Chereads / Takut Jatuh Cinta / Chapter 1 - Guru Baru yang Cantik

Takut Jatuh Cinta

Elshanum_Zanna
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Guru Baru yang Cantik

Guru Baru yang Cantik

"Gila ... cantik banget!!"

Spontan mata kami—para siswa SMA Nusa Dua—melotot dengan binar yang hampir sama rata. Bagaimana tidak! Pagi hari yang selalu menyebalkan karena harus memulai rutinitas sebagai pelajar, sepertinya mulai hari ini bakal berubah drastis. Kehadiran guru baru dengan penampilan di atas rata-rata itu menarik perhatian kami sejak pertama menjejakkan kaki di kelas. Bisik-bisik mulai terdengar mirip suara lebah yang rebutan masuk ke rumahnya.

"Pagi anak-anak!" Suara Pak Damar yang nge-bass ala-ala raja kolosal itu membuat seisi kelas hening. Bukan karena takut, kami lebih penasaran dengan sosok yang ada di sampingnya itu. "Perkenalkan, ini Bu Aida. Beliau akan menggantikan Bu Mira mengajar Sejarah di kelas IX. Meski Bu Guru ini cantik, tapi kalian nggak boleh naksir, ya!"

Sumpah, ya. Kalau mau bikin vote tentang guru paling krik-krik di dunia ini, pasti Pak Damar juaranya. Riuh rendah suara murid-murid menanggapi jokes garing dari Pak Damar. Setelah memberikan jurnal dan memberitahu bahwa Dio ketua kelasnya, Pak Damar meninggalkan kelas.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran anak-anak cewek, tapi aku yakin kalau semua isi kepala murid cowok di kelas ini tidak jauh berbeda. Pemandangan ini tak layak untuk dilewatkan!

"Pagi semuanya .... Mulai hari ini Ibu yang akan mengajar kalian selama Bu Mira cuti melahirkan. Sebelum Ibu mengajar, ada yang mau bertanya?"

Ternyata bukan hanya wajahnya yang cantik, suaranya juga terdengar merdu.

"Zodiaknya apa, Bu?"

"Sudah nikah belum, Bu?"

"Ukuran sepatu berapa, Bu?"

"Tadi pagi sarapan apa, Bu?"

Ya Tuhan! Apaan-apaan mereka ini? Muka Bu Aida kelihatan bingung. Ya pastilah ... ditanya serentak oleh seisi kelas tentu bukan jadi tujuannya masuk ke kelas ini.

"Wah ... kalian ini semangat banget kalau soal beginian!" Sebagai murid paling berpengaruh di kelas ini, aku mencoba angkat suara. Kasihan juga melihat guru cantik itu meladeni pertanyaan random dari semua murid terutama Ramon, pentolan anak IPS di sekolah ini.

Deni menyenggol tanganku, memberi tanda supaya jangan mencari masalah dengan Ramon. Pasalnya, badan Ramon yang tinggi besar mirip preman pasar itu membuat nyali Deni ciut setiap beradu mata. Dan saat ini, wajahnya malah sudah merah dan menatap tajam ke mejaku.

"Elaaah!! Gue kan cuma mau nolongin guru baru kita, Den. Kasian itu mukanya sudah pucat begitu." Tanpa rasa bersalah, aku mengalihkan pandangan kembali ke depan kelas di mana Bu Aida terlihat terharu akibat pembelaanku.

"Kayak lo nggak rese saja, Bin," celetuk Resya dari arah meja tepat di depanku.

"Oh ya jelas! Gue nggak perlu bersaing lagi. Iya kan, Bu Guru?"

Cibiran terdengar memenuhi seisi kelas. Bu Aida yang mulai paham bualanku hanya menggeleng pelan, lalu menyuruh kami menyudahi perkenalan ini. Di tangannya sudah tersemat buku Sejarah, pelajaran yang paling membosankan di dunia.

***

Pulang sekolah di parkiran, Resya sudah duduk manis di atas motor bebek kesayanganku. Roknya juga sudah berganti jadi celana jeans dan jaket kebesaran. Aku yakin, itu anak pasti habis malak si Dimas, pacarnya Resya.

"Ngapain lo di atas motor gue?" Aku hapal bagaimana muka Resya kalau lagi ada maunya. Kalau bukan mau nebeng pulang, ya minta dianterin ke suatu tempat.

"Anterin gue ke rumah gue dong!"

