelah mengetahui bahwa calon menantu dinyatakan mandul oleh dokter. Kebenaran tersebut membuat Yosef dan Maria terkejut sekaligus terpukul karena tak menyangka pria sehat seperti Frans tak bisa memberikan keturunan. Rasa kecewa tak bisa disembunyikan oleh mereka dan justru merasa tertipu karena kebenaran tersebut sempat ditutup rapat antara Frans dan Paola. Sayangnya rencana itu terbongkar juga seminggu menjelang pernikahan digelar. Hal tersebut menjadi alasan kemurkaan Yosef karena merasa ditipu mentah-mentah oleh Frans yang diketahui sengaja menutupi kebenaran itu dan memaksa Paola menerima dirinya yang dianggap cacat. Sebagai orang tua Yosef tak terima kalau anaknya diperlakukan seperti itu.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pa?" Suara Maria terdengar pelan dan menatap saksama pada Yosef yang masih mengatur nafas karena masih memburu setelah meluapkan emosi.

"Tentu saja menanggung malu karena pernikahan batal digelar!" sahut Yosef ketus dan menoleh pada Maria yang ada di sebelah kiri. Keputusan itu pasti diambil dan tak mungkin melanjutkan pernikahan karena keturunan yang diinginkan hanya mimpi belaka jika memiliki menantu seperti Frans. Adapun rasa malu tak bisa dielak lagi dan harus menjelaskan pada sajak keluarga alasan dari pembatalan tersebut.

"Apa salah kita harus menanggung malu begini, Pa? Undangan sudah disebar dan justru acara batal. Pasti jadi bahan gunjingan!" cicit Maria yang sudah membayangkan kalau akan mendapat cemooh dari lingkungannya.

Apa yang dikatakan oleh Maria tentu dibenarkan oleh Yosef saat ini karena sudah memikirkan dampak selanjutnya. Terlihat dua tangan mengepal akibat tersulut emosi jika mengingat apa yang sudah diperbuat oleh Frans. Tentu saja apa yang menimpa saat ini dianggap kesalahan Frans dan membuat Yosef sangat membencinya.

"Semua gara-gara Frans. Kalau dia tak menutupi kebenaran itu, semua tak akan terjadi. Undangan tak mungkin kita sebar dan tak perlu menanggung malu. Mau diapakan muka Papa kalau begini, Ma? Benar-benar sial!" Itulah keluhan yang keluar dari mulut Yosef di mana dia memijit pelipisnya saat ini karena mendadak sakit kepala. Melihatnya seperti itu rasa cemas dirasakan oleh Maria karena emosi yang meledak bisa membahayakan kesehatan Yosef. Dengan cepat dia semakin mendekatkan diri padanya seraya berujar.

"Ya sudah, sekarang Papa istirahat dulu. Tenangkan diri dan Mama ke bawa dulu buatkan teh!" ucap Maria dengan suara selembut mungkin dan coba menenangkan Yosef.

Penuh kesabaran dia membantu Yosef untuk berbaring di tempat tidur dan tak lupa menyelimutinya sebatas pinggang. Setelah itu dia memutuskan untuk keluar kamar untuk membuatkan segelas teh. Namun, dia terkejut ketika pintu dibuka dan menemukan seseorang berdiri.

"Apa yang kaulakukan disini?"