Sebuah SMS masuk ke ponselku. Saat kulihat, pengirimnya adalah Elina. Aku sedikit terkejut karena aku sudah jarang sekali sekali berbicara ataupun bertemu dengannya walaupun tinggal berdekatan.
"Halo David, bisa ke rumahku hari ini? Aku agak kesulitan mengerjakan tugas kuliahku," tulis Elina.
"Maaf aku tidak bisa kesana. Aku ada urusan hari ini," balasku.
"Yah, masa begitu sih. Ayolah, Sekali Ini saja," tulis Elina lagi.
"Maaf, tapi memang aku sudah ada urusan. Aku sudah menjadwalkannya," balasku.
"Biar aku tebak, pasti bertemu dengan Leticia. Ya sudah apa boleh buat. Kalau sempat, mampirlah sebentar ke rumahku ya," tulis Elina. Dari caranya membalas, ia terlihat kesal.
"Ya pasti," balasku.
Aku bingung mengapa tiba-tiba Elina memintaku datang ke rumahnya. Padahal, dia tidak pernah sekalipun memintaku datang ke rumahnya sejak aku lulus SMA. Aku sempat merasakan hal yang aneh darinya . Namun, aku tak masalah dengan hal itu karena aku memang sudah lama bersahabat dengannya. Di patiseri aku bertemu dengan Leticia seperti biasanya. Aku vekerja seperti biasa sampai sore hari. Kemudian, aku bergegas menuju rumah Elina. Saat aku sampai, kondisi rumahnya gelap dan hanya lampu kamarnya saja yang menyala. Menurutku, ia ingin berbicara denganku secara serius.
"Ada apa? Apakah ada soal yang sulit dan tidak bisa kamu kerjakan?" tanyaku.
"Tidak juga. Sebenarnya, aku sudah selesai mengerjakannya," jawab Elina.
"Yah sayang sekali. Kalau begitu aku pulang dulu ya," balasku.
"Tunggu, ada yang mau kubicarakan denganmu," ucap Elina.
"Aku merasa dirimu ... berubah," ucap Elina lagi.
"Berubah bagaimana, aku ya tetap diriku. Aku masih sama seperti yang dulu kok," balasku.
"Tidak. Aku merasa perilakumu berubah. Kamu yang tadinya tidak peduli dengan siapapun dan memperlakulan semua orang dengan sama rata, perlahan berubah menjadi perhatian yang tertuju pada satu orang saja," tutur Elina.
"Maksudmu Leticia? Dia hanya rekan kerjaku," balasku.
"Rekan kerja? Apa rekan kerja sampai harus jalan berduaan di akhir pekan?" tanya Elina.
"Kamu ini kenapa? Kok mendadak membahas ini sih?" jawabku untuk mengalihkan pembicaraan.
"Aku risih. Aku risih melihatmu hanya dekat dengan satu orang saja. Aku mau kamu seperti dulu, bisa dekat dengan siapapun," balas Elina.
"Ya sekarang kan aku masih dekat dengan yang lainnya juga," ucapku.
"Berapa kali kamu menolak ajakan yang lainnya untuk jalan-jalan? Aku juga mau kita berkumpul seperti dulu semasa SMA," balas Elina.
"Maaf," ucapku.
"Ya sudahlah. Apa yang sudah terjadi tak dapat diubah," balas Elina.
"Apa ada yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih baik," tanyaku.
"Tetaplah disini. Aku masih ingin menghabiskan waktu bersamamu," jawab Elina.
"Tentu," ucapku.
Malam itu, aku menghabiskan banyak waktu bersama Elina di rumahnya. Kami membicarakan banyak hal mengenai hubunganku dengannya dan dengan Leticia juga.
"Apa kamu menyukai Leticia?" tanya Elina secara tiba-tiba.
"Loh, ada apa tiba-tiba mengatakan hal itu?" jawabku membalikkan pertanyaannya.
"Aku hanya penasaran saja, soalnya belakangan ini kamu seperti menyembunyikan sesuatu," ujar Elina.
