Hari ini adalah hari yang sangat sibuk di patiseri. Aku dan Leticia membuat banyak kue untuk sebuah acara yang akan diadakan oleh pelanggan kami. Kami sudah terlebih dahulu izin ke pihak universitas untuk tidak masuk hari ini dan mereka menyetujuinya. Selain itu, ada banyak sekali pesanan yang masuk pada hari ini, sehingga kami pun harus bekerja lembur pada malam ini. Bagaikan air yang menetes ke tanah dengan cepat, waktu telah menunjukkan pukul delapan malam.
"Kalau begitu, aku berangkat ya," ujar Leticia yang akan mengantarkan kue pesanan pelanggan.
"Ya, jangan lama-lama ya," balasku.
"Tentu," ucapnya.
Leticia lalu berangkat ke tempat pelanggan. Setelah sampai dan memberikan pesanan, ia pun berniat kembali ke patiseri. Hari ini juga, ia masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi sebagian besar mengirim surel kepada pembeli, jadi ia memutuskan akan melakukannya setelah sampai di rumah. Ia melewati pintu keluar ke tempat sepeda. Ia mengambil sepedanya untuk pulang setelah mengantar kue akhir-akhir ini, karena fakta bahwa ia cenderung bekerja sampai larut malam dan menaiki bus ketika malam hari sangat tidak nyaman baginya.
"Dingin sekali malam ini. Aku harus cepat-cepat kembali ke rumah atau aku bisa sakit," pikir Leticia.
Leticia mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi untuk sampai ke rumah. Saat itu, ia tidak melihat kondisi sekitar. Ketika akan sampai di persimpangan dekat rumahnya, mendadak ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Leticia menengok sebentar ke arah mobil tersebut sebelum akhirnya dengan cepat meloncat turun dari sepedanya. Ia terjatuh ke tanah, untungnya ia tidak terluka, namun, semua uang yang ia bawa ikut berhamburan ke mana-mana.
"Aduh, sakit sekali," ucap Leticia.
"Kalau naik sepeda pakai mata dong! Dasar tidak punya otak!" teriak si pengemudi mobil yang hampir menabraknya. Ia mengatakan hal tersebut sambil terus mengendarai mobil miliknya.
"Haduh jahat sekali sih, padahal aku yang jadi korban. Paling tidak menolong sedikit lah, bukannya malah lari," pikir Leticia.
Sementara itu ...
"Terima kasih atas pembeliannya. Datang lagi kemari," ucapku pada seorang pelanggan yang baru saja membeli kue.
Pelanggan tersebut kemudian meninggalkan patiseri. Karena hari sudah larut malam, aku pun mengganti tulisan "BUKA" menjadi "TUTUP"
"Kok jam segini Leticia belum kembali ya," pikirku.
Saat tengah berpikir seperti itu, seseorang mengetuk pintu patiseri. Aku pun membukanya. Aku melihat Leticia berjalan dengan napas yang tesengal-sengal. Ia tampak seperta habis berolahraga selama lebih dari enam jam.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Sulit diceritakan. Pokoknya sekarang, siapkan saja obat untuk memar obat memar untukku. Rasa sakitnya sudah tak tertahankan nih," jawab Leticia tanpa memberikan penjelasan apapun kepadaku.
"Obat memar? Aku tidak memilikinya. Mungkin Elina memilikinya. Aku akan menghubunginya. Sebentar ya," balasku.
Aku kemudian membantunya duduk di dalam patiseri . Setelah itu, aku langsung menghubungi Elina untuk menanyakan apakah yang memiliki obat untuk menyembuhkan Leticia.
"Halo," ucapku.
"Ada apa? Ini kan sudah malam. Ada perlu apa denganku?" tanya Elina dengan suara seperti orang baru bangun tidur.
"Aku mau menanyakan, apakah kamu memiliki obat untuk memar?" ujarku.
"Obat untuk memar? Memangnya untuk apa? Apa kamu terbentur?" tanya Elina.
"Bukan seperti itu, aku tidak memerlukannya," jawabku.
"Lalu buat apa?" tanya Elina.
"Aku juga belum tahu, yang jelas Leticia memerlukan obat memar. Dia baru saja pulang patiseri, namun dengan beberapa memar di kakinya . Sepertinya dia terjatuh dari sepeda, soalnya aku lihat sepedanya juga tidak ada," jawabku.
"Mungkin saja seperti itu. Kalau begitu, aku akan mencoba mencarinya terlebih dahulu. Oh ya, jangan khawatir, aku akan mengantarnya obatnya Jika aku menemukannya," ucap Elina.
