Kanaya, Kanaya dan Kanaya. Nama itu benar-benar bencana untuk Gideon. Tak cukup membuatnya terus bertanya-tanya ada hubungan apa Kanaya dengannya, gadis itu juga menolaknya. Tak cukup sekali tapi berkali-kali dan itu cukup melukai harga diri seorang Gideon yang tak pernah ditolak sebelumnya.
"Kanaya, apa sih mau kamu?" gumamnya dengan jemari yang terus mencengkeram tralis balkon apartemennya tak peduli bahwa dingin tralis besi akan menular pada tubuhnya. Di pikiran lelaki itu masih berkutat tentang hubungannya dengan Kanaya dan itu jelas mengganggunya.
Hal itulah yang membuatnya mengundang seorang ahli dalam trik mengajak orang bertemu sekalipun orang itu tak ingin. Dan, orang yang punya kemampuan itu tak lain adalah sang sepupu, Nathaniel.
"Ngapain kamu ngundang aku ke apartemen kamu tapi kamu diem aja kayak patung?" tanya Niel yang akhirnya menghampiri Gideon dan bersandar di tralis balkon.
"I need your help." Tentu saja Niel tahu, beberapa waktu yang lalu Gideon menelponnya dengan mengatakan hal itu dan di sinilah Niel sekarang, berada di apartemen Gideon.
"Aku lagi nyari tahu tentang seseorang." Kelopak mata Niel menyipit, dia sedikit penasaran orang mana yang sedang dicari sang sepupu.
"Tapi, semua informasi tentang dia kayak keblokir. Aku cuma bisa tau info dasar. Nggak ada info lain kayak hubungan dia dengan orang-orang di luar sana."
"Mungkin uang yang kamu tawarin sedikit, tambahin lagi aja."
"Sama aja. 500 juta seakan nggak guna." Hal ini lebih mengagetkan Niel, Gideon yang dia kenal tak akan sampai mengeluarkan uang setengah M hanya untuk mendapatkan informasi seseorang. Sekarang Niel semakin penasaran siapa orang itu.
"Lalu?"
"Aku nemuin orang yang aku cari kemarin. Aku berniat buat bicara baik-baik, tapi lagi-lagi dia nolak aku." Dari setiap cerita Gideon, Niel semakin tertarik dengan sosok yang Gideon cari ini.
"Aku telpon juga dia nggak angkat sekalinya diangkat begitu tau itu aku langsung dimatiin. Sekarang aku kebingungan bagaimana caranya aku bisa duduk berdua dengannya."
Niel tampak berpikir sambil sesekali meminum air soda yang dia bawa. Lelaki itu punya solusi sebenarnya, tapi tak yakin Gideon akan menerimanya atau tidak karena bisa dibilang ini akan memperngaruhi pekerjaan dan citra perusahaan Gideon.
"Aku punya ide, tapi aku tak yakin kamu bakal setuju apa nggak."
"Biar kudengar dulu." Niel mengangguk kemudian mulai mengumandangkan ide luar biasanya.
"Hubungi dia pakai email perusahaan dan tawari dia posisi yang bagus di perusahaan kamu. Kamu tau kan kalo Bright Future itu punya nama yang cukup besar di kalangan masyarakat, jadi mustahil dia bakal nolak."
"Maksudnya kayak undangan interview gitu?" tanya Gideon memastikan.
"Iya, dengan gitu kamu bisa tanya ke dia dengan dalih interview kerja. Gimana?" Gideon tampak diam. Lelaki itu pasti berpikir tentang untung rugi dalam menggunakan strategi yang diberikan oleh Niel.
Namun, setelah dipikir ulang, ide Niel tak ada salahnya. Lagi pula Kanaya adalah arsitek yang memiliki karya cukup bagus. Jadi, anggap saja ini adalah sebuah peruntungan untuk mendapatkan pegawai terbaik dan untuk mengobati rasa haus akan jawaban hubungannya dengan Kanaya.
"Gimana?" tanya Niel lagi.
"I am in."
***
Kata misterius layak untuk Kanaya sandang setelah membuat seorang Gideon penasaran setengah mati. Lelaki itu rela mengeluarkan kocek yang dalam hanya untuk mendapatkan informasi lebih dalam tentang Kanaya. Namun, hasilnya masih sama, dia hanya mendapatkan info trivial tentang Kanaya tanpa ada informasi tentang kehidupan pribadi seolah Kanaya tak punya masa lalu seperti itu.
Hal itu tak terjadi tanpa perjuangan dan orang yang berjasa akan hal itu adalah lelaki yang menghabiskan hampir semua masakan Kanaya yang seharusnya untuk lima orang. Haris Dinova Fabiono begitu dia dikenal, seorang detektive swasta merangkap teman dekat Kanaya.
Kanaya menghela napas panjang, lama tak bertemu Haris masih sama seperti dulu. Menyebalkan. "Haris! Kalo kamu makan semua nanti Hanum, Oney sama Indie makan apa?" Ini bukan sebuah pertanyaan, tapi sebuah bentuk kekesalan.
"Mereka lagi diet. Aku cuma bantuin mereka biar nggak kegoda sama masakan kamu, makanya kuhabisin," kilah Haris yang jika dipikir-pikir ada benarnya meskipun untuk telinga Kanaya alasan Haris terkesan mengada-ada.
"Nggak usah liatin aku kayak gitu."
"Kayak gimana?"
"Kayak kamu mau nusuk aku pake garpu yang kamu pegang." Kanaya memutar bola matanya dramatis untuk memberitahu Haris bahwa lelaki itu telah sukses membuatnya kesal.
"Aku emang berniat kayak gitu," gumam Kanaya kemudian meninggalkan meja makan sambil membawa piring kotor ke wastafel untuk dicucinya.