"Yah aku tidak bisa bilang aku tidak ada rasa kepadanya. Tetapi, aku tidak yakin apakah itu cinta," balasku.
Mendengar perkataanku, Elina terlihat tambah murung.
"Hmmm ... Sudah kuduga,sih. Leticia itu pintar, baik hati, dan jago memasak pula. Mana ada yang tak jatuh hati padanya," ucap Elina.
Dalam sekejap, aku menjadi takut untuk memulai pembicaraan karena khawatir akan memperkeruh suasana. Jadi, aku memilih untuk diam sementara. Beruntung sekali diriku, mendadak turun hujan badai. Aku jadi bisa memulai percakapan.
"Yah hujan. Aku pulang dulu ya kalau begitu," ucapku.
Tak kusangka, Elina menarik tanganku. Ia lalu berkata, "Jangan."
"Elina, ada apa sih? Kamu kok sampai sebegitunya?" tanyaku bingung dengan sikapnya yang aneh malam ini.
"Aku masih mau bersamamu," ujar Elina.
"Kan masih ada besok. Lagipula rumah kita kan bersebelahan," balasku.
Wajah Elina tiba-tiba tampak sedih. Karena tidak tega melihatnya, akhirnya aku pun memutuskan untuk menginap. Keesokan harinya, aku pulang ke rumah dan beraktifitas seperti biasa. Minggu ini kujalani seperti tanpa halangan, tidak seperti biasanya. Di sisi lain ...
Pada suatu siang ...
"Hei David, kita jalan-jalan yuk, ada yang mau kubeli nih," ucap Elina.
"Duh maaf banget ya, hari ini kebetulan aku mau belanja bahan untuk keperluan patiseri," balasku.
"Yah tidak bisa ya, lain kali saja deh aku ke sana. Tolong temani aku nanti ya," ujar Elina.
"Tentu," balasku.
Di hari lainnya ...
"David, lihat ini. Pada akhir pekan ini, taman hiburan di dekat stasiun sedang ada diskon. Aku mau kesana denganmu. Apakah kamu bisa?" tanya Elina.
"Maaf, aku tidak bisa. Aku harus mengurus dokumen patiseri," balasku. Aku merasa tidak enak karena menolak ajakannya, namun hari itu aku benar-benar tidak bisa.
Akhirnya, akhir pekan telah tiba. Pagi itu, orangtuaku sedang ada urusan di tempat kerjanya dan tidak memasak sarapan. Akupun pergi ke rumah Elina untuk menumpang sarapan.
"Elina, boleh aku numpang sarapan?" tanyaku.
"Maaf, pagi ini aku mau bertemu dengan temanku," ucap Elina.
"Siapa?" tanyaku.
"Shara, teman SMA kita dulu. Dia yang sering memintamu mengerjakan PR nya," jawab Elina.
"Yah, padahal aku mau mengajakmu sarapan bersama," balasku.
"Kalau begitu, bagaimana kalau sore harinya saja?" tanya Elina.
"Jam enam sore ya," jawabku.
"Baiklah," balas Elina.
Elina lalu pergi ke arah rumah temannya. Aku lalu pergi sarapan di sebuah kedai dekat rumahku dan langsung menuju ke patiseri untuk bekerja. Hari itu, entah kenapa patiseri lebih ramai dari biasanya. Sementara itu di rumah Shara ...
"Hai," sapa Elina.
"Hai El, cepat sekali kamu sampai. Masuklah terlebih dahulu," balas Shara.
Elina kemudian masuk ke rumah Shara dan duduk di ruang tamu.
"Jadi, ada apa kemarin kamu meneleponku?" tanya Shara.
" Ini tentang dia," jawab Elina.
"Maksudmu David? Memang ada masalah apa?" tanya Shara.
"Sudah seminggu ini, dia benar-benar menolak ajakanku dalam hal apapun. Dia bahkan hampir tidak pernah membalas SMS yang kukirimkan," jawab Elina.
"Lalu?" tanya Shara.
"Aku bingung harus berbuat apa, aku jengkel padanya. Namun, aku masih ingin bersama dengannya," jawab Elina.
"Maksudmu?" tanya Shara.