"Terima kasih," balasku.
"Sama-sama," ucap Elina. Ia lalu mematikan teleponnya.
Aku kembali menghampiri Leticia. Ia melihatku dengan tatapan yang hangat, seperti biasanya. Aku memberikannya teh hangat untuk mencegahnya terkena penyakit flu ataupun demam. Kami pun akhirnya mengobrol.
"Terima kasih ya untuk semuanya. Maaf aku lagi-lagi merepotkanmu seperti ini," ucap Leticia.
""Tidak apa-apa. Sesama manusia kan memang pada dasarnya sudah harus saling bantu," jawabku.
"Mungkin ini jugalah yang membuatku suka denganmu," gumam Leticia. Gumamannya sampai terdengar di telingaku.
"Hah? Suka?" ucapku.
"Aa ... itu ... Tidak ada apa-apa," balas Leticia.
"Sudahlah, jujur saja. Aku tidak suka orang yang suka berbohong loh," ucapku.
"Curang ya, mengancamku seperti itu. Ya sudah deh, kuberitahu satu hal. Aku mencintaimu. Puas?" balas Leticia.
"Seriusan? Memangnya apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?" tanyaku.
"Sifatmu itu tak pernah berubah sejak dahulu. Kamu melakukan kebaikan dari hatimu, aku sangat bersyukur karena bertemu denganmu sewaktu SMA," jawab Leticia.
"Hanya itu?" tanyaku.
"Tentu saja tidak. Kamu membantuku menjalankan patiseri ini dan membuatku tidak jadi pindah dari kota ini. Hatiku lama-kelamaan bisa luluh juga tahu. Apalagi ditambah dengan banyaknya kenangan yang terjadi selama bekerja di sini," jawab Leticia.
Mendengar perkataanya, aku merasakan perasaan yang sangat nyaman, membuat hatiku terasa hangat. Tak lama kemudian, Elina sampai di patiseri dengan membawa obat yang Leticia perlukan.
"Wah kalian ini, masih sempat-sempatnya berduaan. Aku jadi iri pada kalian," ujar Elina.
"Apaan sih," balasku.
"Oh ya, ini obatnya. Gunakan secara berkala ya," ujar Elina.
"Ya, tentu," balasku.
"Di samping itu, apa kalian melakukan delivery? Tadi soalnya aku melihat ada motor yang terparkir di depan patiseri. Motor tersebut membawa sebuah box berukuran besar loh," tanya Elina.
"Tidak kok, palingan hanya numpang parkir saja," balasku.
"Kalau begitu, aku pulang dulu ya," ucap Elina yang kemudian keluar dari patiseri.
Aku kemudian kembali bekerja membantu Leticia untuk membalas puluhan surel berisikan pesanan kue yang dikirimkan oleh pelanggan. Setelahnya, aku pulang ke rumahku. Hari-hari terus berjalan seperti biasa, dengan sesekali Elina mampir ke patiseri untuk membeli kue dan juga untuk menjenguk Leticia. Namun tepat pada hari jumat malam ketika aku sudah selesai bekerja dan akan pulang, Leticia tiba-tiba bertindak aneh.
"David, tunggu. Jangan pulang," ucap Leticia.
"Hah? Tidak bisa begitu dong. Aku bisa dimarahi habis-habisan oleh orangtuaku jika aku ketahuan menginap di rumah perempuan," balasku.
"Tunggu, aku kan pernah menginap di rumah Elina. Ah ya sudahlah, sesekali nakal sedikit tidak apa-apa lah. Duh, jahat sekali aku, hahaha" pikirku.
"Kumohon," ucap Leticia.
"Memangnya ada apa?" tanyaku.
"Aku punya firasat buruk," jawab Leticia.
"Tenanglah. Aku akan kembali secepatnya besok. Tunggu saja ya," balasku.
Leticia tak berkata apapun, menandakan ia mengiyakan perkataanku. Aku pun pulang ke rumah. Keesokan harinya, benar saja apa yang dikhawatirkan oleh Leticia. Saat aku sampai di patiseri, aku melihat keadaan patiseri sudah berantakan dan terdapat sebuah surat kecil ditempel di pintu. Surat itu berisikan sebuah pesan, "Jika kamu mau orang ini selamat, pergi ke tempat yang tertera di bawah ini dan bawa uang sebanyak sepuluh juta."
Aku panik dan segera berlari ke rumah Elina. Aku tidak memikirkan siapapun lagi yang dapat membantuku. Ketika sampai di rumahnya ...