"Cukup! Kalian jangan bertengkar lagi disini! Apa kalian tidak malu dilihat semua pengunjung disini?!" Freya berteriak memperingatkan Carla dan Alfred.
"Sebaiknya kamu kembali ke kantor dan membicarakan masalahmu dengan kepala dingin!" Freya melanjutkan, dia melebarkan matanya dan menatap kedua temannya secara bergantian.
"Ayo La, kita kembali ke kantor," ajak Alfred, suaranya melunak, tidak seperti sebelumnya dia bertengkar dengan Carla.
"Kamu balik duluan ke sana!" seru Carla emosi.
"Nanti temui says di lobi, oke? Kita akan membicarakan semuanya di sana dengan kepala dingin," tukas Alfred sambil memaksakan senyum pada Carla.
"Kenapa kamu tidak berbicara dengan Carla di ruangan kita saja? Apa kamu mau Bu Joanne mendengarkan semua percakapan kalian??" Freya bertanya pada Alfred, dia membelalakkan matanya pada Alfred.
"Tidak, Frey. Saya pikir kalau Carla dan saya berbicara di lobi, tempatnya lebih nyaman dan leluasa daripada berbicara di ruangan kalian," Alfred menjelaskan.
"Katakan saja kalau kamu ingin dekat-dekat dengan Bu Joann, kan??!" tuduh Carla.
"Kamu jangan bicara sembarangan, Carla! Siapa yang mau dekat-dekat dengan Bu Joanne?? Apa yang saya lakukan untuknya hanyalah bentuk kepedulian dan perhatian dari staf kepada bosnya!" Alfred mendengus kasar.
"Kamu selalu seperti itu, tidak pernah berubah sedikit pun! Kamu selalu peduli pada wanita lain, meskipun kamu sudah berkencan denganku! Selama bertahun-tahun aku tertutup denganmu, perasaanku sangat tersiksa karena saya tidak berani mengungkapkan kecemburuan saya pada kamu!" Tatapan Carla begitu tajam dan dingin.
"Carla! Alfred! Tidak bisakah kalian berdua berhenti bertengkar sebentar?!" sela Freya yang semakin emosi melihat kedua temannya karena mereka terus-menerus berdebat di hadapan Freya.
Sementara itu dii kantornya, Joanne sedang menunggu Alfred kembali dari restoran karena dia ingin mengungkapkan sesuatu hal pada Alfred.
Joanne berpikir bahwa dia harus memberi tahu pria itu, bahwa janin yang tumbuh di rahimnya adalah benih yang ditanam Alfred ketika mereka melakukan hubungan terlarang di rumah Dave.
Beberapa saat kemudian, Joanne merasakan kram di perutnya. Dia meringis sambil memegangi perutnya, berharap janinnya baik-baik saja, "Arghh! Perutku... sakit sekali..."
Malam semakin larut, tidak ada yang memperhatikan suara Joanne dari dalam ruangan pimpinan. Hanya suara jangkrik yang terdengar di luar sana, sementara Carla, Freya, dan Alfred masih belum kembali dari restoran. Satpam juga berjaga di dekat gerbang kantor, siapa yang akan membantu Joanne jika terjadi sesuatu padanya??
Joanne berusaha untuk tenang dan mengatur napasnya agar rasa nyeri di perutnya sedikit berkurang, lalu ia menyandarkan kepala dan punggungnya di kursi.
"Huftt ... hufftt ..." Joanne menarik napas panjang lalu menghembus perlahan-lahan.
Saat ia sedang mencoba mengurangi rasa sakitnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Joanne menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponselnya.
Sambil tetap mengatur napas, ia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu meraih ponsel dengan tangan kirinya.
Dengan wajah meringis menahan nyeri, ia menggenggam erat ponsel itu, menekan tombol berwarna hijau pada layar ponsel, dan menempelkannya di telinga kirinya.
Karena Joanne tengah berada dalam kondisi yang tidak begitu baik, ia tidak menyadari siapa orang yang meneleponnya malam itu.
"Halo, Joanne Sayang. Kamu sudah pulang ke rumah belum?" tanya suara di telepon mesra.
"Ha--halo ... saya belum pulang ke rumah, Fred. Kamu masih makan malam bersama Carla?" Joanne balik bertanya, ia berpikir pria yang sedang bercakap-cakap dengannya adalah Alfred.
"Lho, Jo? Kenapa kamu memanggil saya Fred? Saya Dave, suami kamu," sahut pria tersebut kaget.
"Ma--maaf, Dave. Saya kira kamu Alfred ..." balas Joanne yang juga merasa terkejut.
"Ya sudah, tidak apa-apa," cetus Dave.
"Sa--sayang ... kapan kamu pulang ke rumah?? Perut saya sakit ... bisakah kamu mengantar saya ke rumah sakit?" Joanne berbicara dengan suaminya sembari meremas kuat perutnya.
"Astaga! Apa perutmu kram lagi, Jo?!"
"Iya ..." lirih Joanne.
"Kalau begitu, sekarang saya akan menyuruh Vincent untuk mengantarmu ke rumah sakit secepatnya! Kamu tunggu sebentar, ya?"
"Ba--baiklah, Dave. Saya tunggu," ucap Joanne, nada suaranya semakin lirih, wajah dan bibirnya pun bertambah pucat.
Tanpa menunda-nunda waktu, Dave segera menutup teleponnya dengan Joanne, lantas ia menghubungi Vincent, asisten Dave di kantornya sekaligus mata-mata yang bertugas mengawasi Joanne.
"Vincent, cepat jemput istri saya di kantornya sekarang, lalu antar dia ke Rumah Sakit Mulia Medika," titah Dave pada asistennya.
"Baik, Pak," sahut Vincent.
Malam itu, akhirnya Joanne diantar ke rumah sakit oleh Vincent guna mendapatkan penanganan dari dokter kandungan yang biasa memeriksa kondisi Joanne serta janinnya.
Dave belum bisa kembali ke Bandung karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya di kantor cabang yang berada di Bogor.
Sebenarnya Joanne hanya ingin diantar dan ditemani Alfred di rumah sakit, namun Dave menyuruhnya pergi bersama asisten pribadi Dave.
*****