"Walaupun aku kesal terhadap dia, tetapi entah mengapa aku tak bisa meninggalkan dia," jawab Elina.
"Hahaha, kamu ini baik sekali ya. Jangan-jangan kamu jatuh cinta padanya," balas Shara.
"Hah? Mana mungkin. Aku seperti ini karena aku khawatir padanya. Aku dan dia hanya sebatas sahabat saja kok," ujar Elina.
"Terserah kamu saja deh. Pokoknya saran dariku, jika kamu memang ingin mengetahui perasaannya, tanyakan saja langsung kepadanya. Aku yakin dia pasti akan membalasnya," ucap Shara untuk memberi saran pada Elina.
"Ya, ya, aku mengerti," balas Elina.
"Kalau begitu kita main yuk. Kita bahkan sudah tidak pernah main bareng lagi sejak lulus SMA. Padahal dulu kita sering bolos sekolah untuk bermain bersama, kan?" ajak Shara.
"Nostalgia ya, Boleh deh. Tapi hanya sampai jam lima sore ya, soalnya aku sedang ada urusan," ucap Elina.
"Tentu," balas
Elina dan Shara akhirnya bermain game konsol sampai tepat pukul lima sore. Setelah itu, Elina pamit pulang dan menelepon David dalam perjalanan.
"Halo," ucap Elina.
"Halo Elina, kamu mau makan di mana?" tanyaku.
"Aku datang ke patiseri saja deh. Aku sedang ingin makan kue tiramisu," jawab Elina.
"Siap. Aku akan membuatnya," ucapku.
"Kalau begitu, aku kesana sekarang ya," balas Elina yang kemudian mematikan teleponnya.
15 menit kemudian, Elina sampai di patiseri. Ia duduk di dekat jendela. Aku pun menghampirinya dengan membawa kue pesanannya.
"Ini kuenya," ucapku sambil menaruh kue di meja.
"Wah sepertinya enak sekali," balas Elina.
"Hehehe, aku senang mendengarnya," ucapku.
"Oh ya, di mana Leticia?" tanya Elina.
"Di dapur. Ia sedang membuatkan pesanan orang lain," jawabku.
"Kesulitan dalam pekerjaanmu?" tanya Elina.
"Ya begitulah. Banyak sekali pesanan tetapi sedikit yang melayani. Terlebih, kami rencananya akan membuka cabang patiseri baru di dekat pusat perbelanjaan," jawabku setelah menghela napas.
"Semangat ya," ucap Elina menghiburku.
"Bagaimana kalau kamu ikut bekerja di sini?" tanyaku.
"Kalau itu sih aku belum bisa janji. Mungkin aku akan memikirkannya terlebih dahulu," jawab Elina.
"Aku sangat mengharapkan bantuanmu," balasku.
"Oh ya, aku ingin mengatakan sesuatu," ucap Elina.
"Ada apa?" tanyaku.
Tiba-tiba, Leticia datang dengan membawa tiga gelas minuman.
"Hai Elina, lama tak bertemu," ucap Leticia sambil menaruh gelas di meja. Ia kemudian duduk di kursi.
"Jadi, tadi mau bicara apa?" tanyaku pada Elina.
"Hah? Apa maksudmu?" tanya Elina. Ia tampak sedikit aneh saat mengatakannya.
"Ayolah, lagi-lagi seperti ini. Kebiasaanmu itu dari dulu sama saja ya," jawabku.
"Apa aku mengganggu?" tanya Leticia.
"Santai saja lah," jawab Elina.
"Oh ya, apa kamu sudah dengar dari David soal pembukaan cabang patiseri baru? Aku rencananya mau mengajakmu untuk ikut bekerja," ucap Leticia.
"Sudah. Aku akan mempertimbangkannya," balas Elina.
"Senang mendengarnya," ucap Leticia.
Kami bertiga lalu melanjutkan pembicaraan-pembicaraan kecil hampir satu jam lamanya. Setelah itu, Elina pamit pulang ke rumah. Elina pulang ke rumahnya dengan perasaan terganggu oleh kejadian sore hari tadi. Sesampainya di runah, ia langsung berbaring di ranjangnya.