Tuh, kan, bener! Heran juga sih sebenarnya. Yang punya status sebagai pacar Resya itu si Dimas, tapi kenapa aku yang repot, ya?

"Kagak! Gua mau nongkrong di rumah si Deni. Kalo gue nganterin lo dulu yang ada gue muterin Jakarta. Lagian lo punya cowok, ngapain gue yang kudu jadi ojek lo sih?"

Belum juga dapat jawaban dari si Resya, mataku sekilas melirik ke arah gerbang depan. Karena posisi parkiran itu ada di samping kanan gerbang masuk ditambah tinggi badanku yang hampir ngalahin cowok-cowok idol Koriyah, otomatis aku bisa melihat ke arah jalan raya.

Di seberang jalan sudah terparkir sebuah sedan merek terkenal yang aku tahu harganya bisa sampai sembilan digit. Seorang wanita bersandar di pintu depan mobil sambil memandangi arah sekolah kami.

"Buruan naik!"

Resya berjingkrak kegirangan. Meski sebal, tapi aku nggak mau kalau dia besok sampai bolos sekolah lagi. Aku memakaikan helm full face ke kepalanya, sedangkan dia merapatkan ritsleting jaketnya. Aku sendiri memakai helm bogo yang yang biasa kusimpan di dalam bagasi motor, jaga-jaga kalau Resya nebeng seperti sekarang ini.

"Kita jalan, ya."

Resya mengangguk tanpa suara. Kaca helm yang gelap tak menghalangi mataku melihat embun di matanya. Aku tidak perlu bertanya. Aku hapal semua kisah di hidupnya, termasuk siapa wanita berpenampilan glamour yang kini tengah kebingungan mencari sosok Resya di antara kerumunan murid.

Motorku melaju ke arah rumah ibunya Resya di bilangan Jakarta Barat. Biarin deh muterin Jakarta daripada Resya besok masuk sekolah dengan tampang bonyok lagi.

Kalau kalian heran kenapa aku mau repot-repot ngurusin si Resya ini, sini aku perjelas lagi. Jangan-jangan kalian pikir aku adalah selingkuhannya. Resya ini adalah sepupuku dari pihak Ibu. Mama Resya adalah adik ibuku. Nah ... kan, banyak yang salah paham!

Orang tua Resya bercerai setahun setelah adiknya lahir. Tak berselang lama, terdengar kabar kalau ayahnya sudah menikah lagi dengan anak direktur di perusahaannya. Perbedaan umur keduanya cukup jauh, jadi istri baru ayahnya itu hanya berjarak lima tahun dengan Resya. Konyol memang. Tapi kalau sudah berurusan sama hati, orang dewasa juga bisa menjadi bocah TK.

Aku sudah sampai di depan rumah Resya yang terlihat sederhana tapi asri. Tanteku sepertinya tidak ada di rumah karena ini masih jam lima sore. Jam kerja Tante di restoran biasanya sampai jam sepuluh malam. Meski biaya hidup masih ditanggung oleh ayahnya Resya, tapi Tante Ane sama sekali tak mau menikmati uang itu selain untuk kebutuhan Resya.

"Lo suka sama guru baru kita, ya?" tanya Resya tiba-tiba setelah aku melepas helm full face yang kebesaran di kepalanya itu.

Aku diam sebentar memikirkan jawabannya. Lah, ngapain juga aku pakai mikir segala?

"Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, juga kenapa?" jawabku skeptis.

"Dih, nggak jelas!" Resya menoyor dahiku yang kubalas dengan jitakan di kepalanya. Cukup keras sampai ada bunyi "pletak" yang terdengar.

Resya mengusap kepalanya sambil menggerutu.

"Nggak kenapa-kenapa sih, cuma aneh saja lihat murid-murid cowok di sekolah kita mulai ngomongin Bu Aida."

"Yakali gue doyan sama orang yang lebih tua, Sya. Masih banyak kali fans gue yang imut-imut dan nggemesin."

"Jangan takabur lo! Nyatanya bokap gue aja doyan cabe-cabean noh!" Resya meringis sebelum melanjutkan kalimatnya. "Udah ah, gue masuk, ya! Thanks tumpangannya."

Aku masih memandangi punggung Resya yang menghilang di balik pagar rumahnya. Untuk sesaat aku merasa lega. Bukan maksud untuk senang atas penderitaan orang lain, tapi bersyukur sekaligus sedih karena tahu ayahku masih mencintai ibuku yang notabene sudah meninggal lima tahun yang lalu.