"Aku bisa denger kamu ngomong apa Nay!"
"Baguslah jadi aku nggak perlu teriak biar kamu tau." Haris berdecak, hubungan mereka benar-benar unik hingga kadang ada yang menganggap mereka adalah saudara kandung.
Sementara Kanaya mencuci piring Haris mengamati keadaan apartemen yang tak jauh berbeda dari awal dia datang sebelum kedatangan Kanaya. Beberapa kardus yang sepertinya memang tak mau dibuka oleh Kanaya. Bahkan bisa dibilang semua barang yang dibawa Kanaya ke apartemen itu belum di-unpacking.
"Ini kamu lagi males unpacking atau kamu ada rencana lain sama kardus-kardus ini?" tanya Haris. Lelaki itu sangat mengenal Kanaya yang tak ada kata malas dalam kamusnya, jadi tak mungkin barang-barang itu belum di-unpacking jika tak ada rencana lain.
"Bukannya aku udah nelpon kamu tadi siang?"
"Yang kamu ganggu waktu tidur aku pagi buta."
"Jam sepuluh itu siang Haris!" Haris memilih membalas ucapan Kanaya dengan memutar bola matanya dibandingkan melalui untaian kata karena niscaya itu akan menjadi pemicu debar kusir yang tak ada habisnya.
"Jadi, ini karena kamu mau pindah tempat ke daerah Taman Sari?" tanya Haris.
"Iya, benar sekali." Sejak awal Kanaya memang tak ingin membuang tenaganya secara percuma. Dia sudah berada di garis akhir kepala dua dan tenaga yang dia hasilkan tak sebanyak kala ia masih remaja dulu.
Kanaya melepas sarung tangan karetnya kemudian mengelap tangannya pada kaos Haris hingga membuat sang pemilik menjerit kesal sementara sang tersangka hanya tertawa, benar-benar tertawa. Jika Hanum, Oney ataupun Indie melihat tawa Kanaya yang selepas itu mungkin mereka bertiga tak akan keberatan untuk mentraktir Haris makanan mahal.
"Jadi, kamu udah dapet apartemennya?" tanya Kanaya layaknya bos apalagi dengan tingkahnya yang langsung duduk bersandar di sofa dan kaki yang diangkat.
"Nih, ada banyak apartemen di sana dari harga sewa kayak SPP bulanan sekolah kamu dulu sampai harga DP mobil ada semua." Haris meletakkan setumpuk pamflet apartemen yang kiranya bias menjadi tempat Kanaya untuk pindah selanjutnya.
"Wow, banyak banget."
"Kamu pilih sekarang semuanya biar besok langsung bisa pindah." Kanaya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Nay," panggil Haris dengan suara yang menyiratkan kekhawatiran.
"Aku tahu kamu udah mantep buat ambil jalur ini dan aku ataupun anak-anak yang lain juga siap buat bantuin kamu, tapi kamu tetep harus main aman karena sejak kamu dateng ada orang suruhan Lahar yang ngawasin kamu terus." Hal itu sudah diprediksi oleh Kanaya sebelumnya. Gadis itu tahu hanya dengan eksistensinya bias membuat Lahar kebakaran jenggot.
Kanaya tersenyum tipis atas peringatan dari Haris, sekarang gadis itu makin yakin bahwa Haris tak akan mengkhianatinya. "Makasih Ris, aku bakal hati-hati, tapi—" Kanaya menggantung ucapannya.
"Tapi, apa?"
"Ini nggak ada yang satu gedung sama Gideon ya?"
Haris menghembuskan napas kasar, seharusnya lelaki itu bisa memprediksi bahwa daerah Taman Sari yang dimaksud oleh Kanaya adalah apartemen yang dekat dengan unit milik Gideon. Jika saja Haris menyadari hal itu dari awal dia tak akan menghabiskan tenaga untuk mencari seluruh daerah sana.
"Udah nggak usah dilihat lagi, nggak ada yang cocok karena mereka nggak ada yang deket unit Gideon."
"Kamu bisa usahain nggak?"
"NGGAK!" jawab Haris, tapi Kanaya mengenal Haris sejak lelaki itu masih mengompol, Haris adalah lelaki yang suka menolak lewat mulutnya, tapi tetap dilakukan.
"Makasih Ris," goda Kanaya.
"I said no!" Kanaya tak terlalu memperdulikan apa ucapan Haris dia memilih untuk mengambil ponselnya di meja dan mengirimkan sebuah foto ktp seseorang pada Haris.
"Oh ya Ris, kamu tahu tunangan Gideon?" tanya Kanaya yang ingat bahwa Haris pernah mengabarkan bahwa status Gideon sekarang sudah bertunangan dengan seorang direktur keuangan Perusahaan advertise Tujuh Media Group.
"Feby Anjani Hadriawan. Kenapa?"
"Aku mau ketemu dia." Baru kali ini Haris bertemu gadis gila seperti Kanaya yang masih ingin bertemu dengan tunangan dari lelaki yang menjadi target pendekatannya.
"Dia cukup sering datang ke perusahaannya Gideon. Harusnya waktu Gideon ngajakin ngomong bareng nggak kamu tolak, jadi kamu bisa ketemu sama dia." Kanaya hanya tersenyum kecil, tak cukup tiga temannya sekarang Haris pun ikut meragukan keputusannya yang menolak bicara dengan Gideon.
"Semuanya itu ada timing-nya Ris, dan sekarang masih belum. Sebentar lagi dia bakal hubungin aku."
"Tapi kapan?" tanya Haris.
"Sekarang." Kanaya menunjuk ponselnya yang memperlihatkan sebuah notifikasi email yang dikirim oleh Bright Future Corp, perusahaan Gideon.
"See? Kanaya nggak pernah salah."
***