"Aku ini kenapa sih? Mengapa saat kulihat David dekat dengan Leticia, aku merasa sesak? Apa aku-" pikir Elina.
"Ah tidak mungkin lah!" pikir Elina lagi.
Beberapa saat kemudian, Elina tertidur. Keesokan harinya, ia terbangun oleh suara ketukan pintu rumahnya. Ia pun segera membuka pintu rumah. Elina melihatku dengan tatapannya yang dingin, sedingin salju. Mungkin itu karena
"Ada apa pagi-pagi ke sini?" tanya Elina dengan ekspresi seperti masih mengantuk.
"Aku numpang sarapan dong, hari ini ibuku tidak memasak apapun," jawabku.
"Ya sudah, masuk saja," balas Elina sambil mempersilakanku masuk.
"Kamu baru bangun?" tanyaku.
"Betul sekali. Tunggu sebentar ya, aku mau merapikan kamarku dahulu. Kamu duduk saja di sini," jawab Elina sambil menuju ke kamarnya.
"Terima kasih ya sebelumnya sudah memperbolehkanku ikut sarapan," ucapku.
"Santai saja lah, kita kan sudah kenal cukup lama juga," balas Elina.
Elina kemudian pergi ke kamarnya dan kembali lagi sekitar sepuluh menit kemudian. Ia juga membawa sarapan yang sebelumnya telah ia masak.
"Selamat makan," ucap Elina.
"Selamat makan juga," balasku.
Elina dan aku menghabiskan makanan yang telah disediakan. Tiba-tiba Elina mengatakan hal yang tidak kusangka sangka akan ia katakan.
"Boleh tanya sesuatu?" tanya Elina.
"Boleh, ada apa?" tanyaku menanya balik.
"Sebenarnya begini. Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, sepertinya aku telah jatuh cinta padamu," jawab Elina.
"Maksudmu apa?" tanyaku.
"Seperti yang kubilang tadi. Aku jatuh hati padamu," jawab Elina.
"Mengapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Kamu melihat aku dari mananya?" tanyaku lagi untuk memastikan.
"Soal itu ... Mungkin ketika aku pertama kali bertemu denganmu. Saat itu aku melihatmu duduk sendirian di pojok kelas dekat jendela. Aku pikir kamu sedang memiliki masalah, ternyata kamu memang tidak memiliki ketertarikan untuk bersosialisasi," ujar Elina.
"Pertama kali aku berbicara denganmu, aku terkejut karena ternyata kamu orang yang mudah diajak ngobrol dan santai. Ini membuatku ingin bersamamu dan ingin terus bertemu denganmu," ujar Elina lagi.
"Terlepas dari hal itu, ini adalah pemandangan yang belum pernah kulihat secara tiba-tiba. Muncul di hadapanku dan memotivasiku untuk maju. Pertemuan-pertemuan itu hanyalah angka semata, yang mengubah duniaku dan mungkin dunia ini," ucap Elina.
"Elina ..." balasku.
"Mungkin warna cintaku dapat mewarnai duniamu. Aku yakin yang aku cari sekarang adalah dimana saat kita tertawa dan bahagia seperti ini," ucap Elina.
"Perasaanku yang tak bisa diungkapkan meluap-luap di hatiku, membuat hatiku terasa panas. Spontan perasaan itu meledak menjadi api yang membara, seakan cinta ini mampu membakarku menjadi abu," ucap Elina lagi.
Aku memegang bahu Elina lalu berkata, "Terima kasih Elina, aku senang sekali mendengarnya. Tapi, kumohon berikan aku waktu untuk memikirkannya."
Elina lalu terdiam. Pada akhirnya, pembicaraan menjadi monoton sampai sarapan selesai. Aku pun kembali ke rumah.
"Aku duluan ya," ucapku pamit undur diri.
"Ya, hati-hati di jalan," balas Elina.
"Sepertinya benar memang dia tak cinta padaku. Kurasa lebih baik aku mengikhlaskannya," pikir Elina.
Di sisi lain ...