Sakit, teramat sakit untuk tergores kembali. Luka yang belum sepenuhnya sembuh malah terluka kembali, sebuah plaster yang menutup luka rapat-rapat pun seakan terbuka dengan luka lama yang masih menganga. Ingatan dan kenangan yang telah lama samar-samar hilang kini nampak dengan lebih jelas lagi. Tangan yang sedari tadi tak sengaja memeluk sosok itu pun kini berusaha melepaskan diri, Ana lantar berlari menuruni tangga dengan sepatu licin yang kini ia tenteng pergi meninggalkan tempat itu. Luqy yang melihat sosok itu akan mengejar Ana pun berusaha ia hentikan.
"Biarin, biar dia tenang dulu. Ada yang mau aku bilang juga sama kamu" ucap Luqy menghentikan sosok itu.
Tangis yang terurai membuat matanya nanar hingga beberapa kali Ana terjatuh dan membuat beberapa luka kecil dikakinya, namun itu semua tak ia rasakan. Dirinya berulang kali bangkit hingga seakan-akan tangannya terseret oleh sesuatu dari dalam kelas yang ia lewati. Ditatapnya sosok yang kali ini menghentikan pelariannya, tangisnya pun kini membuncah hingga membuat riasakan diwajahnya seketika hancur. Dipeluknya erat-erat wanita itu dengan rindu yang tak lagi terbendung. Raina, sahabat yang telah lama meninggalkannya kini kembali disaat Ana sedang berada pada titik terhancur dirinya. Pelukannya semakin erat saat dilihatnya lagi wanita itu ingin melepaskan pelukan Ana, namun dengan sabarnya Raina peluk kembali sahabat yang telah lama sama-sama ia rindukan. Tak terasa air matanya pun ikut meleleh dan membuat hidungnya yang mungil memerah, kulitnya yang putih menjadi merona. Dengan sesekali Raina menanyakan kabar Ana yang masih setia dipelukannya, Ana yang masih sedih pun hanya bisa menangis.
Ana bingung, tangisnya saat ini apakah tangis bahagia atau tangis sedih. Karena disaat yang bersamaan lah Ana merasakan dua emosi yang berbeda, emosi yang harusnya Ana pendam saat malah inagurasi yang akan ia ikuti mengharuskan dirinya menjaga riasan yang telah dipersiapkannya selama berjam-jam. Namun, harus rusak hanya karena air mata yang Ana sendiri tidak tau penyebabnya. Mungkin karena bahagia bertemu sahabatnya atau rasa sedih akan rindu yang ia pendam setelah bertahun-tahun tidak bertemu dengan Raina dan Gaska. Entahlah, Ana hanya bisa menangis dalam pelukan sahabatnya.
Beberapa menit berlalu dan kini Ana sudah mulai stabil, dirinya lantas bertanya alasan Raina menghilang selama ini, dengan sesenggukan ia juga menceritakan bagaimana rindunya ia kehilangan sahabat satu-satunya yang paling ia percaya.
"Maaf, aku juga pengen kabarin kamu. Na, tapi semuanya berjalan cepet banget. Untung aja masih ada orang baik yang bantuin aku dan aku baik-baik aja sampe sekarang. Waktu itu, tasku kecopetan waktu aku pulang dari rumah sakit. Aku juga baru sadar waktu mau buka kamar hotel. Ternyata tasku sobek dan semua yang ada ditasku hilang, dompet, hp, dan berkas-berkas lainnya. Syukur aja ada salah satu orang yang bela-belain ngejer aku waktu liat paspor aku jatuh" jelas Raina pada Ana yang masih sesenggukan.
"Rumah sakit? Siapa yang sakit?" tanya Ana dengan menyeka air mata yang melintasi pipi.
"Mamah, mamah aku" jawab Raina.
"Dan kamu tau, Ana. Wanita yang waktu itu aku kira calon istri baru mamahku, ternyata dia adik kembaran mamahku, tapi mereka bukan kembar identik. Makanya aku kira dia kurang ajar banget pake pakaian dan mobil mamahku, dialah yang bantu ngurus adikku" jelas Raina kembali menjelaskan kesalahpahaman yang pernah ia alami.
"Trus sekarang gimana kabar mamah kamu, Rain?" tanya Ana khawatir.
"Mamahku masih belum bisa kenalin aku, dia cuma inget sama kejadian Raka dan Rana masuk rumah sakit. Ingatan mamahku kembali ke masa itu, tapi syukurnya dia udah stabil dan nggak ngamuk lagi. Mamah juga udah mau ngobrol sama aku, dia anggep aku suster yang selama ini ngerawat dia" jawab Ana lagi.
Raina juga menjelaskan bagaimana keadaan Rana dan Raka, adik kembar dia yang lama koma kini telah sadar dan mulai mengikuti terapi agar beberapa anggota tubuh yang lama tida digunakan dapat digunakan lagi. Selain itu, mereka berdua juga mengikut serangkaian pemeriksaan untuk mengetahui keadaan organ-organ lain yang mungkin saja menimbulkan penyakit baru karena lama tidak digunakan. Hal itulah yang membuat Raina kembali ke tanah air dan datang ke acara inagurasi sekolah Ana.
Raina menceritakan semua yang dialaminya saat berjauhan dengan Ana hingga Raina mencoba membuka topik pembicaraan yang ia ketahui dari temannya yang lain, dengan sangat hati-hati Raina mencoba mengutarakan pertanyaannya kepada Ana.
"Ana, kamu tau kabar Gaska?" tanya Raina setengah hati.
"Mmm, aku udah lama lupain dia" jawab Ana terbata-bata.
"Dia mau nikah sama Zoya" ucap Raina melirih.
Ana hanya terdiam dengan menatap latar kelasnya, matanya terbelalak dan jantungnya seakan berhenti berdetak, matanya pedas dengan nafas yang tak teratur. Ia coba kembalikan suasana hati yang seketika hancur menjadi senyum kecut dari bibir Ana, Ana tak ingin Raina tau perasaan yang sebenarnya Ana rasakan.
Riasan wajahnya yang rusak membuat Ana seakan-akan tertawa karena merasa geli melihat wajahnya yang nampak berantakan. Matanya yang hitam karena eyeliner dan mascara yang bercampur, bibirnya yang tak lagi memerah karea lipstick di bibirnya telah hilang serta warna kulit yang tak rata karena bedak diwajahnya berangsur hilang terkena keringat dan air mata. Namun usahanya gagal saat Raina menatapnya dalam, Raina tahu betul apa yang dirasakan Ana, bagaimana rasa sakit itu kembali menyapa relung hatinya.
"Syukur lah, mereka jodoh ya berarti. Kapan?" tanya Ana dengan tersenyum.
"Minggu depan, undangan kamu ada di aku. Kamu kuat ya, Na. Banyak kok yang lain diluar sana yang beruntung dapetin kamu nanti" ucap Raina menguatkan sahabatnya.
Ana hanya tersenyum tipis, ia coba ganti topik pembicaraan agar tidak larut dalam kesediham. Bukannya ia sedih ditinggal orang ia sukai menikah, namun ia bersedih karena terlalu banyak mengasihani dirinya sendiri. Banyak laki-laki diluar sana yang mungkin bisa mengobati lukanya, ia juga berusaha untuk tak ambil pusing hal yang bisa saja menghambat cita-citanya. Masih ada bapak dan adik yang menunggunya sukses, maka dari itulah Ana dipaksa untuk bangkit dan tidak menoleh kebelakang, karna langkah yang lalu lambat laun akan hilang tertutup debu.